19 May 2024
HomeBeritaKeren..., Direktur Samapta Polda Bali Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum

Keren…, Direktur Samapta Polda Bali Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum

SHNet, BALI – Direktur Samapta Polda Bali, Kombes Pol I Gede Adhi Mulyawarman S.I.K, M.H berhasil menambah gelar doktor Ilmu Hukum di belakang namanya. Gelar doktor Ilmu Hukum itu diraihnya dengan catatan Cumlaude dari kampus Universitas Udayana (Unud) Bali.

Melalui sidang terbuka pada Sabtu (30/3/2024), polisi yang banyak berkecimpung di dunia Reserse ini mengambil desertasi dengan judul ” Urgensi Pemblokiran Konten Berbahaya Dalam Jaringan Komunikasi Elektronik”.

Di hadapan tim pengujinya yang berjumlah 11 penguji itu , Kombes Pol I Gede Adhi Mulyawarman menjelaskan dengan gamblang bahwa, di era saat ini pertukaran informasi berlangsung sangat cepat dan keleluasaan serta kebebasan di media elektronik sedemikian mudahnya.

” Dengan demikian, harus ada pemahaman di masyarakat tentang suatu berita tertentu apakah pantas atau tidak untuk disebarkan, ” ujar Kombes Pol I Gede Adhi Mulyawarman.

Kembali dijelaskannya di hadapan tim penguji untuk meraih gelar doktornya itu, dengan dinamisnya situasi dan keadaan, serta perkembangan teknologi pula, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas ITE.

Sedangkan yang terbaru, yakni UU Nomor Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE.

Menurut Gede Adhi Mulyawarman Akpol 1995 ini, pemblokiran konten berbahaya bertujuan memblokir atau memutus akses situs-situs tertentu. Sedangkan problema yuridisnya, yakni mengatur perbuatan-perbuatan pada pasal-pasal dalam UU ITE terbaru.

” Pasal 40 Ayat 2B UU ITE ini sendiri berbunyi, dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memberi wewenang kepada penyelenggara untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, ” paparnya lagi.

Frase melanggar hukum tentu harus memenuhi unsur dalam deliknya, serta mempunyai putusan final, sehingga dapat dilakukan tindakan pemblokiran. Pemblokiran bukanlah semata-mata untuk menutup akses pengguna, namun dilakukan terhadap konten yang menimbulkan pro dan kontra.

Disebutkan pula, sesuai Pasal 42 UU ITE ada 10 kategori konten berbahaya, terutama untuk keamanan dan kedaulatan negara. Dalam norma tersebut, Gede Adhi mencontohkan salah satunya mengenai pornografi. Apakah ini murni bisa masuk delik pidana, unsur-unsur di dalam UU ITE atau merupakan seni?.

Dengan adanya norma-norma yang kabur tersebut, muncullah aneka penafsiran. Untuk itu, dalam penegakan hukum perlu ada bantuan dari tim lain, seperti ahli bahasa atau ahli seni.

Dengan demikian, penegakan hukum yang multitafsir ini memperoleh bantuan dari persefektif keilmuan lain.

“Perlu ada ketegasan mulai dari proses, kategori atau indikator, sehingga lebih menjamin masyarakat serta negara dalam mengontrol keamanan,’’ tambah pria asal Tabanan tersebut.

Gede Adhi juga merumuskan tiga masalah, yakni pertama: hakikat filosifis pengguna konten berbahaya dalam jaringan komunikasi elektronik. Kedua: pengaturan pemblokiran konten berbahaya dalam jaringan komunikasi elektronik di masa kini, dan ketiga: model pemblokiran konten berbahaya dalam jaringan elektronik di masa mendatang.

Mengenai konsep pemblokiran internet, Gede Adhi menyebut sesuai Pasal 1 Ayat 12 Permenkominfo No.10 Tahun 2021 pemutusan akses, yakni tindakan pemblokiran akses, penutupan akun dan penutupan konten yang tersaji di internet sebagai kontrol terhadap ekses politik, politik warga negara maupun hal-hal lain yang berpengaruh terhadap konteks politik di suatu negara.

Sedangkan konten berbahaya, yakni bentuk sajian informasi yang di dalamnya bisa berupa hiburan berita dan lain-lain, sehingga dapat memunculkan kebencian dan keamanan atau hal lain.

” Konsep jaringan komunikasi elektronik ini dikenal juga dengan internet, jaringan dan fasilitas komputer. Sebagai aktivitas kontinyu, maka ada penggunaan kekuasaan untuk mengontrol aktivitas oleh negara. Juga mengenai berita hoaks atau bohong yang harus dilenyapkan di masyarakat, ” ujar I Gede Adhi. (mayhan)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU