SHNet – Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) adalah masa yang krusial dalam perkembangan anak, namun juga seringkali menjadi tantangan berat bagi para orang tua, khususnya ibu. Dalam fase ini, dukungan dari pasangan dan keluarga sangatlah penting, mengingat ibu tidak hanya harus memastikan kecukupan ASI bagi bayi, tetapi juga sedang dalam proses pemulihan pasca melahirkan, yang secara fisik dan mental bisa sangat melelahkan, demikian diungkapkan oleh dr. Agnes Tri Harjaningrum, MSc., Sp.A, seorang dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Permata Depok.
Dr. Agnes yang aktif dalam mendidik melalui media sosial, melihat adanya persepsi dan praktek-praktek yang perlu diperbaiki dalam pemberian ASI. “Kurangnya dukungan dari pasangan dan keluarga, serta keberadaan mitos-mitos yang masih dipercaya di masyarakat, dapat membuat ibu merasa tidak percaya diri, tertekan, dan mengalami gangguan kesehatan mental, yang pada akhirnya menghambat keberhasilan program ASI eksklusif,” ungkap dr. Agnes saat ditemui di rumahnya pada Jumat (19/1).
Ia menegaskan bahwa meskipun ASI dianggap sebagai yang terbaik, tidak semua ibu memiliki kemampuan untuk memberikannya dengan mudah. Ada beberapa kondisi yang dapat membuat pemberian ASI terhambat, seperti konsumsi obat tertentu oleh ibu, pendarahan pasca persalinan yang mengharuskannya untuk dirawat di ICU, atau adanya penyakit menular yang dapat ditularkan kepada bayi melalui ASI. Selain itu, kondisi bayi juga bisa mempengaruhi proses pemberian ASI, seperti bayi yang lahir prematur dan harus dirawat di NICU, atau memiliki penyakit metabolik tertentu.
“Kita semua sepakat bahwa ASI adalah yang terbaik. Namun, dunia ini tidaklah hitam putih, ada banyak abu-abu di dalamnya. Ada kondisi-kondisi di mana seorang ibu tidak mampu memberikan ASI, dan kita harus memberikan solusi daripada menyalahkan ibu tersebut,” tegas dr. Agnes.
Menurut dr. Agnes, permasalahan pemberian ASI di Indonesia cukup kompleks. Selain dari segi medis, kurangnya dukungan dari suami dan keluarga, kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI, dan kepercayaan turun-temurun yang salah, juga turut memengaruhi keberhasilan pemberian ASI. Contohnya, ketidakadaan suami dalam mendampingi ibu sejak awal kehamilan hingga melahirkan dapat membuat ibu merasa terisolasi dan stres, sehingga memengaruhi produksi ASI.
Di samping itu, tekanan dari mertua atau keluarga terdekat, yang mengharapkan ibu untuk menjadi sempurna, juga dapat membuat ibu merasa tertekan dan tidak mampu memberikan ASI dengan optimal. Seringkali, sindrom “ASI kurang” juga menjadi masalah, di mana ibu merasa produksi ASInya tidak mencukupi, padahal hal ini normal terjadi pada hari-hari awal setelah melahirkan.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah situasi ibu bekerja, terutama bagi perempuan yang bekerja di sektor produksi atau pabrik. Meskipun ada peraturan yang mengatur hak anak untuk mendapatkan ASI eksklusif dan kewajiban perusahaan untuk memberikan cuti selama 3 bulan bagi ibu yang menyusui, kenyataannya masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi aturan tersebut.
Dr. Agnes berharap agar pemerintah bisa lebih tegas dalam menegakkan aturan yang sudah ada untuk menjamin masa depan yang lebih baik bagi ibu dan anak. “Kita tidak bisa berbuat banyak jika undang-undang yang sudah ada terus dilanggar. Pemerintah harus tegas dan memberikan sanksi bagi perusahaan yang mempersulit ibu menyusui di tempat kerja,” tambahnya.
Selain sebagai dokter spesialis anak, dr. Agnes Tri Harjaningrum, MSc., Sp.A juga dikenal sebagai pembuat konten kesehatan di media sosial seperti YouTube dan Instagram dengan nama pengguna @MeetdrAgnes. Aktivitasnya di media sosial tersebut mencakup edukasi mengenai kesehatan anak, nutrisi, dan kesejahteraan ibu. Melalui kanal YouTube-nya, dr. Agnes juga sering memberikan tips dan trik terkait kesehatan anak untuk para orang tua.