SHNet, Jakarta- Pakar transportasi senior, Suripno, menyarankan agar kebijakan transportasi lebaran tidak mengganggu kegiatan transportasi barang atau logistik. Menurutnya, pelarangan terhadap angkutan barang itu justru akan sangat merugikan pemerintah dari sisi ekonomi.
Kepala Pusat Kajian Kebijakan dan Sistem Transportasi dan Logistik Institut Transportasi dan Logistik Trisakti ini mengatakan sesuai UU Nomor 13 tentang Jalan yang dibuat tahun 1982 lalu, konsep dasar pembangunan jalan adalah untuk kepentingan angkutan barang bukan angkutan orang. “Itu falsafah jalan itu dibangun. Yaitu untuk kepentingan angkutan barang, bukan orang. Jadi, kalau ada kebijakan yang malah mengutamakan angkutan orang seperti saat-saat hari-hari besar Lebaran dan Nataru, itu artinya kebijakan tersebut sudah melanggar Undang-Undang,” ujarnya.
Kata Suripno, hierarki jalan itu harus mengikuti arus aliran angkutan barang. Jadi, jika mobil-mobil pribadi atau angkutan orang mengalami kemacetan di jalan saat momen-momen tertentu apapun sebenarnya tidak jadi masalah. Hal itu dikarenakan mereka bisa mengatur perjalanannya sendiri untuk terhindar dari kemacetan. “Tapi, kalau angkutan barang itu kan urusan pemerintah. Pemerintah harus ikut campur untuk mengatur kemacetan yang dialami angkutan barang tersebut. Karena, biaya macet untuk angkutan barang itu sangat mahal dan berdampak sekali terhadap perekonomian kita,” tukasnya.
Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah saat momen-momen Lebaran dan Nataru serta hari-hari besar lainnya adalah mengalihkan agar masyarakat pengguna mobil-mobil pribadi itu ke moda transportasi umum. “Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan seperti itu untuk menghindari kemacetan jalan saat momen-momen besar seperti Lebaran dan Nataru,” ucapnya.
Kementerian Perhubungan memprediksi lebaran tahun ini pergerakan masyarakat mencapai 123,8 juta orang. Jumlah ini meningkat 14,2 % jika dibandingkan Lebaran tahun 2022 lalu yang mencapai 85,5 juta orang. Untuk mengantisipasinya Kementerian Perhubungan akan mengeluarkan sejumlah kebijakan mulai penyiapan sarana prasarana transportasi, aspek kesehatan, manajemen rekayasa lalu lintas dan lainnya.
Lebih lanjut Mantan Direktur Keselamatan Transportasi Kemenhub ini menegaskan, kebijakan pengaturan lalu lintas jalan saat Lebaran dan Nataru jangan sampai lebih mengutamakan kepentingan angkutan orang ketimbang barang. Kementerian Perhubungan harus menghitung juga potensi kerugian ekonomi dari setiap kebijakan yang akan diambilnya. “Pertanyaannya, pernah nggak pemerintah menghitung kerugian ekonomi yang disebabkan dengan membatasi angkutan barang saat momen Lebaran dan Nataru itu?” tukasnya.
Pemerintah sebaiknya lebih fokus pada angkutan barang yang memiliki konsekuesi pada masyarakat luas ketimbang angkutan orang. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih menghitung kerugian ekonomi yang disebabkan kemacetan jalan akibat angkutan orang pada saat Lebaran itu. “Tapi kalau yang dibatasi malah angkutan barangnya, itu kan nanti ada hubungannya dengan mahalnya ongkos karena suatu produk tidak hadir pada saatnya atau hadir dengan harga yang mahal,” katanya.
Jika itu terkait barang-barang ekspor, Suripno mengutarakan kebijakan pelarangan angkutan barang pada saat Lebaran tersebut jelas akan membuat produk-produk Indonesia kalah saing. Hal itu disebabkan pada saat yang ditentukan barang-barang itu tidak ada di pasar. Selain itu, harganya juga menjadi tidak kompetitif lagi karena menjadi lebih mahal dari pesaing. “Ini kan akan membuat barang-barang ekspor kita menjadi nggak laku di pasar. Pertanyaannya, sampai di situ nggak cara berpikirnya? Jadi, tolong hal-hal ini dipelajari lagi. Harus ada perhitungan kerugian ekonomi yang diakibatkan kebijakan tersebut,” ucapnya. Selain barang ekspor, menurut Suripno beberapa barang lain yang juga penting jangan dilarang pada saat libur, utamanya yang menyangkut konsumsi masyarakat. Jangan sampai karena dilarang, harganya naik dan jadi langka, bahaya seperti itu.
Karenanya, Suripno menyarankan agar pemerintah jangan terlalu memanjakan para pengguna kendaraan perorangan. Menurutnya, dalam fenomena angkutan perkotaan, pemerintah juga seharusnya mengkondisikan agar semua beralih ke angkutan antar kota. “Tapi seperti yang ada saat ini, di mana di perkotaan itu yang dominan justru angkutan kendaraan pribadi, ini manajemennya nggak benar. Harusnya kan dominan itu angkutan umumnya,” tukasnya.
Sama halnya kalau berbicara mengenai angkutan Lebaran, menurutnya, itu juga sama dengan fenomena angkutan perkotaan sekarang ini, di mana yang banyak ke luar kota itu adalah kendaraan pribadi. “Harusnya pemerintah bukan memanjakan kendaraan pribadi,” katanya.
Kalau di perkotaan, menurut Suripno, yang dikenal itu namanya manajemen kebutuhan, yaitu pembatasan penggunaan kendaraan perseorangan agar beralih ke angkutan umum. Karenanya, pemerintah harus terus melakukan perbaikan terhadap transportasi angkutan umumnya. Selain itu, pemerintah juga harus membuat kebijakan di mana agar penggunaan kendaraan pribadi itu jauh lebih mahal dibanding menggunakan angkutan umum. “Kalau ini dilakukan, nggak usah dipaksa juga masyarakat pasti akan beralih ke angkutan umum yang biayanya lebih murah,” tukasnya.
Tapi, dia melihat pola pikir pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan sekarang ini sepertinya mau enaknya saja dan tidak ada dasarnya. “Yang sekarang itu manajemennya seenaknya saja dan nggak ada dasarnya. Pemikirannya nggak ada dan yang penting jadi aja. Pokoknya yang penting mudik dan mengikuti apa maunya masyarakat. Harusnya pemerintah itu berpikir untuk kelancaran logistik supaya bisa lebih efisien,” ucapnya. (cls)