SHNet, Jakarta-Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) mengatakan sebagai satu lembaga yang diberikan fungsi pengawasan obat dan makanan, seharusnya BBPOM dalam melaksanakan tugasnya sesuai prioritas. Adapun prioritas sekarang ini lebih ke menyelesaikan kasus sirup obat batuk yang mengandung zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang telah menyebabkan kematian ratusan anak di Indonesia.
“Jadi, BPOM sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengawasi obat dan makanan seharusnya mengetahui apa prioritas tugas yang harus dilakukan. Saat ini kan sedang marak kasus EG dan DEG yang terdapat dalam sirup obat batuk yang telah menyebabkan banyak kematian anak-anak di Indonesia. Seharusnya pusat perhatian BPOM harus ke sini bukan malah sibuk melakukan sosialisasi pelabelan BPA galon guna ulang yang sudah jelas ada unsur persaingan usahanya,” kata Kepala Bidang Riset Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII), Muhammad Addi Fauzani.
Seperti diketahui, di tengah masalah yang menimpa anak-anak di Indonesia akibat mengalami gagal ginjal akut karena keberadaan EG dan DEG dalam sirup obat batuk, BPOM malah sibuk dan giat sekali menyosialisasikan pelabelan BPA galon guna ulang karena dianggap membahayakan kesehatan. Salah satunya adalah melakukan kegiatan Expert Forum bertema “Urgensi pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan untuk keamanan konsumen” dengan menggandeng Center For Sustainability And Management Universitas Indonesia baru-baru ini. Padahal, jelas-jelas belum ada satu bukti pun yang mengindikasikan bahwa air kemasan galon guna ulang membahayakan kesehatan. Ini mengindikasikan bahwa BPOM tidak menjalankan fungsinya sebagai pengawas obat dan makanan karena seharusnya prioritas utama BPOM bukan menyosialisasikan pelabelan BPA tapi menuntaskan kasus EG dan DEG dalam sirup obat batuk.
Terkait adanya wacana pelabelan BPA galon guna ulang oleh BPOM, Addi mengatakan dalam mengubah peraturan, BPOM terikat dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi BPOM sendiri dalam mengatur atau mengubah peraturannya. “Secara umum, BPOM juga terikat asas kejelasan tujuan dan asas keadilan dalam membuat aturan BPOM. Jadi, ketika BPOM ingin melakukan revisi peraturan BPOM soal label pangan, juga harus memenuhi asas tersebut,” ujarnya.
Apabila ada indikasi bahwa BPOM dalam merevisi Peraturan BPOM justru melakukan diskriminasi, menurutnya, pihak yang dirugikan dapat melakukan langkah hukum judicial review untuk menguji Peraturan BPOM ke Mahkamah Agung. Selain itu, kata Addi, Presiden melalui Menteri Kesehatan juga dapat melakukan pengawasan bahkan menegur BPOM agar hati-hati dalam membentuk peraturan.
Sebelumnya, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, Dr. David Tobing, juga menyayangkan sikap BPOM karena tidak serius dalam menangani kasus EG dan DEG yang telah membuat anak-anak Indonesia banyak yang meninggal dan menderita gagal ginjal . Dia mengatakan BPOM memberikan informasi yang membingungkan masyarakat. Menurutnya, ada beberapa tindakan BPOM yang telah melakukan pembohongan public terkait kasus EG dan DEG sirup obat batuk, sehingga cukup beralasan digugat perbuatan melawan hukum penguasa. “Pertama, karena tidak menguji sirup obat secara menyeluruh. Pada tanggal 19 Oktober 2022 BPOM RI sempat mengumumkan lima obat memiliki kandungan cemaran EG/DEG namun pada tanggal 21 Oktober 2022 malah BPOM RI merevisi 2 obat dinyatakan tidak tercemar,” tuturnya.
Kedua, pada tanggal 22 Oktober 2022, BPOM RI mengumumkan 133 obat dinyatakan tidak tercemar, kemudian pada tanggal 27 Oktober 2022 menambah 65 obat, sehingga 198 obat diumumkan BPOM RI tidak tercemar EG/DEG. Namun, di tanggal 6 November 2022 justru malah dari 198 sirup obat, 14 sirup obat dinyatakan tercemar EG/DEG.
“Konsumen Indonesia dan masyarakat Indonesia seperti dipermainkan. Pada 6 November 2022 BPOM malah mencabut pernyataan tanggal 28 Oktober yang menyampaikan 198 sirup obat yang dinyatakan tidak tercemar tidak berlaku lagi, karena dari 198 terdapat 14 sirup obat tercemar EG/DEG. Tindakan tersebut jelas membahayakan karena BPOM RI tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengawasi peredaran sirup obat dengan baik,” ujarnya. (cls)