Oleh: Petrus Selestinus
Pembangunan untuk kepentingan umum, memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung di dalam UUD 1945 dan hukum tanah nasional (UU Agraria). Demikian penegasan oleh UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum berikut penjelasannya.
Prinsip yang terkandung di dalam UUD 1945 dan Hukum Tanah Nasional terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, adalah prinsip : Keadilan, kemanusiaan, kepastian, kemanfaatan, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara.
Karena itu pembangunan Eco-City di Pulau Rempang, tidak boleh mengabaikan prosedure UU No.2 Tahun 2012, jo. PP No. 19 Tahun 2021, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menempatkan warga pemilik tanah, penggarap, penghuni berikut tanamannya sebagai pihak yang berhak mendapat ganti rugi yang adil dan layak dalam kesetaraan.
Abaikan Hukum
Saat ini Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), dengan instrumennya Direktorat Pengamanan Aset tengah melakukan upaya paksa terhadap warga pemilik, atau penggarap lahan di Pulau Rampang, tanpa menggunakan prosedur UU No. 2 Tahun 2012 jo. PP No. 19 Tahun 20121, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Padahal secara prinsip warga Pulau Rampang, mendukung pembangunan Eco- City Rempang, namun warga menolak upaya paksa yang dilakukan oleh BP. Batam, karena selain melanggar prosedur UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021, juga karena solusi yang ditawarkan jauh dari nilai keadilan dan kelayakan. Akibatnya saat ini warga mulai diintimidasi dan dipersekusi seolah-olah sikap tolak relokasi itu sebagai kejahatan.
Anehnya BP. Batam selaku institusi negara, mengabaikan pendekatan hukum dan humanis lalu memilih pendekatan kekuasaan dengan kekuatan pemaksa, seakan-akan BP. Batam berada di luar sistem UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pada titik ini BP. Batam mengabaikan Hak Asasi warga Pulau Rempang berikut hak-hak tradisionalnya dan patut diduga lebih memilih mengedepankan kepentingan pemodal dan penguasa yang berlomba lomba memburu rente mengorbankan kepentingan rakyat kecil.
Eksistensi Warga Rempang
Secara historis demografis, warga Pulau Rempang bukanlah warga yang baru kemarin sore menjadi penduduk Pulau Rempang, Batam. Warga Pulau Rempang terdiri dari warga asli suku Melayu dan para perantauan yang telah turun temurun puluhan tahun menghuni 16 Kampung, menggarap dan menguasai lahan Pulau Rempang.
Pulau Rempang luasnya 17. 000 Ha, di dihuni oleh warga sebanyak 7.512 jiwa, terbagi dalam 2 (dua) Kelurahan, yaitu Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang, di Wilayah Kecamatan Galang, Batam. Mayoritas mereka mundukung pembangunan Eco-City, namun mereka menolak direlokasi ke Pulau Galang.
Yang menarik adalah di Pulau Rempang masih terdapat warga suku asli dari suku Melayu, suku Orang Laut, suku Orang Darat bermukim di Pulau Rempang sejak tahun 1834, berikut perantauan yang puluhan tahun bermukim di atas 16 Kampung Tua dengan lahan seluas 1.500 Ha, secara tetap dengan tradisi budaya dan hak-hak tradisionalnya.
Karena itu BP. Batam mestinya tidak punya pilihan lain selain tetap mengedepankan pendekatan hukum yaitu penghormatan terhadap hak-hak masyarakat dan tradisi budayanya, sesuai dengan amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu : “negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”.
Represi dan Intimidasi
Harus dipahami bahwa kegiatan pengadaan tanah merupakan kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil. Dan pihak yang berhak menerima ganti rugi adalah, pihak yang menguasai atau yang memiliki hak atas obyek pengadaan tanah beserta bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat dinilai harganya.
Oleh karena itu, melibatkan anggota Kepolisian dan menjemput paksa warga “Gerisman Ahmad”, Tokoh Masyarakat warga Melayu Tempatan di Rempang, jke Polda Kepri, elas merupakan tindakan persekusi, represif dan melanggar hukum dan HAM demi kepentingan pemodal, yang tidak dibenarkan dan “harus diakhiri”.
Apa yang terjadi di Pulau Rempang saat ini sudah masuk kategori menimbulkan kegaduhan, apalagi kekuatan partisipasi masyarakat yang peduli HAM, baik di Batam maupun Jakarta sudah mengambil langkah memperluas gerakan Advokasi untuk melawan kesewenang-wenangan pemodal yang bertopeng pembangunan untuk rakyat sekaligus menindas rakyat.
Penulis, Petrus Selestinus adalah Advokat, Koordinator TPDI. Juga Koordinator Advokat Perekat Nusantara.