29 April 2024
HomeBeritaBernuansa Otoritarianisme, PKS Ogah Dukung Perppu Cipta Kerja Jadi UU 

Bernuansa Otoritarianisme, PKS Ogah Dukung Perppu Cipta Kerja Jadi UU 

SHNet, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang Undang (Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Penerbitan Perppu itu dilakukan di penghujung 2022, nyaris ketika rakyat Indonesia bersiap menyambut liburan Natal dan Tahun Baru.

Tentu saja, proses penerbitan Perppu ini mendapat kritik dari dari berbagai kalangan mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Artinya, secara formal, UU Cipta Kerja  tidak memenuhi syarat-syarat formal pembentukan UU.

Saat ini, sejumlah pihak telah melayangkan permohonan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pembatalan Perppu tersebut. Sementara itu, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersiap untuk menolak pengesahan Perppu tersebut menjadi Undang Undang (UU). Kali ini, argumentasinya tidak hanya terkait materi namun juga menyangkut prosedur pembuatan Perppu yang cacat hukum.

Anggota DPR dari Fraksi PKS Amin AK saat diwawancara SHNet di ruang kerjanya mengungkapkan alasan-alasan PKS menolak Perppu Cipta Kerja.

Menurutnya, kehadiran Perppu tersebut sangat kental nuansa otoritarianisme kekuasaan Presiden ketimbang nuansa demokrasi. Perppu tersebut juga tidak sesuai dengan semangat yang ada dalam putusan MK. Ketetapan MK menyatakan bahwa Perppu bisa diterbitkan jika memenuhi tiga persyaratan.

Syarat pertama adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Dari syarat-syarat ini kan belum memadai. Kita masih punya waktu. Keputusan MK memberikan waktu dua tahun, itu sudah sangat bijak. Kalau kita hitung dari terbitnya Perppu itu masih satu tahun lagi,” katanya.

Ia mengatakan, jika memang ada itikad baik, seharusnya DPR maupun pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis dan taktis sesuai peraturan UU yang berlaku setelah MK mengeluarkan putusan. (Tutut Herlina)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU