JAKARTA- Forum Dokter Susah Praktek (FDSP) meminta agar Kemendiknas tidak lagi ikut mengatur dalam pendidikan dokter umum, spesialis dan sub-spesialis.
Hal ini ditegaskan Koordinator Forum Dokter Susah Praktek (FDSP), Dr. Yenni Tan di Jakarta, Rabu (3/4/2023).
“Kami mendukung UU Pendidikan Kedokteran untuk dimasukan dalam RUU Kesehatan. Sebagai contoh dari negara maju, program dokter umum, dokter spesialis dan dokter sub-spesialis ditata dan dinaungi oleh Konsil Kedokteran dan Kemenkes,” tegasnya.
Sebelumnya, Dr. Yenni Tan menjelaskan, monopoli program pendidikan spesialis dan subspesialis oleh universitas negeri atau university-based harus dihapuskan. Monopoli universitas negeri dalam pendidikan dokter spesialis menghambat produksi dan pemerataan distribusi dokter di Indonesia.
Hal ini disampaikan saat audiensi bersama berbagai organisasi tenaga kesehatan, Dewan Kesehatan Rakyat dan Siti Fadilah Foundation bertemu Agung Laksono dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jumat (28/4) lalu.
“Sebagai solusinya, hospital-based program untuk Pendidikan program spesialis dan subspesialis jadi pertimbangan dengan alasan pendidikan dan praktek kedokteran tidak dapat dipisahkan,” ujarnya.
Ia mencontoh dari negara maju, program Pendidikan hospital-based dapat mengubah paradigma dokter yang sedang menjalani program spesialis dan sub-spesialis yang tadinya mewajibkan untuk membayar kepihak universitas menjadi mendapat penghasilan.
“Pada prinsipnya mereka (mahasiswa kedokteran) berhak menerima insentif dari rumah sakit atas jasanya,” ujarnya.
Menurutnya syarat dan ketentuan masuk program spesialis dan sub-spesialis harus transparan, terbuka dan adil. Dengan adanya hospital-based program, dapat mengubah kultur feodal menjadi kultur fairness.
“Untuk itu, kolegium dokter, termasuk kolegium spesialis dan subspesialis harus diambil alih penuh oleh pihak pemerintah. Saat ini kolegium ada dibawah ormas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan sering terjadi eksploitasi, nepotisme maupun diskriminasi terhadap dokter lulusan luar maupun dokter lulusan dalam negeri. Rangkap jabatan pihak ormas IDI sering terjadi sehingga tidak ada transparansi, merit-based dan fairness dalam pengurusan dan pembuat peraturan,” ujarnya.
Dokter Lulusan Luar Negeri
Mengenai tenaga medis lulusan luar negeri maupun lulusan dalam negeri menurutnya harus ada ujian kompetensi yang sesuai standard international.
“Penyebutan ‘adaptasi’ dokter lulusan luar negeri harusnya dihapuskan, karena diskriminasi, eksploitasi dan menghambat kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia,” ujarnya.
Ia menceritakan, saat ini untuk dokter umum lulusan luar negeri diwajibkan untuk mengikuti adaptasi selama 1 tahun dan setelah itu mengikuti internship selama 1 tahun, peraturan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan PERKONSIL 2016 No.41 mengenai kewajiban internship untuk dokter yang telah menjalankan internship
di negara asal Pendidikan.
“Total waktu yang dibutuhkan untuk dokter umum dan dokter spesialis untuk adaptasi sangat berlebihan dan dapat memperlambat upaya pemerintah untuk memperbanyak tenaga kesehatan yang kompeten,” jelasnya.
Aturan adaptasi bukan common practice di negara maju. Solusinya adalah untuk proses pemilihan dan keabzahan ijazah, dan penilaian kompetensi sesuai standard internasional. Bila dokter lulusan luar di anggap kompeten dan lulusan universitas ternama dapat disederhanakan proses nya untuk dapat berkerja di Indonesia untuk daya tarik masyarakat tidak berobat di luar negeri.
“Di negara maju, tidak ada diskriminasi dan perbedaan perlakuan antara dokter lulusan luar negeri dan dokter lulusan dalam negeri. Oleh karena ini terjadi kompetisi sehat dan perbaikan dalam kualitas pelayanan kesehatan,” katanya.
Dokter WNA Expert
Dokter WNA expert tidak seharusnya dibatasi 4 tahun maksimal bekerja di Indonesia. Term of condition yang tidak fleksibel dan merugikan untuk para dokter WNA expert menjadi halangan untuk memilih bekerja di Indonesia.
“Ini merugikan masyarakat yang layak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang terbaik tanpa harus berobat keluar negeri,” tegasnya.
Bila terjadi malpractice dan medical error dengan sengaja atau kelalaian, dokter tidak seharusnya ada hak imunitas, karena efek jera kualitas pelayanan kesehatan dapat terjamin. Tidak bisa di pungkiri bahwa profesi tenaga kesehatan medis adalah pekerjaan yang butuh tanggung jawab dan resiko yang sangat besar.
“Oleh karena itu sangat dibutuhkan untuk edukasi hukum dan diperjelas secara detail mengenai UU kriminalisasi tenaga kesehatan,” katanya.
Pada prinsipnya menurut Dr. Yenni Tan, RUU Kesehatan di rancang untuk kebaikan masyarakat. Ini sangat dibutuhkan kompetisi sehat yang adil dan non-diskriminatif untuk dokter lulusan luar negeri maupun dokter lulusan dalam negeri.
Hapus Monopoli IDI
Monopoli IDI menurutnya dalam mengurus rekomendasi Surat Ijin Praktek dan SKP menelan biaya sangat bervariatif sehingga menyulitkan praktisi kesehatan dan masyarakat, harus dihapuskan.
“Untuk itu kami mendukung penuh RUU Kesehatan untuk disahkan pada tahun 2023 ini dengan pertimbangan urgensi, sangat dibutuhkan perubahan ,pentingnya mengembalikan kewenangan dan hak pemerintah agar RUU Kesehatan benar benar bermanfaat bagi kesehatan masyarakat.
Pertemuan dengan Wantimpres Agung Laksono dihadiri oleh beberapa organisasi selain dari FDSP, JDN (World Medical Association), KAMPAK (Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Indonesia), Pemerhati Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan Indonesia, Siti Fadillah Foundation, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), AAPN (Aliansi Apoteker dan Asisten Apoteker Peduli Negeri), Korban Panitia Nasional Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (PN UKAI), PHNI ( Persatuan Honorer Nakes Indonesia), Forbides (Forum Bidan Desa), LPPI (Lembaga Pemerhati Perawat Indonesia). (web)