28 September 2023
HomeBeritaIndonesia-Sentris Ala Jokowi Berkayuh Melawan Gelombang

Indonesia-Sentris Ala Jokowi Berkayuh Melawan Gelombang

Oleh: Ambassador Freddy Numberi

Presiden RI ke-3 Prof. DR. Baharudin Jusuf Habibie dalam bukunya, The Power of IDEAS (Jakarta, 2018:h.76) sebagai menyampaikan:

“Dimanapun di dunia ini tidak selalu ide dan filosofi yang penting, tetapi orang yang ada di belakang ide itu yang menentukan”.

Itulah Presiden RI ke-7 Ir. H. Joko Widodo yang memiliki Visi Indonesia-Sentris dan pemimpin yang melayani serta sebagai ‘pendobrak yang militan, dalam mengubah birokrasi Indonesia yang bertele-tele menjadi birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien dalam membangun Indonesia tercinta.

“Sing apik dinggo, sing elek diuncal”

Ben Blend dalam tulisannya ‘Man of Contradictions’, mengatakan :

“Jokowi’s inner contradictions are, in many ways, an embodiment of the contradictions inherent in modern Indonesia’s 75 years of history. The country is still struggling to answer foundational questions about the basis of economy, the political system, and the role of Islam in the state and society.” (Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia, Lowy Institute, 2020:h.83)

“Kontradiksi batin Jokowi, dalam banyak hal, merupakan perwujudan dari kontradiksi yang melekat dalam 75 tahun sejarah Indonesia modern. Negara ini masih berjuang untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang basis ekonomi, sistem politik, dan peran Islam dalam negara dan masyarakat.” (terjemahan bebas)

Presiden Jokowi tahu persis tentang apa yang terjadi di Papua selama kurun waktu 58 tahun sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2021, setelah Papua (koloni keresidenan Nieuw Guinea) kembali ke Indonesia.

Presiden Jokowi juga sangat paham bagaimana ingatan kolektif masa lalu yang melukai banyak rakyat Papua sebagai suatu Memoria Passionis (Ingatan Penderitaan) setelah Jokowi berkunjung lebih dari lima belas kali ke Tanah Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat serta meresmikan banyak proyek infrastruktur di Tanah Papua.

“Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak (akan) pernah hilang, diceritakan dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun temurun.” (Daoed Joesoef, Studi Strategi-Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2014:h.135)

Analog pernyataan Daoed Joesoef di atas menurut hemat saya, juga terjadi di Papua dan hal ini membuat resah masyarakat Papua disertai hilangnya kepercayaan kepada pemerintah baik daerah maupun pusat.

Yang menjadi perbincangan di kalangan elit Papua dan Generasi Milenial Papua, bahwa ternyata sosok Presiden Jokowi bukan Jawa-sentris, tetapi justru menggambarkan Visi beliau yang Indonesia-Sentris dalam mewujudkan target dan sasaran pembangunan pada periode pertama ( 2014 – 2019) leadership beliau.

Hal ini justru melawan arus gelombang masa lalu di era Orde Lama maupun Orde Baru.

Visi Indonesia-Sentris yang menjadi komitmen dan ide desain besar Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin harus didukung oleh masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi masyarakat Papua.

Berbagai masalah yang menerpa masyarakat Papua, seolah telah melahirkan suatu keadaan paradoks di Tanah Papua yang dapat saya jelaskan sebagai berikut.

Papua kaya tapi miskin. Kaya akan sumber daya alam, tapi miskin penghasilan.

Papua besar tapi kerdil. Wilayah Tanah Papua amat besar, tapi penduduknya kerdil dalam produktivitas dan daya saing.

Papua bebas tapi terjajah. Bebas dalam hal politik setelah reformasi, tapi terjajah secara ekonomi.

Papua itu indah tapi jelek. Indah dalam alam maupun potensinya, namun jelek karena korup dalam pengelolaannya.

Papua kuat tapi lemah. Kuat dalam tindakan ‘anarkisme’, tapi lemah dalam menghadapi tantangan globalisasi).

Sejalan dengan Paradigma Baru Presiden Jokowi (2020-2024) sesuai Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, disamping adanya Keppres No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pendekatan yang dipilih Presiden Jokowi adalah Pendekatan Antropologis; Pendekatan Kesejahteraan; Pendekatan Evaluatif (secara ketat mengawasi jalannya pembangunan di Papua).

Pendekatan keamanan diubah menjadi pendekatan kesejahteraan dan mengedepankan POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Sedangkan TNI dalam masa damai dewasa ini, sebagai “back up” dan membantu POLRI sewaktu-waktu bila dibutuhkan dalam hal konflik internal didalam negara sendiri (intra-state) melawan ‘Dissident Terrorist Armed Forces’ (Pasukan Teroris Pembangkang Bersenjata)” sesuai UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dari aspek hukum Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa peristiwa Wamena berdarah (6 Oktober 2000) korban 47 orang, Wasior berdarah (13 Juni 2001) korban 117 orang dan Paniai berdarah (8 Desember 2014) korban 18 orang agar diproses lebih lanjut karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Di sisi lain masalah dana Otonomi Khusus yang dikucurkan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2006 – 2020 cukup besar, namun belum dapat dinikmati oleh Orang Asli Papua (OAP) terutama masyarakat di akar rumput. Tentunya timbul pertanyaan kemana dana Otsus yang besar itu?

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait realisasi penggunaan dana Otsus oleh Pemerintah Provinsi (Kompas.com, 26/02/2020).

Dalam penjelasan lebih lanjut, Wamenkeu Suahasil Nazara di DPD RI, bahwa terdapat indikasi penyalahgunaan dana Otsus oleh Pemerintah Daerah, di antaranya pengeluaran Rp 556 miliar yang tidak didukung data yang valid serta pengeluaran Rp 29 miliar untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan.

Selain itu ada juga dana Otsus yang didepositokan sebesar Rp 1,85 triliun. Akumulasi dana Otsus untuk Provinsi Papua sejak tahun 2006-2020 sebesar Rp 93,05 triliun dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2009-2020 sebesar Rp 33,94 triliun.

Bagi masyarakat awam pertanyaannya adalah mengapa hasil temuan BPK tersebut tidak ditindaklanjuti dan ada apa sebenarnya?

Jangan hanya pemberitaan melalui media saja dan terkesan hanya wacana, tetapi harapan masyarakat harus adanya tindakan tegas dan nyata oleh pemerintah. Apalagi BPK memiliki data-data tersebut. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Polri untuk menindak dengan tegas oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut baik Pusat maupun Daerah.

Sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi pada tahun 2015-2019, dimana butir ke-2 menyatakan bahwa

“Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.”

*Penulis adalah Founder Numberi Center

ARTIKEL TERKAIT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERBARU