Jakarta-Menjadi kaya itu tidak salah. Menumpuk kekayaan di atas tanah rakyat tanpa memberikan kesejahteraan pada rakyat itulah yang disebut pengkhianat konstitusi Negara. Sebab, konsentrasi ekonomi di tangan segelintir pengusaha yang juga memainkan peranan penting dalam mengelola Negara semakin menjauhkan semangat membangun kesejahteraan bersama.
Demikian Direktur Archipelago Solidarity Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/11/2023). Engelina dihubungi mengenai elit politik yang larut dalam permainan politik tetapi tak atau belum menyentuh substansi isu ekonomi di Indonesia.
“Situasi ini tidak bisa dibiarkan, karena hampir semua sumber kekayaan alam Indonesia saat ini berada dalam genggaman segelintir orang, yang juga berada di balik permainan politik nasional. Ini mau sampai kapan? Saling sandera, karena politik membutuhkan uang, dan para pemodal membutuhkan sokongan politik. Ini mempertaruhkan nasib rakyat,” tegas Engelina.
Engelina mengatakan, kawasan timur yang kaya akan sumber daya alam tetapi terpuruk sebagai kawasan miskin. Di saat bersamaan, bukan rahasia lagi, kalau sumber daya alam di kawasan timur berada dalam segelintir orang yang memang praktis menguasai ekonomi Indonesia. Penguasaan kekayaan sumber daya alam yang demikian masif, jelas Enggelina, dengan sendirinya menjauhkan dari niat baik untuk menghadirkan kesejahteraan umum.
Engelina melihat adanya hubungan erat antara pemerintah di satu sisi dan pengusaha besar di sisi lain. Polanya sangat halus, karena rakyat dininabobokan dengan bantuan langsung tunai (BLT). Tentu, rakyat yang memang sudah susah membutuhkan BLT dan berbagai bantuan instan lainnya. Tapi, sebenarnya di balik ini sebenarnya merupakan upaya halus untuk menyenangkan rakyat seolah sudah menyelesaikan ketimpangan ekonomi, karena yang kaya semakin kaya dan miskin sejatinya tetap miskin.
“Solusi menyelesaikan ketimpangan seperti ini ibarat obat anti sakit diberikan kepada mereka yang menderita kanker stadium tiga. Situasi seperti ini, jujur saja menghina kecerdasan kami-kami yang di tahun 1992 hingga 1999 memperjuangkan demokrasi dengan air mata dan darah,” jelas Engelina.
Menurut mantan Anggota DPR RI ini, situasi yang terjadi saat ini hanya hiruk pikuk demokrasi politik semata, tetapi tidak menyentuh demokrasi sosial dan demokrasi yang harus menghadirkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat.
“Kalau semua sumber daya alam dikuasai segelintir orang akan semakin jauh dari upaya menghadirkan keadilan sosial dan ekonomi. Saya pikir, demokrasi politik sudah selesai, sekarang bagaimana seluruh komponen masyarakat menjadikan keadilan sosial dan keadilan ekonomi sebagai agenda bersama. Ini sama sekali tidak terlihat dari semarak demokrasi politik saat ini,” tegas Engelina.
Dia mengingatkan, Indonesia baru bisa menerapkan demokrasi politik, tetapi masih jauh dari praktik untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi. “Jadi, kalau semua kekayaan alam dikuasai segelintir orang, tentu memunculkan pertanyaan bagaimana bisa menghadirkan keadilan sosial dan ekonomi. Ini masalah mendasar yang semakin jauh terabaikan, karena semakin ke sini, segelintir pengusaha yang dikenal dengan istilah oligarki semakin menjadi-jadi. Sebaiknya, ada peringatan dini, agar tidak meneruskan situasi ini karena pada akhirnya akan membangkitkan kesadaran akan perlawanan,” tutur Engelina.
Engelina menjelaskan, dengan praktik politik biaya tinggi akan menciptakan ketergantungan kepada para pemilik modal, sehingga pada akhirnya segelintir pemilik modal ini akan mengendalikan kekuasaan baik secara langsung atau tidak langsung. Gejala ini, jelas Engelina, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, tetapi para elit politik tidak berdaya untuk menghadapi oligarki karena ketergantungan akan biaya politik yang tentu saja tidak kecil.
“Pertanyaannya, sampai kapan, kepentingan rakyat dan Negara ini dibiarkan berada dalam pengendalian oligarki yang mungkin saja menyusupkan orang dalam pusat-pusat pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Begitu mudahnya para penguasaha menguasai sumber daya alam dan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, merupakan bukti nyata dari semua itu. Hal ini tidak akan terjadi kalau pemangku kebijakan di pusat dan daerah memiliki sikap independen dalam mengelola Negara,” tegasnya.
Dia mencontohkan pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara yang diungkapkan Presiden Joko Widodo sebagai yang tertinggi di dunia, tidak membawa dampak apapun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Karena pertumbuhan itu tidak lepas dari eksploitasi sumber daya alam. Bahkan, eksploitasi itu mengorbankan masyarakat melalui perusakan lingkungan hidup.
“Artinya, kekayaan masyarakat lokal sudah dikeruk, tetapi tidak menghadirkan kesejahteraan dan justru masyarakat harus menanggung beban akibat kerusakan lingkungan hidup,” katanya.
Engelina mengatakan, sejauh ini tidak ada pasangan calon presiden yang memiliki agenda khusus untuk mengangkat kemiskinan di kawasan timur. Semua hanya mengambil isu normatif untuk melanjutkan dan meneruskan apa yang sudah ada, tetapi tidak ada yang benar-benar memiliki agenda dan mengungkapkan strategi yang bisa diuji untuk menangani kemiskinan di kawasan timur.
Padahal, kata Engelina, letak pulau-pulau di timur garis wallace ini secara geopolitik dan geoekonomi sangat strategis. Dan merupakan beranda pasifik Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya mineral.
“Membiarkan kawasan timur dalam kemiskinan yang berkepanjangan akan memicu gejolak sosial yang berujung pada gejolak politik, ” tegasnya.
Menurutnya, masih berharap dan menunggu ada pasangan capres yang bisa memberikan solusi secara gamblang untuk mengatasi kemiskinan di kawasan timut. Kalau tidak ada, maka kawasan timur ini akan terus tertinggal dan ditinggalkan.(den)