16 January 2025
HomeBeritaPSHK UII: Revisi UU TNI Mengandung Perluasan Jabatan Prajurit Aktif TNI

PSHK UII: Revisi UU TNI Mengandung Perluasan Jabatan Prajurit Aktif TNI

SHNet, Jakarta-Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FK UII) menilai draf  revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI) mengandung perluasan jabatan untuk prajurit aktif TNI. M Addi Fauzani, Kepala Bidang Riset Edukasi PSHK FH UII dan Dosen FH UII, mengatakan draf revisi TNI ini memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menjabat jabatan strategis di 18 instansi dan lembaga kenegaraan.

Dia menilai draf revisi UU TNI ini menambahkan 8 usulan instansi lainnya, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.  “Bahwa dalam tugas terkait keamanan draf revisi UU TNI juga menambahkan tugas-tugas baru bagi anggota TNI, termasuk mengatasi aksi terorisme, mendukung pemerintah menanggulangi ancaman siber dan mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Sehingga, anggota TNI dapat dilibatkan dalam penumpasan teroris, siber, narkotika dan tugas-tugas keamanan lainnya yang mengakibatkan tumpang tindih tugas antara TNI dengan Polri,” ujarnya dalam rilisnya, Jumat (26/5).

Menurutnya, wacana perluasan jabatan dan penambahan tugas keamanan berpotensi akan mengulangi pelaksanaan dwifungsi ABRI yang membuat TNI secara kelembagaan dan prajurit aktif TNI tidak fokus pada bidang utamanya yakni bidang pertahanan. Selain itu, katanya, wacana penggunaan TNI di bidang keamanan oleh negara tersebut tentu berpotensi melanggar asas demokrasi, kedaulatan rakyat dan amanat reformasi 1998. “Hal ini disebabkan karena TNI akan digunakan untuk menghadapi masyarakat sipil. TNI sebaiknya fokus pada tugas yang telah diamanatkan oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) UD NRI 1945 ditegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara,” ucapnya.

Dia mengatakan draf revisi UU TNI juga berwacana melepaskan kebijakan penganggaran TNI yang tidak lagi di bawah Kementerian Pertahanan tetapi langsung kepada Kementerian Keuangan. Menurutnya, meskipun alasan wacana tersebut ingin memangkas proses birokrasi, tetapi pengawasan penganggaran oleh Kementerian Pertahanan masih diperlukan. Hal ini mengingat semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengawasan maka sistem tersebut semakin baik.

Disebutkan, draf revisi UU TNI juga berwacana ingin mencabut kewenangan Presiden atas TNI. Apabila ketentuan ini disahkan maka tentu akan sangat berbahaya. Karena pengerahan dan penggunaan TNI dilakukan di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memegang daulat rakyat. “Padahal, dalam Pasal 10 UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Apabila usulan tersebut tentu akan melanggar konstitusi,” katanya.

Menurutnya, draf revisi TNI juga berwacana ingin menambah jenis Operasi Militer selain Perang (OMSP). Revisi UU TNI ini menambah jenis OMSP menjadi 19 dari yang awalnya hanya 14. Hal ini mampu mendorong keterlibatan TNI meluas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk mengamankan proyek pembangunan pemerintah. “Apabila wacana tersebut diaplikasikan maka tentu akan berakibat fatal, karena TNI juga akan digunakan untuk menghadapi masyarakat,” ungkapnya.

Karenanya, kata Addi, PSHK FH UII merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk melibatkan partisipasi publik dan mengedepankan keterbukaan dalam proses revisi UU TNI maupun pembuatan kebijakan terkait pertahanan dan keamanan. “Pemerintah juga harus melakukan analisis dampak setiap perubahan dalam revisi UU TNI,” katanya. (cls)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU