18 March 2025
HomeBeritaArno D. Rizaldi Setiawan: Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Selalu Tertinggal

Arno D. Rizaldi Setiawan: Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Selalu Tertinggal

Perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual (KI), dalam hal ini paten, hal cipta, merek dan desain industri sangat kompleks dan luas. Namun, perlindungan terhadap KI ini, bukan semata berkaitan dengan perlindungan usaha, produk dan sebagainya, tetapi juga berkaitan dengan jaminan kualitas, terutama yang berkaitan dengan produk yang dikonsumsi tubuh manusia misalnya pangan, minuman dan obat-obatan.

Dalam kaitannya dengan perlindungan KI, Kusnandar & Co merupakan Kantor Hukum yang memiliki reputasi internasional yang kini telah berusia sekitar 42 tahun dan khusus untuk menangani KI ini, Kusnandar & Co memiliki dan melayani sekitar 95 persen klien yang berasal dari luar negeri. Saat ini, Arno merupakan pimpinan Kusnandar & Co.

Untuk itu, kami melakukan percakapan dengan Konsultan KI, yang juga Counsel Kusnandar & Co, Arno D. Rizaldi Setiawan, B.Sc., CWM, MCIArb. di Jakarta, 15 November 2022. Selamat menyimak.

Persoalan KI ini sangat kompleks. Dari berbagai kasus KI yang pernah ditangani, kasus apa yang paling terkesan?

Sebenarnya ada banyak pengalaman, tetapi setidaknya ada dua yang sangat berkesan. Kami pernah menangani kasus pemalsuan maskot copyright milik restoran terkenal luar negeri yang sulit diselesaikan hukum, karena Undang Undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia pada saat itu belum mencakup hal-hal yang disengketakan sehingga tidak dapat memberikan perlindungan hak cipta yang memadai kepada pemilik hak cipta.

Pengalaman lain juga berkaitan dengan penggerebekan barang-barang palsu merek terkenal dimana ketika dilakukan penggerebekan ternyata sudah bocor duluan sehingga kurang berhasil, dan tidak lama kemudian barang-barang palsu tersebut muncul kembali di pasaran.

Pengalaman lain lagi?

Soal penghapusan atau pembatalan paten. Sampai dengan tahun 2000an awal, tata cara penghapusan paten, sesuai dengan Undang-Undang Paten Baru No. 13/2016 dan arahan Direktorat Paten, kalau anuitas tidak dibayar oleh Pemilik Paten maka Paten langsung dihapuskan. Namun sebelum itu, pada pertengahan 2010an tiba-tiba Direktorat Paten, menagih anuitas yang belum dibayarkan termasuk anuitas paten yang sudah dibatalkan sejak lama dengan warning bahwa jika tidak dibayar, pemilik paten akan mengalami kesulitan dengan permohonan paten-paten mereka yang diajukan di masa kini. Terang saja hal ini menimbulkan keresahan di kalangan pemilik paten, karena kebijakan itu diberlakukan tanpa melihat preseden sebelumnya, artinya paten akan batal dengan sendirinya karena “dibolehkan” tanpa mengajukan permohonan pembatalan, tetapi kemudian diharuskan membayar.

 Bagaimana Anda melihat perlindungan Hak Paten di Indonesia, baik dari sisi regulasi maupun dari institusi untuk itu?

Perlindungan dan pendayagunaan hak Paten di Indonesia seharusnya merupakan lahan yang luar biasa luas dan masih harus ditekuni lebih mendalam lagi karena sumber daya alam Indonesia sangat fantastis, sehingga sangat diperlukan pengembangan dan pendayagunaannya melalui peningkatan pengunaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi yang inovatif dapat diterapkan dalam industri. Karena itu, Direktorat Paten Indonesia perlu memperbaiki dan meningkatkan pelayanan dan kualitas personelnya dalam mendorong dan memaksimalkan inovasi iptek Dalam Negeri Indonesia sendiri, sehingga tidak sekadar mengandalkan hasil pendaftaran paten dari luar negeri. Ini semua adalah masalah kita bersama, yang secara intensif harus kita perbaiki dari waktu ke waktu.

Dengan pengalaman panjang di dunia internasional, hal apa yang patut dijadikan pembelajaran bagi kita dalam soal KI khususnya paten?

Kalau kita berbicara tentang KI, dalam hal ini hak paten, di Indonesia, kemungkinan besar yang terungkap terlindungi mayoritasnya adalah KI milik pihak luar negeri/asing. Kita dapat belajar dari KI milik pihak luar negeri/asing ini bagaimana kita mengaplikasikan paten-paten lokal kita sendiri. Namun ternyata pembelajaran yang kita dapatkan malahan bahwa sepertinya KI belum menjadi perhatian yang utama. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, sumber daya alam yang luar biasa, perihal KI memang selalu saja ada pembahasan, diskusi maupun seminar, tetapi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, implementasi maupun penanganan KI masih tertinggal jauh. Hal ini mungkin dikarenenakan oleh anggapan, toh investor tetap akan ada karena berbisnis di Indonesia dengan suber daya alam dan market yang begitu besar sangat menggiurkan. Di samping itu, knowhow dan skill pelaku bisnis lokal, local scientists, maupun instansi pemerintah dan sebagainya masih perlu mendapat perhatian, baik secara pengetahuan maupun praktik bisnis agar melek KI.

Bagaimana Anda melihat perlindungan  produk etnik suatu komunitas yang dilakukan secara turun-temurun, tapi begitu mudah dijiplak tanpa konsekuensi apapun?

Ada beberapa teman designers, terutama karya cipta di bidang fashion maupun product, mengeluh karena produknya sering kali dijiplak oleh untuk seorang desainer Indonesia, yang cakupan market-nya masih lebih banyak lokal, akan sangat mahal dan tidak efisien untuk melapor, men-somasi, menggugat; pendeknya berurusan dengan aparat penegak hukum dan sebagainya untuk memperjuangkan KI mereka. Karena produk desain maupun fashion sangat cepat turnover-nya, dan hukum acara negara kita yang berlapis-lapis hanya dapat menuntaskan suatu perkara secara inkracht – berkekuatan hukum tetap dalam teori maupun prakteknya memakan waktu minimal sekitar 290 hari termasuk Kasasi belum terhitung Peninjauan Kembali, meskipun secara praktik, biasanya akan lebih sering sangat super-duper tertunda. Sementara kalau kita bicara tentang fashion spring/summer dan fall/winter, sedangkan urusan hukum baru selesai setelah berulang kali berganti season. Kalau memang seorang desainer lokal mempunyai sumber dana dan sumber daya untuk memerangi si penjiplak, then go for it. Namun kembali lagi, apa saja tindakan pemulihan yang harus dilakukan oleh Penjiplak? Mampu ganti ruginya seberapa besar? Apakah ujungnya pasang badan juga? Apakah semua itu worth it …?

Dalam hal produk etnik suatu komunitas yang dilakukan secara turun – temurun, pertanyaan nya apakah komunitas tersebut cukup niat untuk memerangi si penjiplak dan apakah ada sumber dana maupun sumber daya untuk memerangi si penjiplak?

Arno D. Rizaldi Setiawan, ACIrb.(ist)

Menurut Anda, apa saja yang perlu diperbaiki agar KI dapat lebih terlindungi ke depan?

Yang jelas rambu-rambu hukum, regulasi, peraturan dan perundang-undangan berikut penegakan hukumnya harus jelas menjamin kepastian hukum dan keadilan. Juklak Juknis-nya juga harus sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Literasi dan sosialisasi pentingnya perlindungan KI terus digencarkan kepada setiap komponen pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Kalau hal seperti ini dirapikan, saya kira kita akan dapat terus bergerak maju.

KI milik pihak mana yang sangat rentan dibajak atau dipalsukan untuk saat ini, baik karena regulasi maupun kesadaran pemilik hak?

 Pada saat ini yang sangat rentan dibajak atau dipalsukan bahkan disalah-gunakan adalah KI milik pihak asing yang terkenal/mendunia serta semua pelaku industri kreatif. Kalau memang KI belum menjadi perhatian yang utama karena kalau bentuknya baju atau tas palsu meski penting dari segi ekonomi namun tidak secara langsung membahayakan kesehatan dan nyawa konsumen, maka kita juga harus ingat bahwa pemalsuan dan penyalah-gunaan, merek, desain, hak cipta, serta paten tersebut dapat juga diaplikasikan terhadap makanan minuman serta obat-obatan yang ditelan manusia sedangkan pada akhirnya aparat negara yang menangani nya itu-itu juga. Saya kira dan sudah kita ketahui bersama, ada beberapa kasus di bidang kesehatan yang pernah dan kini sedang mencuat ke publik.

Regulasi atau institusi apa yang dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan KI?

 Para personel maupun tata kerja Ditjen KI Kemenkumham RI, para penegak hukum yaitu Kepolisian, para Jaksa dan Hakim perlu meningkatkan pengetahuan maupun kesadaran akan pentingnya perlindungan KI bagi kemajuan bangsa. Asosiasi industri-industri tertentu juga harus ada, harus aktif dan dapat dijadikan pegangan bagi pelaku industri terkait. Memang tantangan untuk perlindungan KI itu kompleks dan rumit, termasuk kemampuan untuk menguji produk.

Bagaimana Anda melihat peran pemerintah atau penegak hukum mengenai arti penting perlindungan hak atas KI?

 Memang dengan berjalannya waktu, peran Pemerintah maupun penegak hukum sekarang sudah jauh lebih baik. Tapi yang sangat disayangkan adalah literasi dan perlindungan KI kita sering tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini menjadi tantangan bagi kita, karena perlindungan KI akan menjadi sangat penting di masa-masa mendatang yang ditandai dengan era digitalisasi yang kian masif dan revolusioner perkembangannya.

 Ada beberapa produk etnik, karya seni, termasuk lagu yang diklaim sebagai milik negara lain, seperti lagu “Rasa Sayang” yang pernah heboh di masa lalu. Bagaimana Anda melihat hal seperti ini?

 Yang diperlukan dalam hal ini adalah pembuktian siapa yang pertama kali menciptakan dan menggunakannya, misalnya untuk lagu “Rasa Sayang”, Indonesia harus dapat melakukan pembuktian dengan menelaah sejarah dan membandingkan dengan Malaysia, negara mana yang lebih dahulu menggunakan. Siapa yang punya bukti lebih kuat, seharusnya dia yang menang, sehingga bagaimana mungkin Malaysia dapat mengklaim lagu tersebut adalah milik mereka?

Menurut Anda, apa tantangan terberat di era digital saat ini kalau dikaitkan dengan perlindungan KI?

 Era digital seharusnya dapat membantu meluruskan, membenahi dan memproteksi perlindungan KI di masa yang akan datang. Dengan adanya teknologi seperti blockchain, semua yang sifat nya digital akan selalu mempunyai rekam jejak selama lamanya. Tantangannya adalah apakah teknologi ini terjangkau untuk pelaku industri dan kapan penerapannya?

Ditjen KI sendiri sudah mengimplementasikan digitalisasi yang sepertinya dilakukan untuk mengurangi tindakan KKN. Namun, karena sistem yang belum komprehensif maupun manajemen Ditjen KI yang membutuhkan perbaikan, maka praktisi KI mengalami berbagai macam kendala dalam memproses dan mengurus kepentingan mereka.(daniel)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU