SHNet, Yogyakarta – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak para tokoh masyarakat agar berbicara di media sosial (medsos) tempat anak-anak muda “berkumpul”. Karena sejauh ini ada banyak orang yang tidak mau memasuki dunia medsos, sehingga medsos malah dipenuhi oleh orang-orang lain yang tidak sejalan.
“Maka saya mengajak orang-orang yang peduli, orang berilmu, orang beragama, alim ulama, tolong semua bicara di ruang-ruang publik kekinian di mana anak-anak muda memang ada di sana. Jangan tinggalkan mereka! Sebab kalau tidak, mereka akan berkelompok, menjadi komunitas, dan mereka menjadi jamaah-jamaah; ada jamaah youtubiah, ada jamaah facebookiah, ada jamaah tweeteriah. Semua ikut di sana, dan yang diomongkan di sana dianggap sebagai suatu kebenaran,” tegasnya.
Penegasan Ganjar diungkapkan ketika menjadi pembicara kunci pada webinar yang diselenggarakan oleh DPD ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) DIY dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saat memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022. Tampil sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Armada Riyanto CM (Filsafat Teologi), Dr. MD. Susilawati (Filsafat Pancasila), Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi (Strategi Budaya). Acara bertema “Membangun Kota Berkarakter Pancasila”, dibuka oleh Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Prof. Ir. Yoyong Arfiadi M.Eng, Ph.D.
Diakui bahwa dunia medsos adalah dunia yang sangat liar, sangat bebas, sangat sulit dikontrol. Oleh karena itu harus ada banyak metode, harus ada orang-orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau kalah dalam konteks membumikan Pancasila.
“Saya sebagai gubernur saja risih kok, eh… menjelang Hari Lahir Pancasila kok ada yang keliling-keliling (pawai membawa bendera kilafah-red),” lanjutnya.
Begitu pula Armada Riyanto berpendapat bahwa generasi saat ini sangat membutuhkan bahasa yang berbeda. “Problemnya ada di sini,” tegasnya. Dan karena medsos, maka ciri khas generasi saat ini lebih digerakkan oleh trending, tidak ada kedalaman.
Jadi untuk membangun kota yang berkarakter Pancasila harus ada upaya konkret, misalnya dengan mengemukakan rasa bangga akan kebudayaannya, dengan pakaian jawanya, gendingnya, tariannya, bahasanya. Konsep baik dalam kebudayaan itu sangat bagus apabila ada di dalam hokum, sehingga setiap tindakan yang menabrak kebudayaan itu berarti melanggar hukum.
Armada mencontohkan, jika ada orang yang sambil mengendarai sepeda motor mengibarkan bendera yang bukan bendera Indonesia dan meneriakkan bahasa provokatif, itu melanggar hukum sebab memvisualisasikan konsep yang bertentangan dengan ideologi. “Sesungguhnya itu cara-cara lama. Itu kan caranya Mao Tse Tung mendeklarasikan komunisme di China dengan cara pawai. Gitu-gitu aja caranya, waktu itu enggak ada media sosial,” ujarnya.
Aku dan Liyan
Armada berpendapat, nilai-nilai baik harus dilindungi oleh konstelasi hukum yang benar, yang manusiawi. Di dalamnya termasuk konsep aku dan liyan (engkau-red), untuk menunjukkan aku dan liyan itu sangat filosofis kultural. Dimana kalau ada tetangga yang sedang kerepotan, maka aku membantu; tetapi tidak dengan harapan supaya nanti aku dapat ganjaran masuk surga.
Dengan kata lain, hubungan aku dan engkau adalah hubungan kekeluargaan, kristalisasi dari implementasi Pancasila. Kalau itu dilakukan terus menerus maka akan menjadi suatu habitus, akan menjadi fondasi bagi kota Pancasila.
Ganjar Pranowo berpandangan serupa, ketika ia masuk ke gang-gang (jalan kampung) di Yogyakarta melihat masih ada gerakan canthelan. Pada saat pandemi ada kelompok-kelompok yang nyantheli makanan (di pagar rumah warga yang sedang isolasi mandiri-red).
“Yang menarik, mereka membeli, tidak diberi. Ternyata karena mereka malu kalau dikasih. Rasa malu menjadi nilai yang harus kita pelihara. Ojo ngisin-isini, ojo urakan. Isin.”
Ia menambahkan, rasa malu perlu didorong menjadi self controll, dan ini harus terus-menerus diungkapkan lewat berbagai media.
“Tapi siapa yang mengisi medsos? Siapa content creator yang mengisi youtobe? Siapa yang menceritakannya kepada anak-anak? Siapa yang akan membuat games tentang nilai-nilai itu?”
Menurut Ganjar, membangun kota yang Pancasilais berarti mendorong ruang publik menjadi zona netral, dimana semua orang merasa nyaman untuk ngobrol dengan siapapun tanpa sekat-sekat termasuk status sosial dan partai politiknya.
Politik Identitas
Mengenai politik identitas, menurut Gubernur Jawa Tengah itu, sering dipakai kontestasi untuk menentukan siapa pemimpin di kota itu, siapa pemilih di kota itu. Namun, ilmu pengetahuan membuktikan kalau tidak punya gagasan besar maka jualan identitas memang lebih murah. Oleh sebab itu, politik identitas tidak boleh muncul. Kalau muncul, maka semua orang harus berteriak menentang.
Sementara menurut Armada Riyanto, membangun kota berkarakter Pancasila itu bukan membangun politik identitas, melainkan membangun sistem dimana hidup bersama itu harus punya karakter ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
“Ini kerja bakti semua rakyat, tidak bisa dilakukan oleh satu raja sekalipun.” (Wahyu Dramastuti)