SHNet, Jakarta-Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) membantah dalam fatwanya mencantumkan nama-nama produk afiliasi Israel yang diharamkan dan tidak boleh digunakan dan telah menyebar di masyarakat. Dewan Pers pun menyarankan agar MUI melakukan hak jawab dan melaporkan media yang telah memelintir pernyataannya tersebut.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana. Menurutnya, wartawan tidak dibenarkan menulis berita yang tidak sesuai dengan fakta atau yang tidak betul. Terkait fatwa MUI, dia mengatakan wartawan tidak dalam posisi menafsirkannya dengan macam-macam apalagi di luar konteks yang disampaikan . “Wartawan hanya boleh memberitakan yang ada dalam konferensi pers MUI, produknya seperti apa dan yang mana,” ujarnya.
Jika memang benar MUI menyebutkan nama-nama produknya itu apa saja, wartawan tidak dalam posisi salah untuk memberitakannya. “Tapi, masalahnya di sini kan MUI merasa tidak pernah menyebutkan nama-nama produk yang harus diboikot. Jadi, wartawan juga tidak boleh menuliskan atau beropini sendiri dengan memasukkan nama-nama produk itu dalam pemberitaannya seolah-olah pernyataan itu dari MUI,” tukasnya.
Kata Yadi, dalam Pasal 3 UU Pers dan Kode Etik Jurnalis disebutkan wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Kemudian dalam Pasal 4 juga disebutkan Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. “Jadi, jika dalam kasus fatwa MUI ini ada wartawan yang tidak memberitakan sesuai fakta, jelas mereka telah melanggar kode etik jurnalis,” katanya.
Untuk itu, dia menyarankan agar MUI sebagai objek dari berita yang diberitakan, kalau melihat bahwa apa yang disampaikan di konferensi pers tidak sesuai dengan yang ada di berita, bisa saja melakukan hak jawab yang dikirimkan langsung kepada medianya. “Jika hak jawab tersebut ternyata diabaikan atau tidak dipenuhi oleh media tersebut, MUI bisa langsung lapor ke Dewan Pers untuk dilakukan mediasi,” ucapnya.
Sebelumnya, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Satrio Arismunandar, meminta agar media jangan cuma memainkan isu konflik Israel-Palestina ini untuk sekadar mencari sensasional atau lebih buruk lagi untuk kepentingan perang dagang. “Saya curiga jangan-jangan ada media yang menjadi alat kepentingan perang dagang. Jadi, ada perusahaan-perusahaan tertentu yang mau menghantam perusahaan saingan dengan cara memainkan isu politik Israel Palestina ini untuk kepentingan bisnis mereka. Ini sangat menyedihkan sekali,” ujarnya.
Karenanya, dia meminta para media agar jangan sampai jadi alat seperti itu. “Karena itu menyalahi prinsip dasar jurnalistik,” kata Satrio.
Jadi prinsipnya, lanjut Satrio, media itu tanggung jawab utamanya pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan lain, kepentingan pemerintah, kepentingan apapun dan siapapun. “Sebab, pengertian publik yang dilayani oleh media atau yang menjadi konsumen media adalah yang seperti itu,” tuturnya.
Kata Satrio, dalam konteks melayani kepentingan publik itu, media wajib memberikan pencerdasan atau pencerahan pada audiensnya. Dalam hal ini, media harus memberikan informasi secara utuh, lengkap, dengan perspektif yang jelas. “Jadi, tidak memberikan informasi yang sifatnya cuma sepihak, cuma satu sudut saja, cuma menguntungkan kelompok tertentu saja, apalagi kalau kelompok itu hanyalah mereka yang terlibat dalam persaingan bisnis atau persaingan politik,” ucapnya.
Kalau tidak melakukan hal-hal itu, menurut Satrio, media prinsipnya hanya menjadi satu alat propaganda atau alat untuk perang dagang dan segala macam, dan itu bukan fungsi media. “Itu menyalahi fungsi media yang mendasar. Jadi, kembali ke peran utama adalah melayani kepentingan publik, memberi pencerdasan pada publik,” tukasnya. (cls)