26 April 2024
HomeBeritaRUU "Power Wheeling",  Sebuah Alat  Penindas Hajat Hidup Rakyat 

RUU “Power Wheeling”,  Sebuah Alat  Penindas Hajat Hidup Rakyat 

Oleh : Ferdinand Hutahaean

Sejak akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023 bergulir, masyarakat secara umum mungkin belum mengetahui secara persis bahwa di DPR sedang digodok sebuah Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan yang diistilahkan dengan “RUU Power Wheeling”. Kalau diterjemahkan secara harafiah 2 kosa kata ini berarti roda kekuatan atau roda kekuasaan.

Meski makna yang dikandung 2 kosa kata tersebut dalam pembahasan “RUU Power Wheeling” ini mungkin berbeda dan tidak bisa diterjemahkan secara harafiah, namun apapun makna tersembunyi di dalam bahasa yang tak ramah dengan telinga masyarakat awam soal energi ini sangat mengkhawatirkan dan mengandunng ancaman besar terhadap eksistensi Konstitusi UUD 1945.

Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebuah BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan dan menjaga hajat hidup rakyat di sektor energi terancam eksistensinya dan mungkin akan dijadikan budak pengangkut bisnis swasta untuk memperkaya kelompok oligarki yang selalu ingin merusak tatanan sosial, tatanan ekonomi, dan tatanan hidup masyarakat demi kepentingan kelompoknya.

Secara garis besar, RUU ini mengandung kebaikan-kebaikan untuk pertumbuhan Energi Baru dan Terbarukan yang harus didukung. Karena memang bauran energi bersih dalam kehidupan sehari-hari kita harus ditingkatkan persentasenya untuk merawat bumi, menurunkan panas bumi, dan mengurangi cemaran udara serta oksigen yang kita hirup. Bumi sudah tua, perlu dan butuh perawatan dan keperdulian kita semua.

Namun, selain kebaikan-kebaikan tentang energi baru dalam RUU tersebut, ada satu materi yang akan menjadi roda pelindas hajat hidup rakyat. Melalui RUU itu, PLN yang selama ini menjadi mesin pelaksana dan penjaga hajat hidup rakyat akan dibunuh secara perlahan-lahan.

Bisnis PLN yang mengurusi hajat hidup orang banyak, lama kelamaan bisa berpindah tangan ke pihak swasta atau setidaknya PLN bisa hanya menjadi tukang angkut, tukang panggul, dan tukang salurkan bisnis swasta, sementara bisnisnya mengurusi kehidupan rakyat menjamin pasokan listrik harus tertinggal.

Lantas mengapa pasal yang  mematikan PLN tersebut patut disebut roda pelindas PLN? Di sana dimasukkan bahwa PLN wajib memberikan sarana prasarana atau jaringan infrastruktur milik PLN untuk digunakan oleh swasta dalam menyalurkan listriknya kepada konsumen secara langsung.

Swasta yang membangun pembangkit berbasis EBT diberikan kemudahan menggunakan jaringan milik PLN yang dibangun dengan uang rakyat (APBN) untuk menyalurkan listriknya langsung kepada konsumen pengguna.

Artinya, PLN dipaksa secara langsung menjadi budak pemikul, tukang panggul, tukang angkut listrik swasta dengan sarana milik PLN dan dibayar dengan harga yang tidak juga jelas diatur namun hanya dinyatakan akan diatur oleh pemerintah. Sungguh RUU Power Wheeling ini akan menjadi roda yang melindas PLN, menggilas PLN hingga satu saat menjadi sekarat dan mati.

Pada akhirnya PLN menjadi pekerja atau jadi sekelas tukang rental jaringan untuk pembangkit swasta. PLN hanya dapat receh dari sewa jaringan, tapi listrik pembangkitnya tak terjual dan mati pelan-pelan. Sementara PLN wajib membayar daya dari pembangkit meski tak terjual kepada konsumen.

Pertanyaannya, apakah kira-kira dana sewa jaringan PLN itu akan mampu menutupi pembayaran kelebihan daya tak terpakai oleh PLN? Tentu tidak. Di situlah PLN akan dimatikan perlahan.

Apakah rakyat harus membiarkan permainan para oligarki terus terjadi? Apakah ada persekutuan antara oligarki dengan penguasa? Apakah ada permainan bawah tangan antara oligarki dengan Partai Politik yang menghuni DPR sebagai lembaga legislatif pembuat Undang-undang? Ini yang menarik.

Kita mengetahui bahwa beberapa hari lalu, pemerintah menyatakan menarik dan mencabut pasal tentang Power Wheeling, terutama pasal yang mewajibkan PLN menyerahkan jaringan miliknya untuk mendistribusikan listrik swasta.

Artinya, persekutuan antara oligarki dengan penguasa mungkin tidak ada. Tapi mengapa di DPR masih seperti tersimpan semangat membara untuk tetap memasukkan pasal yang akan mematikan PLN ini? Adakah pembagian suap di sana hingga anggota DPR atau Partai Politik kita rela menabrak konstitusi dan melindas PLN?

Rakyat harus mengawasi proses pembahasan RUU ini di DPR. Rakyat harus menandai Partai Politik yang mendukung pembunuhan terhadap PLN. Rakyat harus menjauhi partai politik yang mendukung pasal tentang Power Wheeling yang akan membuat rakyat menderita karena mahalnya harga listrik.

Dan satu hal, rakyat harus menghukum politisi dan partai politik yang tidak mendukung konstitusi dengan berpihak kepada oligarki yang selalu membuat masalah kepada rakyat demi keuntungan kelompoknya.

Sebagai politisi dan juga sebagai pengamat energi, saya sangat berharap kepada teman-teman partai politik agar menghentikan niat memasukkan pasal tentang Power Wheeling yang mewajibkan PLN memberikan infrastrukturnya digunakan oleh swasta. Sarana itu milik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, jangan gunakan memperkaya segelintir swasta.

Penulis adalah Politisi dan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU