BANDUNG, SHNet– Staf pengajar Pasca Sarjana Hubungan International Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung, Dr Connie Rahakundini Bakrie, menilai keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berpotensi melemahkan kompetensi dan daya asing riset nasional.
“Secara umum kehadiran BRIN mesti disambut positif, memajukan Indonesia melalui kekuatan riset ilmu pengetahuan. Tapi kehadiran Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021, tentang: Badan Riset dan Inovasi Nasional, implikasinya telah membuat masyarakat ilmiah jadi resah,” kata Connie Rakahundini Bakrie, Jumat malam, 7 Januari 2022.
Connie Rahakundini Bakrie, menilai, keberadaan BRIN bersifat sentralistik dan birokratik, akan melahirkan konservatisme dan tidak akan hidup terobosan inovasi yang radikal dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, adanya good will Pemerintah yang kuat untuk memajukan riset nasional didukung masyarakat ilmiah Indonesia ingin mengawal dengan sebaik-baiknya keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2021.
Namun pada pelaksaannya, kata Connie Rahakundini Bakrie, berpotensi justru melanggar Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2919, tentang: Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas IPTEK), dan menimbulkan pergolakan sosial dari masyarakat ilmiah dan kampus.

“Hal-hal ini berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” jelas Connie Rahakundini Bakrie.
Untuk menghindari hal-hal semacam itu, akademisi dan masyarakat riset Indonesia menurut Connie Rahakundini harus memberikan tanggapan yaitu bukan sekedar menunda Perpres 78 tahun 2021.
“Presiden perlu memfasilitasi pertemuan dan urun rembug perwakilan stake holder dari institusi yang atau akan dilikuidasi oleh BRIN,” ujar Connie Rakakundini Bakrie.
Connie Rahakundini Bakrie, menyarankan agar segera mengatur pertemuan dengan Dewan Pengarah BRIN sebagai redefinisi dan redesign struktur fungsi dari BRIN, sehingga BRIN menjadi optimum catalyst agent dalam memajukan riset nasional.
Connie Rahakundini Bakrie mendukung usaha negara untuk memajukan dunia riset Indonesia menghadapi tantangan ilmu pengetahuan masa depan dengan menormalisasi Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) strategis yaitu EIJKMAN, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Nobel prize didapat Laboratorium Eijkman tahun 1959 itu lokusnya Indonesia. BATAN, itu, dilahirkan dengan Undang-Undang. Jadi tidak mungkin dibatalkan oleh Perpres,” ujar Connie Rahakundini Bakrie.
Connie Rahakudini Bakrie, menganjurkan untuk mempelajari cara negara-negara lain mengembangkan riset dan IPTEK.
Connie Rahakundini Bakrie, mengingatkan, keresahan masyarakat terkait BRIN yang utamanya akan berimbas pada riset pada penelitian utama masa depan seperti nuklir dan neglected tropical desease yang menjadi target perhatian dunia di 2050.
“Intinya kalau mau mudahnya BRIN itu copy saja model Royal Society di Inggris. Juga pengembangan nuklir era thorium misalnya, itu harus bisa dilakukan BATAN secara otonom karena akan terkait banyak pada kerjasama luar negeri misalnya dengan International Atomic Energy Agency atau IAEA,” ujar Connie Rahakundini Bakrie.
Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro meminta agar lembaga-lembaga yang dilebur itu kembali dikeluarkan. Ia ingin lembaga yang dilebur dalam BRIN dikeluarkan.
“Kembalikan semua lembaga yang dilebur itu seperti semula,” ujar Satryo Soemantri Brodjonegoro, Rabu, 5 Januari 2022.
BRIN hanya boleh berperan sebagai koordinator riset di Indonesia. BRIN dinilai tidak perlu meleburkan berbagai lembaga riset yang ada.
“Mengkoordinasikan program maupun dananya. Risetnya dilakukan masing-masing lembaga riset. Sangat sederhana,” ujar Satryo Soemantri Brodjonegoro.
AIPI menunggu langkah BRIN, karena telah mengirimkan masukan, kritik hingga saran kepada Pemerintah.
“Berbagai pemikiran dan konsep sudah kami sampaikan untuk hal-hal yang terkait dengan pengembangan Iptek di Indonesia maupun di dunia. Ya tinggal dari mereka apakah mereka berkenan mengikuti saran AIPI,” tutup Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Adapun salah satu LPNK yang dilebur ke BRIN adalah Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman.
“Penciptaan BRIN yang mengintegerasikan, melikuidasi berbagai LPNK, itu adalah malapateka untuk riset dan inovasi Indonesia,” kata Prof Dr Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Narasi Institute, Jakarta, Jumat, 7 Januari 2022.
Azyumardi Azra, peleburan LPNK ke BRIN akan menyebabkan dekonstruksi kelembagaan dan sumber daya manusia di masing-masing lembaga.
Azyumardi Azra berpendapat, akan lebih tepat jika BRIN hanya menjadi badan yang menjalankan tugas dan fungsi koordinasi sesuai Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
“Saya kira kalau itu saya setuju. Bagus. Tapi kalau mengintegrasikan, maka BRIN bayang-bayangnya lebih panjang dari badannya. Artinya, kapasitas dia tidak memadai untuk menangani semua ini,” tutur Azyumardi Azra.
LBM Eijkman berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Perubahan nama beriringan dengan peleburan LBM Eijkman ke dalam BRIN. Perubahan manajemen LBM Eijkman menjadi PRBM Eijkman BRIN sudah dilakukan sejak September 2021.
BRIN memberikan lima opsi untuk para peneliti yang tergabung di LBM Eijkman sesuai status masing-masing.

Pertama, Aparatur Sipil Negara (ASN )periset dilanjutkan menjadi ASN BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti.
Kedua, honorer periset usia diatas 40 tahun dan Strata-3 (S3) dapat mengikuti penerimaan ASN jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021.
Ketiga, honorer periset usia kurang dari 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN.
Keempat, honorer periset non-S3 dapat melanjutkan studi dengan skema by-research dan Research Assistantship (RA) atau melanjutkan sebagai operator laboratorium di Cibinong.
Kelima, honorer non periset diambil alih Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangungkusumo, Jakarta.*
Sumber: bergelora.com/kompas.com