Kupang-Model tebang pilih dalam penyidikan Tipikor dengan tujuan meloloskan pelaku korupsi yang sesugguhnya atau penanganan korupsi mengandung unsur korupsi atau karena intervensi kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif, sering terjadi dan dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian dan/atau Kejaksaan, menjadi tren dan sangat populer di Ende, Flores, NTT.
Demikian Koordinator TPDI & Pergerakan Advokat Nusantara/Perekat Nusantara, Petrus Selestinus di Jakarta, Jumat (17/5/2024).
Menurut Petrus, beberapa kasus korupsi di Ende bisa berulangtahun dan bahkan diwariskan oleh seorang Kapolres atau Kajari ke Kapolres dan/atau Kajari berikutnya dstnya. tanpa akhir, hingga tersangka atau calon tersangkanya meninggal duniapun kasusnya jalan di tempat tanpa ada penetapan apakah dihentikan penyidikannya atau dilanjutkan sebagai suatu pertanggungjawaban terhadap publik sesuai KUHAP.
Perilaku tidak terpuji dari oknum penyidik semacam ini, sudah menjadi budaya hukum di kalangan aparatur penegak hukum, baik Polisi maupun Jaksa di Ende selama 15 (lima belas) tahun belakangan ini. Tanpa mereka sadari hal itu merusak tatanan hidup bernegara yang menuntut perilaku taat pada hukum sesuai prinsip negara hukum. “Ini memang ironis karena terjadi kolabirasi antara penjahat dan penguasa dari atas sampai ke bawah,” kata Petrus.
Anehnya, kata Petrus, meskipun oknum Pimpinan Polres atau Kejari minim prestasi, akan tetapi rotasi dan promosi jabatan untuk mereka silih berganti setiap 2 (dua) tahun dipromosikan pada jabatan tinggi atau memimpin di daerah hukum lain dengan kualifikasi tipe A, sebagai tanda yang bersangkutan berprestasi baik di tempat sebelumnya.
Sementara itu, jelasnya, kasus-kasus korupsi tertentu yang selama ini jadi ATM oknum-oknum penegak hukum, tetap mangkrak dan bisa berulang tahun di tangan oknum penyidik, bahkan dipestakan bersama ulangtahunnya karena di antara mereka sudah terjadi kolaborasi saling menyandera untuk saling melindungi.
“Budaya di mana si terlapor dijadikan ATM dalam kolaborasi antara pelaku korupsi dengan oknum penyidik, sudah menjadi sistem secara diam-diam diterapkan bahkan merupakan salah satu sumber penghasilan sampingan dengan angka menggiurkan bagi seorang oknum penyidik. Pola ini masih laris manis karena budaya setor dari anak buah ke atasan secara berantaipun masih terus terjadi,” katanya.
Nol Prestasi
Anehnya, kata Petrus, meski Kapolres atau Kajari nol prestasi dalam penegakan hukum terutama dalam penindakan Tindak Pidana Korupsi, namun mereka selalu dipromosikan pada jabatan lain yang lebih tinggi. Padahal sebagaimana fakta yang ada, beberapa kasus korupsi yang alat buktinya terang benderangpun, atas alasan yang dicari-cari seperti menunggu hasil audit atau atas kasusnya masih memerlukan pendalaman, maka penanganan kasus korupsi itu bisa berlarut-larut diwariskan beberapa kali kepada pimpinan Polres atau Kajari berikutnya tanpa alasan jelas.
Apa yang dikonstatir mengenai model tebang pilih penanganan korupsi di atas, kemudian secara eksplisit diatur dalam UU KPK yang memberi wewenang kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan, manakala :
a. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesunghuhnya;
b. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; dan
c. Ada intervensi kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif dstnya.
“Apakah para oknum Kapolres dan/atau Kajari yang doyan main kasus korupsi dan hobi menerima setoran dari anak buah yang juga hobi memeras pencari keadilan, mereka terus mendapatkan promosi jabatan secara periodik, sehingga timbul pertanyaan apa parameter mengukur prestasi sorang Kapolres atau Kajari di NTT, apakah budaya setor menjadi salah satu parameter,” jelas Petrus.
Padahal, katanya, banyak kasus korupsi mengendap seperti kasus PDAM Ende dari tahun 2008 sampai sekarang (15 tahun) yang melibatkan separuh anggota DPRD Ende, tetap mangkrak meskipun ada Putusan Praperadilan yang memerintahkan untuk dibuka kembali.
Dia mencontohkan, kasus korupsi pananganan Proyek Bencana Banjir dan Tanah Longsor TA. 2016 yang diduga dilakukan oleh Direktud CV. Maju Bersama dan CV. Bintang Pratama, hingga kini tidak ada pengembangan yang berarti, malahan terjadi tebang pilih dan diskriminasi yang terstruktur karena faktor intervensi politik dan mungkin uang dari pelaku dan pengaruh Partai Politiknya dll. sehingga kasus korupsi mangkrak tanpa ada pertanggungjawaban.
Peran Dewan
Petrus mengatakan, CV. Bintang Pratama dan Yohanes Kaki, Direkturnya, sangat layak dan beralasan hukum untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana dalam dugaan terjadi tindak pidana korupsi, karena rekannya Direktur CV. Maju Bersama saat ini sedang dihadapkan pada proses hukum dalam dugaan korupsi untuk dimintai pertangggungjawaban pidana korupsi, meski jalannya tersendat-sendat.
Mengapa CV. Bintang Pratama dan Yohanes Kaki, selaku Direkturnya belum diseret dalam.prosea hukum untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, padahal dugaan korupsi dalam penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor pada Dana TA 2016, telah didukung dengan Laporan Hasil Audit Inspektorat Utama BNPB yang membuktikan adanya pelanggaran hukum dan adanya kerugian negara.
Timbul tanda tanya besar di kalangan masyarakat NTT, mengapa Polres Ende bergeming, tidak pernah membuka sebuah penyidikan terhadap Yohanes Kaki, Direktur CV. Bintang Pratama sebagai penanggung jawab dan CV. Bintang Pratama sebagai korporasi yang secara hukum juga harus ikut dimintai pertanggungjawaban pidana. Ini ada apa dan siapa di belakangnya?
Terbetik khabar bahwa Yohanes Kaki, Dir. CV. Bintang Pratama, adalah Caleg DPRD Kabupaten Ende dan konon terpilih. Nah yang perlu dikhawatirkan itu, jangan sampai lembaga DPRD Ende telah disiapkan menjadi bunker bagi Anggota DPRD Ende yang bermasalah dengan hukum untuk berlindung. Inilah yang harus dicegah oleh Polres dan Kejaksaan setempat.
Padahal terdapat fakta yang tak terbantahkan, yaitu pada Tahun 2016 terjadi bencana Banjir dan Tanah Longsor di Lowolande dan di Lowolulu Lokalande, dan atas peristiwa tersebut Pemerintah Kab Ende menyalurkan dana siap pakai TA. 2016 sebesar Rp.1.975. 000.000, dan menunjuk CV Maju Bersama dengan anggaran Rp.1.324.450 dan CV Bintang Pratama sebesar Rp. 649.455. 000,- untuk melakukan pemulihan lokasi akibat bencana Banjir dan Tanah Longsor.
Sesuai dengan Laporan Hasil Audit Keuangan Atas Pengelolan Dana Siap Pakai TA. 2016 untuk Penanganan Tanggap Darurat dan Transisi Darurat ke Pemulihan Bencana Banjir dan Tanah Longsor pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ende, oleh Inspektorat Utama BNPB bahwa ada temuan permasalahan antara lain ;
1. Efektifitas Pembangunan Bronjong dan Normalisasi Kali Lowolande Untuk Mengatasi Banjir Belum Maksimal dan Pembayaran Kontraknya kepada CV. Maju Bersama senilai Rp.1.324.450.000 tidak sesuai ketentuan, karena ditemukan Pembangunan Bronjong dan Normalisasi Kali tersebut kurang maksimal, karena diketahui pekerjaan nya tidak diselesaikan 100 % ,Banjir masih melanda Kali Lowolande dan merusak pasangan bronjong sehingga terjadi amblas,serta terdapat penumpukan sedimen di Kali Lowolande yang semakin tinggi dan dasar sungai menjadi dangkal di sekitar alur sungai yang di keruk.
2. Berdasarkan Laporan Hasil Audit Inspektorat Utama BNPB, Pembayaran kepada CV. Bintang Pratama sebesar 100% atau sebesar Rp.649.455.000, atas Normalisasi Kali Lowolulu Lokalande, tidak sesuai dengan ketentuan dan kekurangan sanksi denda sebesar Rp.330 994.-
Dari permasalahan ini akhirnya menyeret beberapa nama yang terlibat antara lain :
1. Sdr. Albertus M Yani selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang melakukan kelalaian dalam tugas dan tanggung jawab akhirnya di proses hukum dan di tahan sejak tahun 2022 dan di vonis  bersalah di pengadilan Tipikor  Kupang.
2. Sdr. Ari Temu sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ,di vonis bersalah di pengadilan TIPIKORÂ Kupang dan sedang menjalani hukuman.
3. Sdr. Jessi Kornelius sebagai Pelaksana proyek sudah di tetapkan sebagai tersangka dan akan di tahan (Vidio hasil wawancara wartawan dengan Jaksa Ende), sementara pihak lain CV. Maju Bersama dan CV. Bintang Pratama masih terus dilindungi.
Tebang Pilih
Menurut Petrus, saat ini, Publik mempertanyakan kepada pihak Polres Ende, Kapolda NTT dan juga Kapolri, mengapa hingga saat ini belum memproses hukum guna meminta pertanggungjawaban pidana korupsi terhadap Sdr. Yohanes Kaki Direktur CV Bintang Pratama dan Sdr. Direktur CV Maju Bersama, terlebih-lebih ada keterlibatan korporasi di sini tetapi diabaikan, ini ada apa.
Apakah penindakan terhadap Albertus M. Yani dkk. hanya sekedar tumbal dengan pola penyidikan yang bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang susungguhnya atau karena ada intervensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, mengingat Yohanes Kaki, Direktur CV. Bintang Pratama disebut-sebut Caleg terpilih 2024, sehingga daya juang untuk menyelamatkan posisinya dipastikan dilipatgandakan demi sukses dilantik jadi anggota DPRD dan kasus dugaan korupsi dikubur namun argo ATMnya jalan terus.
Terhadap Yohanes Kaki, Direktur CV. Bintang Pratama, kata Petrus, karena menyangkut seorang kader Partai dan konon Caleg DPRD Ende terpilih, maka masyarakat sebaiknya laporkan ybs. ke Mahkamah Partai Politik karena menyangkut masalah Etik, Moral dan dugaan pelanggaran Hukum, sementara terkait perilaku Penyidik dan Pimpinan Polres Ende akan diadukan ke Propam Mabes Polri dan Kompolnas agar segera ditindak sesuai hukum.(den)