KOTA KINABALU, SHNet – Kalangan masyarakat Suku Dayak di Malaysia, mencermti perubahan konstitusi di tingkat federal yang memberikan kebebasan memeluk agama bagi penduk asli Dayak di Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sabah.
Pemuka masyarakat Suku Dayak Iban, mengatakan, selagi regulasi Pemerintah Malaysia memaksakan penduduk pribumi Suku Dayak harus memeluk Agama Islam, maka di situlah benih-benih disintegrasi bangsa terjadi.
“Karena Islamisasi yang terjadi di Sabah dan Sarawak, sekarang, bentuk pelanggaran terhadap perjanjian Sabah dan Sarawak gabung dengan Federasi Malaysia tahun 1963. Jika Islamisasi tetap dilakukan, dipaksakan, taruhannya Sabah dan Sarawak harus pilih keluar Malaysia,” kata kata Peter John Jaban, Minggu pagi, 13 Februari 2022.
“Karena syarat Sabah dan Sarawak mau gabung dengan Federasi Malaysia tahun 1963, warga Suku Dayak tidak boleh dipaksa memeluk Agama Islam. Orang Dayak berhak menentukan identitas budayanya, karena ada sistem religi di dalamnya,” kata Peter John Jaban.
Peter John Jaban, menanggapi Pemerintah Federal Malaysia memberikan hak kepada Pemerintah Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah untuk menentukan definisi pribumi sendiri, tidak lagi terikat definisi yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Kewenangan ini lahir dari amendemen undang-undang dasar alias konstitusi Malaysia yang dilakukan Januari 2022.
“Perubahan Pasal 161A ayat (6) dan (7) Konstitusi Federal menetapkan bahwa ras yang dihitung sebagai ras asli untuk Sarawak dan Sabah adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Negara Bagian,” kata Menteri di Departemen Parlemen dan Hukum Kantor Perdana Menteri Dr. Haji Wan Junaidi di Kuala Lumpur, Jumat, 11 Februari 2022.
Permasalahan Sabah dan Sarawak, menjadi isu sangat sensitif di Malaysia. Beberapa kali usulan amandemen, untuk meredam isu Sabah dan Sarawak keluar dari Malaysia, selalu ditolak sebagaian besar anggota parlemen di tingkat federal yang sebagian besar memeluk Agama Islam.
Di Sarawak, sudah beberapa kali digelar aksi demonstrasi menuntut keluar dari Malaysia, karena pemaksaan Islam menjadi agama di kalangan Suku Dayak. Distribusi pembangunan infrastruktur di kalangan pemukiman Suku Dayak, selalu dilihat sudah berapa jauh mereka memeluk Agama Islam.
Jika tetap tidak mau memeluk Agama Islam, maka pembangunan fisik di lingkungan pemukiman Suku Dayak di Sarawak, tidak akan diwujudkan.
Di Sabah, kedatangan Suku Sulu beragama Islam langsung menjadi warga negara setiap kali Pemilihan Umum atau Pilihan Raya, selaku dikecam kalangan komunitas Suku Dayak.
Kabinet partai koalisi pemerintahan di Malaysia, telah menunjuk salah satu menteri, untuk secara khusus menangani permasalahan Sabah dan Sarawak.
Maximus Ongkili, dari Partai Bersatu Sabah (PBS) ditunjuk menjadi Menteri Khusus Urusan Sabah dan Sarawak di pemerintahan Federasi Malaysia. Maximus Ongkili merupakan orang Dayak Kadazan Dusun, Sabah.
“Kalau dilihat dari tataran regulasinya, bagus, tapi, kita lihat pada tingkat aplikasinya di lapangan dan sampai sejauh mana otoritas negara bagian untuk menentukan kebijakan rasis sendiri, dimana di dalamnya harus dijamin, tidak akan ada praktik Islamisasi di kalangan Suku Dayak. Ini penting,” ujar Peter John Jaban.
Peter John Jaban, mengatakan, pemahaman Suku Dayak di Sabah dan Sarawak, tentang penduduk asli, penduduk asal, adalah Deklarasi Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007, dimana penduduk asal berhak mempertahankan identitas budaya, berhak mempertahankan tanah adatnya dan berhak menentukan sikap politiknya.
Wan Junaidi mengatakan, melalui amandemen ini definisi ras pribumi di Sarawak dan Sabah tidak lagi tunduk pada ketentuan Konstitusi Federal dan dapat sepenuhnya ditentukan Pemerintah Negara Bagian Sarawak melalui Undang-Undang Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, sendiri.
Wan Junaidi menyatakan amendemen telah disetujui Raja Sultan Abdullah pada 19 Januari 2022.
Persetujuan Raja Sultan Abdullah, sehari setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, mengesahkan Undng-Undang Ibu Kota Negara, Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Selasa, 18 Januari 2022.
Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia, Nusantara di Pulau Borneo, membuat Malaysia menyusun ulang konsep geostrategi di dalam menjalankan geopolitik, dimana Sabah dan Sarawak, kemudian menjadi kawasan strategis sebagai dampak pemindahan ibu kota negara dilakukan Indonesia, sebagaimana pengumuman Presiden Joko Widodo di Jakarta, Selasa, 26 Agustus 2019.
Selanjutnya rancangan undang-undang dikukuhkan sebagai Undang-Undang Perubahan, yaitu Undang-Undang Dasar (Amandemen) 2022 [UU A1642] pada tanggal 25 Januari 2022.
“Berdasarkan ayat 1 (2) UU A1642, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan Yang di-Pertuan Agong. Yang di-Pertuan Agong telah menyetujui Undang-undang A1642 mulai berlaku pada 11 Februari 2022,” kata Wan Junaidi.
Wan Junaidi menginformasikan bahwa undang-undang ini mencakup amandemen Pasal 1 (2), 160 (2) dan 161A (6) dan (7) Konstitusi Federal dan merupakan komitmen Pemerintah terhadap Perjanjian Malaysia 1963 (MA63).
Negara Bagian Sarawak, Malaysia, diberi kewenangan menyusun kebijakan diskriminasi ras versinya sendiri, tidak perlu lagi mengacu pada ketentuan Pemerintah Federal, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Nasional Indonesia, Antara.
Usulan ini disahkan di Dewan Rakyat pada 14 Desember 2021 dengan dukungan dua pertiga mayoritas (199 anggota) dan Senat dengan dukungan 49 anggota pada 23 Desember 2021.
Wan Junaidi menyatakan bahwa penegakan Undang-Undang A1642 adalah satu komitmen Pemerintah Federal pada Perjanjian Malaysia 1963 (MA63).
“Undang-undang ini sangat penting dan merupakan ‘kabar baik’ yang ditunggu-tunggu masyarakat Sabah dan Sarawak dimana amandemen ayat (2) Pasal 1 dan ayat (2) Pasal 160 Konstitusi Federal ini untuk lebih memperjelas posisi negara bagian di Malaysia sesuai dengan pasal-pasal yang tersurat dan tersirat dalam Perjanjian Malaysia 1963,” kata Wan Junaidi.
Malaysia adalah satu dari segelintir negara di dunia yang menjadikan diskriminasi ras dan agama sebagai bagian dari konstitusi negara.
Perlembagaan Persekutuan Malaysia, nama resmi undang-undang dasar Malaysia, memberi berbagai keistimewaan kepada mayoritas Melayu serta pribumi Sabah dan Sarawak
Keistimewaan tersebut antara lain, jatah pekerjaan di kantor pemerintahan/pelayanan publik, beasiswa federal, jatah kursi di lembaga pendidikan tinggi, serta izin untuk melakukan bisnis apa pun yang dinyatakan legal oleh pemerintah Federal.
Selain itu, Konstitusi Malaysia mengatur kriteria orang Melayu yang diakui negara yakni, beragama Islam, pengguna bahasa Melayu, dan menjalankan adat istiadat Melayu.
Artinya, orang Melayu tulen yang menganut agama selain Islam tidak dianggap sebagai bagian dari etnis tersebut. Tentu saja mereka tidak berhak menikmati hak istimewa seperti para Melayu muslim.
Mengenai Sabah dan Sarawak, wilayah di utara Pulau Kalimantan itu memiliki demografi yang berbeda dengan daratan Malaysia lainnya.
Bukan Melayu, tetapi berbagai suku asli Kalimantan seperti Dayak, adalah mayoritas di kedua negara bagian tersebut dan berhak menikmati hak istimewa yang diberikan konstitusi.
Selain tiga kelompok penerima hak istimewa tersebut, etnis Tionghoa, India, dan beberapa suku asal Indonesia seperti Jawa dan Bugis juga jadi bagian populasi Malaysia. *
Sumber: antara