21 January 2025
HomeBeritaKesraSadaring Satupena#5: Hubungan Sastra dan Sejarah Sangat Erat

Sadaring Satupena#5: Hubungan Sastra dan Sejarah Sangat Erat

SHNet, Jakarta- Cerita sejarah yang diangkat dalam bentuk karya sastra akan menggugah ingatan masyarakat akan suatu peristiwa yang tak tertulis dalam teks sejarah, meskipun pertiswa itu berdampak besar dalam kehidupan masyarakat.Begitu juga dengan fakta dan pertiswa sejarah yang ditulis sesuai dengan kaedah prosedur ilmiah, menjadi sumber berhargabagi penulisan karya sastra. Sisi lain dalam sejarah bisa dibuat menarik dalam karya sastera, sebab fiksi memberi kebebasan bagi penulis untuk meramunya menjadi cerita menarik dalam karya sastra berbasis peristiwa sejarah.

Demikian benang merah dari sasarehan daring atau Sadaring seri ke-5 yang digelar organisasi penulis Satupena bertema “Sejarah dalam Sastra” di Jakarta, Minggu (10/10). Sadaring ini menampilkan tiga narasumber berbobot yakni penulis novelsejarah, Iksana Banu, peneliti dan penulis sejarah, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan penulis novel dan antropolog, Nusya Kuswantin.

Acara Sadaring dimoderatori oleh sejarawan UGM yang juga salah satu Ketua Presidium Satupena, Prof Sri Margana. Dua puisi dibacakansebelum aca dimulai yakni puisi “Catatan Harian” karya Putu Fajar Arcana, dan puisi “Pelajaran” yang dibawakan Magdalena Sitorus.

Margana memberikan gambaran teoritis tentang hubungan sastra dan sejarah sehingga memberi pemahaman utuh bagi peserta untuk memahmi apa yang diungkapkan para narasumber. Menurutnya, tanggungjawab sastra dan sejarah agak berbeda.

Tugas sejarah itu kata Margana, kembar. Sejarah harus  menceritakan suatu peristiwa sesuai dengan kejadian atau fakta dan menuliskannya dengan mengikuti prosedur ilmiah, spasial, temporal, kronologis berdasarkan fakta atau bukti. Sedangkan sastra cukup mengungkapkan  gambaran  tentang peristiwa yang dapat dipahami pembaca.

Penulis Novel Iksa Banu yang banyak melahirkan novel berlatar sejarah era kolonial, banyak mempelajari sejarah masa ini yang jarang diungkap secara resmi tapi banyak informasi menarik yang bisa diangkat dalam ebntuk novel.

“Sejarah kolonial lebih mengungkap tokoh dan nama besar, tapi masyarakat biasa, orang kecil yang seakan tak membuat sejarah sesungguhnya ikut berperan dalam perjalanan sejarah itu sendiri. Di mana mereka? Sedang apa mereka? Nah, kalau kita tau informasinya, bisa kita ramu dalam bentuk novel menarik,” ungkap Banu.

Menurt Iksana Banu, karena pilihan pada masa Sejarah Kolonial, maka dirinya melakukan riset data atau dokumen masa kolonial, yakni dari para pengelana Eropa yang menulis catatan perjalanannya, tentunya yang sudah dibukukan. Selanjutnya dari memoar atau kenang-kenangan yang ditulis para pejabat baik Belanda maupun pribumi, juga karya novel yang sudah ditulis para jurnalis misalnya.

Searah jarum jam, Prof Margana, Iksana Banu, Nusya Kuswantin, dan Amurwai

Suit Cari Sudut Pandang                                         

Mantan wartawan yang kemudian menjadi novelis dan memperdalam antropologi, Nusya Kuswanin menceritakan bagaimana proses kreatifnya melahirkan novel berlatar belakang peristiwa mencekam tahun 1965.

“Profesi saya sebagai wartawan dan tempat tiinggal saya di Banyuwangi, membuat orang bertanya tentang banyak hal. Juga mereka meneritakan pengalaman masa lalunya. Ini awlanya yang membuat saya terdorong serius mendalami masalah terkait peristiwa ’65,” katanya.

Secara personal, Nusya menceritakan bagaimana kesulitan mengambil sudut pandang, siapa aku dan bagimana nanti jika novel ini terbit. “Ibu pernah menyarankan agar jangan menerbitkan soal ini dulu, tunggu situasi benar-benar aman. Akhirnya setelah saya kuliah lagi di Yogyakarta dan kondisi di sana sangat memungkinkan, keberanian untuk menerbitkan novel berjudul Lasmi semakin tinggi,” ungkap Nusya.

Begitu juga cerita peneliti dan penulis sejarah Amurwani. PNS di Kemendikbudristek ini juga menceritakan bagaimana awal mulatertarik menulis terkiat peristiwa 65, khsusunya dari sudut perempuan yakni para tahanan wanita yang tanpa diadili tapi harus mendekam di penjara dan menderita lama di jeruji besi masa Orde Baru.

Amurwani mengungkapkan, hasil diskusi dengan rekan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam mengantarkan riset untuk tesisnya tentang perempuan anggota Gerwani yang ditahan, akhirnya membuka jalan dan melancarkan risetnya untuk menulis tesis, meski untuk menjelajah dan menemukan mereka, awalnya sangat sulit. (sur)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU