17 February 2025
HomeBeritaLBH Kesehatan Indonesia Ajak Perempuan Indonesia Bicara Hak Kesehatan Masyarakat

LBH Kesehatan Indonesia Ajak Perempuan Indonesia Bicara Hak Kesehatan Masyarakat

Jakarta – Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Rapat Paripurna DPR 12 April 2022 lalu ibarat angin segar bagi kemajuan masyarakat khususnya perempuan Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras berbagai pihak, aktivis, organisasi dan lembaga masyarakat, akademisi hingga para peremouan masyarakat sipil yang semakin berani bersikap dan bersuara di ruang publik.

Pengesahan UU TPKS ini sekaligus menjadi harapan bagi terwujudnya pemenuhan hak-hak kesehatan perempuan lainnya, diantaranya hak atas pelayanan kesehatan hingga hak dan keadilan bagi pekerja dan buruh perempuan. Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Indonesia (LBHKI) dengan tema Perempuan Sehat Negara Kuat, yang diselenggarakan Jum’at, 22 April 2022.

Sekjend LBHKI DR. Eleonora Moniung, SH,. MH dalam kesempatan itu mengatakan pada dasarnya ada sangat banyak payung hukum yang berkaitan tentang perlindungan kesehatan perempuan. “Kalau di data, ada banyak peraturan dan UU yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan masyarakat, salah satunya adalah UU TPKS ini. Meski demikian, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, dan juga pengabaian terhadap pemenuhan hak perempuan masih terus terjadi. Untuk itulah, keberadaan LBHK ini diharapkan dapat menjembatani masyarakat terutama para perempuan agar selanjutnya tidak lagi menjadi kelompok yang termarjinalkan,” jelas Eleonora Moniung.

Ketua Umum LBHKI  Tina Tamher, SH,. M.A.Hk yang turut hadir dalam kesempatan itu mengatakan perempuan sejatinya memiliki peranan penting dalam sebuah peradaban. “Perempuan adalah ibu bangsa. Masalah utama yang sedang dihadapi negara saat ini yaitu angka stunting dan gizi buruk yang masih tinggi, kuncinya adalah perempuan. Selama perempuan, mulai dari mereka remaja hingga menjadi calon ibu, jika kita bisa menjamin kesehatan dan kecukupan gizinya, maka kedepannya bangsa ini akan memiliki sumber daya manusia yang produktif untuk membangun nengeri. Tapi bila hari ini negara tidak bisa menjamin kesehatan dan keadilan atas hak-hak para perempuan ini, generasi selanjutnya tidak akan bisa bersaing secara global, kita akan semakin terbelakang,” tegas Tina Tamher.

Dari sisi advokasi masyarakat, Yuli Supriati turut membagikan berbagai kasus yang kerap ditemuinya di lapangan. “Yang mengkhawatirkan saat ini bahwa masyarakat sendiri memiliki kesadaran yang rendah terhadap pentingnya kesehatan perempuan, ini sebagai akibat minimnya edukasi kesehatan di masyarakat,” jelas Yuli. Ia mencontohnya, program pemberian pil zat besi untuk mencegah anemia bagi remaja putri, seringkali tidak etrlaksana dengan baik.

 

“Banyak dari remaja putri ini tidak mengkonsumsi vitamin yang diberikan tersebut dengan berbagai alasan, karena memang ada efek mual yang ditimbulkan. Sayangnya dari lingkungan baik keluarga dan sekolah kadang membiarkan, padahal ini penting bagi mereka kelak, jangan sampai pada saat usia produktif nanti malah mengalami anemia. Padahal seharusnya yang perlu dilakukan justru memberikan edukasi kepada masyarakat, pentingnya mencegah anemia sejak dini, pentingnya membiasakan sarapan dan konsumsi makanan bergizi,” jelas Yuli.

Lebih lanjut, dalam bincang-bincang yang juga dihadiri sejumlah perempuan pegiat kesehatan dan relawan BPJS tersebut, turut disepakati bahwa mewujudkan keadilan dan keterpenuhan hak-hak perempuan tidak bisa hanya dengan menuntut pemerintah. Namun diperlukan peran serta seluruh pihak. Diskusi tersebut juga menyoroti dugaan ketidakadilan yang dialami buruh perempuan di perkebunan sawit.

Sejumlah buruh perempuan di perkebunan sawit dikabarkan tidak mendapatkan hak-hak kesehatan yang seharusnya mereka dapatkan. Setiap saat bersentuhan dengan zat kimia (pupuk), namun tidak ada jaminan atas kesehatan mereka, seperti pelindung tubuh yang layak ataupun pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sayangnya lagi, Sebagian besar pekerja perempuan tidak menyadarinya.

“Kita memang masyarakat sipil, tapi dengan membuka mata dan telinga, memperkaya diri dengan pengetahuan akan hak dan kewajiban warga negara, kita bisa ikut mengawal kelompok-kelompok yang rentan mengalami diskriminasi. Kita yang ada di sini, para Kartini dengan berbagai latar belakang dan kompetensi, kita bisa berjuang dengan car akita masing-masing. Ada yang turun ke lapangan langsung berhadapan dengan masyarakat yang terkendala layanan di rumah sakit, ada yang bisa menjadi penyambung lidah hingga ke parlemen, bahkan dengan menghadiri diskusi seperti ini dan saling berbagi informasi pun adalah sebuah bentuk partisipasi kita untuk kemajuan bangsa khususnya kaum perempuan,” pungkas Tina Tamher. (sbr)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU