SHNet, Jakarta – Kota Pagaralam dikenal sebagai sentra kopi asal Provinsi Sumatera Selatan yang sudah merambah pasar internasional.
Kopi asal Kota Pagaralam telah meraih pengakuan internasional atas citarasa uniknya dalam ajang kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Prancis.
Daerah yang terletak di kaki Pegunungan Dempo pada ketinggian 400–3.400 dpl ini setidaknya menghasilkan 900 ton biji kopi per tahun. Namun, semakin lama produktivitas semakin menurun karena rata-rata tanaman sudah berusia tua.
Untuk meningkatkan produktivitas kopi asal Pagaralam, pemerintah setempat menjalankan program sambung pucuk ini. Program sambung (stek) pucuk ini sebenarnya sudah dijalankan di Pagaralam sejak empat tahun lalu, namun pada 2021 dilakukan upaya yang lebih serius yakni pemberian dua juta bibit ke petani.
Dalam lima tahun ke depan, program sambung pucuk tersebut diharapkan dapat merata di seluruh perkebunan Kopi Pagaralam. Dalam program tersebut, petani dibantu bibit hingga peralatan pendukung seperti plastik dan pisau.
Pagaralam merupakan daerah di Sumatera Selatan yang dikenal karena keindahan panorama alamnya. Layaknya nama yang disematkan kepadanya, daerah yang berada di ketinggian lebih kurang 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dipagari oleh alam yakni dikelilingi oleh Bukit Barisan dan Gunung Dempo.
Berada di kaki gunung, membuat daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kaur di Bengkulu ini terkenal atas kesuburannya sehingga unggul di sektor perkebunan dan pertanian.
Tak mengherankan selama puluhan tahun, Pagaralam yang berjarak sekitar 298 Kilometer dari Kota Palembang (ibu kota Sumsel) ini menjadi penghasil kopi, buah-buahan dan sayuran yang produknya juga memenuhi kebutuhan provinsi tetangga yakni Lampung, Bengkulu dan Jambi.
Soal kopi, daerah yang secara administrasi pemerintahan sudah disebut kota ini memiliki sejarah panjang karena berkaitan dengan masa penjajahan Belanda.
Seperti ditulis Antara, ambisi perusahaan dagang Belanda (VOC) untuk mengalahkan bangsa Arab dalam perdagangan kopi internasional, telah melahirkan ribuan hektare perkebunan kopi di Jawa hingga Sumatera (Sumsel, Bengkulu dan Jambi). Sejak itu, sekitar tahun 1920, bukit-bukit indah yang ada di Pagaralam mulai ditanami kopi jenis robusta dalam skema tanam paksa.
Namun disayangkan, walau sudah berproduksi satu abad lebih, kopi asal Pagaralam ini sulit naik kelas. Istilah “kopi asalan” melekat pada kopi yang memiliki keunggulan dari rasa pahitnya itu. Walhasil, biji kopinya hanya dibanderol Rp18.000/Kg.
Tak dapat disalahkan juga, istilah asalan itu muncul disebabkan petani setempat melakukan pasca panen yang “ngasal”, mulai dari petik pelangi yakni memetik seluruh buah secara serentak mulai dari yang berwarna merah, kuning dan hijau hingga menjemur biji kopi di tanah atau di jalan beraspal.
Dari sisi brand, kopi Pagaralam ini juga masih kalah terkenal dibandingkan kopi Semendo asal Lahat. Belum lagi jika berbicara untuk wilayah Sumatera, karena sudah ada kopi Lampung, kopi Kerinci (Jambi), dan kopi Gayo (Aceh).
Terkait brand ini, bahkan ironi yang terjadi. Kopi Pagaralam diketahui sebagian besar masuk ke Lampung karena pintu perdagangannya memang ke sana yaitu pengepul membawa barang ke Lampung, bukan ke Palembang. Namun, ketika sudah berpindah wilayah, kopi Pagaralam pun tenggelam dan berganti nama menjadi kopi Lampung.
Adanya program sambung pucuk ini pun menjadi harapan baru petani kopi Pagaralam untuk membenahi sektor hulu. Mereka pun antusias dalam menjalankan program tersebut, yakni teknik perbanyakan pohon dengan cara penyambungan antara pucuk batang dan cabang-cabang lain dari pohon kopi. (Victor)