SHNet, Jakarta- Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus dibenahi. Hal tersebut lantaran lambatnya BPOM dalam merespon persoalan yang ada di masyarakat semisal mie instan, air galon hingga obat batuk.
Dalam perkara mie instan, BPOM bahkan belum melakukan penelitian soal batasan aman kandungan pestisida jenis etilen oksida dalam pangan. Padahal keberadaan kandungan tersebut berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. BPOM mengaku masih melakukan pengumpulan informasi terkait hal tersebut.
Terlambatnya antisipasi juga ditunjukan BPOM terkait obat batuk yang telah merenggut puluhan korban anak-anak akibat gagal ginjal. Publik lantas menilai BPOM lamban dalam menemukan kandungan etilen glikol yang diyakini menjadi penyebab kegagalan ginjal pada anak tersebut.
Namun, langkah berbeda ditampakan BPOM terkait air minum dalam kemasan (AMDK) alias air galon. Badan pengawas yang berada langsung di bawah presiden itu bersikeras ingin menyematkan label Bisfenol A (BPA) pada galon air isi ulang yang berbahan polikarbonat (PC).
“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelolanya, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata Trubus Rahardiansyah di Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran diyakini dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil. Namun, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut.
Pelabelan itu didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.
Sikap berbeda ditunjukan BPOM saat disinggung keberadaan etilen glikol dalam air galon dalam kemasan Polietilen Tereftalat (PET) atau galon sekali pakai berbahan PET. BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut.
DPR dan Komnas Anak pun telah meminta BPOM melakukan penelitian dan pelabelan pada galon sekali pakai lantaran mengandung etilen Glikol seperti pada obat batuk. Namun, BPOM belum juga membuka suara apalagi mengambil sikap terkait permintaan tersebut.
Padahal jika melihat kasus obat batuk, kandungan Etilen Glikol secara jelas telah merusak ginjal hingga merenggut korban jiwa. Trubus meminta agar BPOM menunjukan sikap berkeadilan dalam mengawasi seluruh peredaran obat dan makanan di Indonesia.
“Jadi ketika terhadap suatu pengawasan makanan-makanan tertentu harus ketat, tapi yang lainnya kenapa, ini kan harusnya semuanya sama,” katanya.
Trubus lantas meminta masyarakat serta lembaga lainnya untuk ikut mengawasi peredaran pangan karena berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Dia juga meminta BPOM untuk melakukan pembenaran sepihak terkait isu keamanan pangan tertentu.
“BPOM itu kan karena dia tangan kanan pemerintah, soal bidang itu kadang-kadang arogansinya keluar, merasa diri paling punya wewenang, punya otoritas, jangan seperti itu,” katanya.
Trubus melanjutkan, sikap tersebut dapat membuat publik curiga ada unsur kesengajaan bahwa BPOM tidak berlaku adil. Dia mengimbau agar BPOM tidak menunjukan sikap sektoral dan mengurangi arogansi-arogansi sambil meningkatkan pelayanan publik sebagaimana fungsinya.
“Tidak boleh tebang pilih dan harus tegas, equality of the law itu kan sama, hukum bersama, yang perlu ditegaskan BPOM itu berlaku adil, semua pihak sama,” katanya. (RZY)