13 January 2025
HomeBeritaAnggota PATPI: Pelabelan Lolos Batas Uji Aman Kemasan Berpotensi Resahkan Konsumen

Anggota PATPI: Pelabelan Lolos Batas Uji Aman Kemasan Berpotensi Resahkan Konsumen

Jakarta-Semua produk pangan, baik makanan maupun minuman yang sudah memiliki ijin edar berarti sudah diuji  keamanannya.  Artinya, baik produk dan kemasan pangan yang digunakan itu sudah sesuai pedoman dan kriteria yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Perindustrian.

“Untuk keamanan pangan, itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman untuk digunakan oleh konsumen,” ujar  Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono.

Dia mengatakan semua produk pangan itu sudah ada kriteria amannya masing-masing, baik itu secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Jadi, menurutnya, pengusaha pangan harus mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan. Begitu juga terkait kemasan yang digunakan, itu berbeda-beda kriteria keamananannya atau batas toleransi amannya. Termasuk soal migrasi monomer dari kemasannya atau yang dijadikan pelapis kemasannya. Misalnya, untuk kemasan Styrofoam dan kemasan kaleng, kriteria amannya adalah tidak boleh digunakan untuk makanan panas. Begitu juga untuk kemasan galon guna ulang dan sekali pakai, keduanya juga memiliki kriterianya sendiri agar aman digunakan oleh konsumen.

“Makanya, semua produk pangan itu termasuk kemasannya itu perlu memiliki sertifikat SNI atau wajib berlabel SNI, sehingga aman untuk dikonsumsi,” tukas Hermawan yang juga merupakan Kepala Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi.dan peneliti di bidang pangan.

Seperti diketahui, BPOM saat ini tengah mewacanakan pemberian label lolos uji keamanan pangan, yang diutamakan pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK).

Hermawan mengutarakan bahwa semua produk pangan yang sudah memiliki ijin edar itu sebenarnya sudah memiliki label pada kemasannya. Label itu sudah menunjukkan semua informasi dari produk pangan tersebut, seperti  komposisi produk pangan, nama produknya, tempat produksinya, dan tanggal kadaluarsanya.

“Semua produk yang sudah diedarkan itu sebenarnya sudah memiliki label dan sudah teruji keamanan pangannya, termasuk produk air minum dalam kemasan. Jadi, menurut saya sebenarnya tidak perlu lagi pelabelan lainnya,” ucapnya.

Apalagi, dia melihat penambahan label baru itu nantinya malah akan menambah biaya bagi industri  untuk melakukan pengujian dari kemasan.  “Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi  untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tdak sedikit,” katanya.

Selain itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa tidak ada jaminan penambahan label baru itu justru malah membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut. “Bisa saja pelabelan yang menyatakan produk itu aman dari monomernya itu malah membuat konsumen menjadi takut menggunakan produk tersebut,” ujarnya.

Sementara, Pakar Kimia ITB, Ahmad Zainal, meminta jika mau melakukan pelabelan itu,  BPOM harus memberlakukannya pada semua produk dan tidak terfokus hanya pada satu produk tertentu saja. “BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturan BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” tuturnya.

Senada dengan Hermawan, menurut Zainal, pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki ijin edar, termasuk produk AMDK, sudah aman untuk digunakan. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman.

Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen. Karena, pelabelan itu jelas akan menambah biaya. “Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” tukasnya.

Berbicara soal berbahaya, Zainal mengungkapkan bahwa semua bahan kimia yang ada dalam kemasan pangan itu berbahaya, termasuk plastik berbahan PET atau sekali pakai yang mengandung etilen glikol yang bisa merusak otak manusia jika dikonsumsi secara berlebihan. “Termasuk garam dapur pun itu bahan dasarnya yang berasal dari Klor dan Natrium sangat berbahaya. Tapi setelah menjadi garam dapur, kan malah digunakan untuk masakan. Jadi, sama saja dengan etilen glikol dan BPA itu, kalau sudah membentuk polimer bisa digunakan untuk kemasan pangan,” ujarnya.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, juga mempertanyakan adanya wacana bahwa BPOM  akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan itu.

Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.  Di antaranya, BPOM harus melihat apakah sudah ada kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan. “Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tandasnya. (CR)

 

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU