SHNet, Jakarta-Bayangan atas profesi petani pada sebagian besar masyarakat kita sangat keliru. Sering mereka menilai petani itu terbelakang, dan selalu harus dibantu. Kenyataannya, petani memiliki cara, pola berfikir dan bekerja secara cerdas. Mereka terbelakang justru karena kebijakan yang tidak berpihak pada petani.
“Karya yang saya tulis sejak lama dan baru rampung in bisa disebut sebagai sebuah gugatan atas profesi petani,” ujar novelis Kanti W Janis ketika menyampaikan pandangannya saat peluncuran novel terbarunya, di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarat Selatan, Sabtu petang (28/01/2023).
Endapan selama 12 tahun proses penulisan novel ini diharapkan Kanti bisa menjadi pintu masuk untuk ke dalam diskursus isu-isu penting dan sensitif terkait masa depan Indonesia yang selama ini terlewatkan. Seperti minimnya regenerasi petani dan rusaknya alam karena investasi tak terukur.
Kanti bukan saja dikenal sebagai novelis, tapi juga lawyer, dan pembela hak-hak kaum pinggiran, dan juga pegiat kemajuan wanita Indonesia. Gagasan dan idenya mendirikan sebuah perpustakaan publik dan ruang temu bernama ‘Baca di Tebet’ bersama Wien Muldian dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sebagian mengatakan ruang publik itu bagai oase di tengah kekeringan tempat diskusi buku dan budaya.
Karena lingkup aktivitasnya yang begitu banyak, tak heran ketika peluncuran novelnya dihadiri kalangan dari beragam profesi. Ada Direktur Balai Pustaka, A. Fachrodji, pianis Ananda Sukarlan, cerpenis Kurnia Effendi, novelis Ayu Asmara, para penulis dan pemerhati budaya. Juga ada sejumlah ‘petani modern’ ikut larut dalam diskusi soal petani ini.
Setelah peluncuran novel ini, Kanti bersama timnya, dalam waktu dekat akan melakukan semacam ‘roadshow’ ke 12 kota di Indonesia untuk mempromosikan novel, dan yang terpenting membahas masalah terkini soal petani. (Sur)