Oleh: M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
BEGITU kata ujung tombak klub U, sebut saja demikian, anggota Galatama. Namanya saya sebut H saja. Dialog terjadi di selasar kamar ganti, Stadion Menteng, Jakarta.
Saya sama sekali tidak paham maksud ucapan sahabat saya itu. Seperti juga para sahabat peliput Kompetsi Galatama: Alfon Suhadi (Suara Karya), Budiono RS (Majalah Olahraga Prestasi), Bang Mardi (Harian Merdeka), Herman (Waspada), Adi Suprapto (Majalah Olahraga Olympic), Bang Idrus (Pos Kota) yang saya ceritakan, sama-sama tak mengerti maksud ucapan itu.
Namun, sebagai wartawan muda, saya mencoba menebak-nebak. “Nih, hampir menit 18, kita lihat, apa omongan H bener?” ujar saya ke para sahabat yang hampir selalu meliput kompetisi Galatama bersama.
Bola dari tengah disepak ke sudut kanan. Beberapa pemain klub U ikut menekan. Bola hampir saja keluar, tapi kemudian diangkat melewati beberapa peman klub B. Di saat yang bersamaan, H melompat, …. duk, si kulit bundar ditanduk dan menghujam ke sudut atas gawang, gol, 1-0.
Saya dan para sahabat tersentak. Menit 18, pojok kanan atas, pakai kepala, terbukti. H pun berlari ke arah saya yang duduk di belakang gawang bersama para sahabat untuk mengambil gambar. Iya tersenyum tipis.
Itulah pengalaman saya yang tak terlupakan. Akhirnya saya tahu, H, mencetak gol berdasarkan pesanan. Sulit dipercaya, tapi fakta itu sulit dibantah. Lebih dari 70 persen, apa yang disampaikan H, terjadi.
H mengaku, kontraknya besar untuk ukuran waktu itu. Hampir setiap saat, ia bisa beli motor baru. H mencetak gol sesuai pesanan. Ia tidak masuk dalam daftar nama di balik kaca meja seorang LO suap.
“Dia beda,” kata LBT pada saya. “Kalau mau main besar, ya pake dia, “katanya lagi.
Bedanya, H tidak terkait kalah-menang. Dia juga tidak banyak bergaul dengan para bintang Galatama. Padahal jika kita bicara skill, H sangat luar biasa. Untuk itu, tidak heran jika dia juga termasuk goal getter yang handal. Anehnya, H selalu menolak dipanggil tim nasional. “Aku main lokalan wae,” katanya dalam logat Jawatimuran.
Dulu belum ada regulasi hukuman bagi pemain yang menolak masuk timnas. Untuk itu, meski terbilang ‘canggih’, H, selepas main dari Hongkong, ia gantung sepatu dengan tenang.
MN, Tunggu
Lain H lain lagi Man, kiper klub Z, sebut saja begitu. Dia juga main berdasarkan pesanan orang, dalam hal ini bosnya, pemilik klub. Kalah dengan jumlah gol banyak, adalah order yang selalu diterima.
Suatu sore, di Stadion Pluit, Jakarta Utara, saya, Bang Idrus, Bang Mardi, dan Alfon, sudah siap-siap untuk meninggalkan belakang gawang klub Z, begitu saya umpamakan namanya. Hari itu klub milik mantan wartawan, sedang bertarung dengan klub A, milik anak Presiden.
Tiba-tiba bola bergulir ke arah kami. Man, sang penjaga gawang yang memang sangat dekat dengan saya, langsung berbisik: “MN, masih tiga gol,” .
Hah?? Kami saling pandang. Lalu,: “Man, tinggal lima menit,” sambut saya.
Sang penjaga gawang tertawa kecil. Permainan dimulai kembali. Dahsyatnya, dalam waktu tersisa itu, tiga gol benar-benar terjadi. Klub A menang besar 13-0 atas klub Z.
Uniknya, meski indikasi kasus suap sudah terbuka, PSSI tidak juga bisa melakukan apa pun. Uniknya lagi, kasus suap padam bukan karena tindakan dari pihak mana pun. Bukan karena kerja keras federasi, tidak juga karena aparat.
Suap sempat padam di sepakbola nasional karena para bandar ramai-ramai hengkang. Mereka kabur karena banyak pemain yang jadi andalan mereka sudah tidak bisa dipegang lagi. Istilahnya para pemain sering bermain nokang (bermain dua kaki), trikang (bermain tiga bandar), sampai lebih dari patkang (main dengan empat pihak) terjadi.
Lama sepakbola kita ‘tak disentuh’ atur-mengatur skor. Tapi, tiba-tiba kita dikejutkan oleh kisah yang diungkap Satgas Antimafia Bola Polri. Tanpa hiruk-pikuk, dua nama ditetapkan sebagai tersangka. Pedihnya, satu di antaranya beberapa waktu lalu sebenarnya sudah pernah, jika saya tak keliru, dihukum dengan kasus yang sama.
Tapi, dia bisa bebas, sekali lagi, jika saya tidak salah. Orang ini juga bukan orang baru dalam hal seperti ini. Dia sudah ada di dunia sepakbola nasional sejak 1980an. Untuk itu, saya berharap kepolisiaan dapat sungguh-sungguh membongkar kasus ini. Jika tidak, hantu atur-mengatur skor akan terus mengganggu sepakbola nasional.
Atur-mengatur skor itu seperti orang kentut, terdengar suaranya, tercium baunya, tapi tak berwujud bentuknya. Hanya dengan cara khusus permainan ini bisa diberangus. Nah, polri pasti memiliki caranya…..
Semoga bermanfaat….