22 January 2025
HomeBeritaALFI: Kebijakan Zero ODOL Perlu Kesiapan Infrastruktur

ALFI: Kebijakan Zero ODOL Perlu Kesiapan Infrastruktur

Jakarta-Penerapan pelaksanaan kebijakan zero ODOL (Over Domension Over Load) sangat tergantung pada kesiapan infrastruktur dan ketersediaan akses jalan untuk moda angkutan. Sebab, meski modanya sudah sesuai dengan regulasi tapi jika infrastruktur jalannya tidak sesuai, moda itu tetap tidak akan bisa lewat.

“Jadi, dua-duanya harus saling mendukung untuk penerapan zero ODOL, baik dari moda transportasinya dan infrastruktur angkutan jalannya,” ujar Trismawan Sanjaya, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Bidang Logistik dan Supply Chain.

Karenanya, kata Trismawan, kalau mau memberlakukan kebijakan zero ODOL ini secara masif, infrastruktur jalannya harus betul-betul disiapkan secara komprehensif.  “Artinya, jalan provinsi juga kelas jalannya harus naik supaya nanti tidak terjadi biaya tinggi dengan mereka yang harus memindahkan barang dari moda satu ke moda lain karena harus menyesuaikan dengan regulasi,” tukasnya.

Menurutnya, kebijakan zero ODOL ini juga tidak bisa dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Bagi daerah yang sudah siap dari sisi geografis dan geopolitiknya, mungkin kebijakan ini tidak menjadi isu. “Tapi, buat sebagian daerah mungkin akan menjadi masalah saat menerapkannya. Jadi, saya pikir kebijakan zero ODOL ini tidak bisa kalau diterapkan secara serentak secara nasional. Jika tetap dipaksakan, bisa dipastikan akan menimbulkan banyak isu,” katanya.

Belum lagi dilihat dari segmen komoditi, di mana masih banyak yang belum ditata dengan baik bagaimana mekanisme standar pengangkutannya. Di Sulawesi misalnya yang jalannya sempit-sempit, mereka kalau  bicara kontainer impor 40 feet, pasti akan mengalami kesulitan.  “Jadi, ini harus ada kearifan lokal yang harus diberlakukan di sana. Dan mungkin penerapan kebijakan zero ODOL ini juga harus dilakukan bertahap,” ujarnya.

Untuk Jawa dan Sumatera saja yang secara infrastruktur sudah memungkinkan kesiapannya, Trismawan melihat masih perlu lagi dilakukan penataan di komoditinya yang belum ada standar pengangkutannya.

Dia mencotohkan untuk komoditi semen yang sudah puluhan tahun menggunakan truk molen. Penambangan pasir juga sama, masih melewati jalan-jalan nasional. “Tapi, pada saat ada regulasi zero ODOL, mereka pun diminta harus beradaptasi. Coba bayangkan, berapa banyak yang harus mereka sesuaikan,” ucapnya.

Jadi, kata Trismawan, jika pemerintah ingin tetap zero ODOL itu diterapkan pada 2023, mereka juga harus bisa menyiapkan infrastruktur  jalan maupun akses bagi moda angkutnya. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memperhatikan soal kearifan pusat maupun lokal.  “Kan tidak semua provinsi siap. Kecuali semua dibangun serentak mungkin bisa siap semua di 2023 atau 2024. Tapi, kalau kecepatan infrastruktur tidak bisa secepat itu, artinya harus ada kearifan dalam penerapan regulasi tadi berdasarkan geografis dan geopilitik wilayah masing-masing,” tukasnya.

Jadi, kalau memang kampanye Zero ODOL tetap dilakukan, dia mengusulkan agar itu diujicobakan dulu di daerah-daerah yang sudah siap untuk menjalankannya guna melihat titik keberhasilan dari regulasi itu. “Tapi, kalau bicara zero ODOL itu nantikan akan diterapkan secara nasional, bisa dipastikan itu  tidak akan pernah selesai masalahnya mengingat setiap daerah itu memiliki karakter dan komoditi yang berbeda-beda,” katanya.

Dia juga melihat ketidaksiapan infrastruktur ini akan membuat biaya logistik yang malah menjadi naik dengan kehadiran zero ODOL. “Kalau diberlakukan secara tidak terkontrol dan terkoordinir lebih baik, tentukan biaya logistiknya akan naik bukan turun. Karena, yang modanya tidak bisa akses kan harus ganti moda. Artinya, dia harus menambah biaya bongkar muat lagi,” ujarnya. (Sobirin)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU