19 May 2024
HomeBeritaPariwisataMenparekraf Hadiri Molabot Tumpe, Tradisi Mengikat Persaudaraan Masyarakat Banggai

Menparekraf Hadiri Molabot Tumpe, Tradisi Mengikat Persaudaraan Masyarakat Banggai

SHNet, Banggai– Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno hadir dan mengikuti Ritual Adat Molabot Tumpe di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kemarin.

“Saya mengapresiasi masyarakat Banggai yang terus melestariskan ritual adat Tumpe ini, di mana pelestarian ini merupakan bagian dari cita-cita pariwisata kita yang berkualitas dan berkelanjutan,” kata Menparekraf Sandiaga.

Ritual yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini berupa pengantaran telur burung maleo dari masyarakat adat Batui di Kabupaten Banggai ke Keraton Kerajaan Banggai di Kabupaten Banggai Laut, tradisi ini layak menjadi cermin dalam mengikat persaudaraan masyarakat di Kabupaten Banggai.

Menparekraf Sandiaga didampingi Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Makmun Amir, Bupati Banggai Laut, Bupati Banggai Kepulauan, dan pejabat lainnya mengikuti rangkaian upacara adat di Rumah Jabatan Camat Batui, tempat sebanyak 100 telur burung maleo diinapkan. Sebelumnya telur-telur tersebut telah lebih dulu dikumpulkan dari masyarakat adat di empat wilayah di Batui. Telur-telur tersebut dibungkus dengan daun pohon palem.

Mengenakan baju adat Batui, Menparekraf selanjutnya mengikuti ritual menurunkan telur dari rumah yang kemudian dibawa oleh para pembawa telur dengan berjalan kaki ke muara Sungai Batui sejauh 1,2 kilometer didampingi para tetua adat setempat.

Di sepanjang jalan, ribuan masyarakat menyambut dengan antusias namun juga tertib karena prosesi ini merupakan acara yang sakral.

Sesampainya di dermaga di muara sungai, oleh perangkat adat telur-telur tersebut dibawa naik ke kapal dan ditempatkan di tempat khusus untuk kemudian dibawa ke Keraton Banggai.

Menparekraf Sandiaga mengapresiasi penyelenggaraan Ritual Molabot Tumpe ini yang dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Menparekraf bahkan secara khusus memuji ketua panitia acara yang merupakan perwakilan dari generasi muda dan berhasil memimpin acara dengan penuh tanggung jawab.

Bahkan dengan secara gamblang menyampaikan laporan keuangan secara transparan di depan forum yang terbuka. “Kita harus mengapresiasi adik kita ini yang mengedepankan transparansi,” kata Sandiaga.

Ritual Adat Molabot Tumpe yang merupakan bagian dari Festival Tumpe merupakan salah satu event unggulan Kemenparekraf dalam Karisma Event Nusantara selama dua tahun berturut-turut. Menparekraf berharap hal tersebut dapat memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian dan membuka lapangan kerja lebih luas di kalangan masyarakat.

“Pariwisata dan ekonomi kreatif adalah dua sektor yang berhasil menciptakan enam kali lipat jumlah lapangan kerja dibandingkan sektor lain. Inilah yang ingin saya titipkan untuk kita bersama-sama membangun pariwisata dan ekonomi kreatif,” kata Sandiaga.

Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ma’mun Amir mengatakan Provinsi Sulawesi Tengah memiliki beragam objek wisata andalan. Mulai dari wisata alam, bahari, juga budaya.

“Ritual Tumpe insyallah menjadikan Sulawesi Tengah ini ke depan menjadi tempat atau tujuan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Sulawesi Tengah,” kata Ma’mun Amir.

(Dok.Biro Komunikasi Kemenparekraf)

Sejarah dan maknanya

Ritual Adat Molabot Tumpe memiliki makna yang mendalam terkait ikatan persaudaraan di antara masyarakat Banggai. Dijelaskan Sekertaris Lembaga Adat Kabupaten Banggai, Sopansyah Yunan dan berdasar tautan sejumlah sumber, diceritakan bahwa tradisi ini bermula dari sejarah Kerajaan Banggai yang kala itu dipimpin oleh seorang raja bernama Adi Cokro atau Adi Soko.

Ketika itu, Adi Soko yang hendak meninggalkan Batui menuju Banggai (sekarang Kabupaten Banggai Laut) dihadiahi sepasang burung maleo oleh ayah dari istri keduanya, Raja Matindok.

Suatu hari, Adi Soko diamanatkan untuk mengemban tugas ke Tanah Jawa. Bersama anak dari istri ketiganya, Putri Saleh, Adi Soko turut membawa sepasang burung maleo itu ke Tanah Jawa.

Seiring waktu tugas Adi Soko di Jawa yang sangat lama, terjadilah kekosongan kepemimpinan di Kerajaan Banggai. Guna menghindari kekacauan akibat kekosongan tersebut, para perangkat kerajaan dan tetinggi adat dan keturunan dari empat kerajaan kecil di Banggai membuat sayembara. Dari situ kemudian terpilihlah putra Adi Soko dari istri keduanya, Abu Kasim untuk menjadi raja. Akan tetapi Abu Kasim menolak diangkat menjadi raja sebelum bertemu dan berkonsultasi langsung dengan sang ayah.

Kemudian berangkatlah Abu Kasim ke Tanah Jawa untuk bertemu sang ayah. Namun ketika bertemu, Adi Soko menolak untuk kembali ke Banggai dan mengarahkan Abu Kasim untuk menemui kakaknya, Maulana Prince Mandapar, anak Adi Soko dari istri pertamanya, yang dianggap lebih pantas untuk menjadi raja.

Abu Kasim akhirnya kembali ke Banggai. Bersamaan dengan itu turut dibawa pula sepasang burung maleo pemberian mertua Aji Soko sebelumnya. Singkat cerita, kepemimpinan di Kerajaan Banggai kembali berjalan dengan Maulana Prince Mandapar sebagai raja. Akan tetapi, sepasang burung maleo itu tidak dapat berkembang biak di Banggai. Akhirnya Abu Kasim membawa burung tersebut ke keluarganya di Batui untuk dikembangbiakkan.

Saat itulah, ia menyampaikan pesan yang terus dipegang teguh secara turun-temurun hingga saat ini. Yakni apabila bertelur, telur pertamanya dikirim kepada keluarga di Banggai dan jumlah telur maleo yang dikirimkan menggambarkan jumlah keluarga di Batui.

“Inilah yang menjadi tanda untuk mempererat kekeluargaan antara keluarga di Banggai hingga kini,” kata Sekertaris Lembaga Adat Kabupaten Banggai, Sopansyah Yunan. (Stevani Elisabeth)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU