14 February 2025
HomeOpiniSmelter Freeport Di Gresik, Perih Di Indonesia Timur

Smelter Freeport Di Gresik, Perih Di Indonesia Timur

Oleh: Dr. Kurtubi*

DIKABARKAN bahwa Selasa 12 Oktober 2021 lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan Smelter PT Freeport di kawasan JIIPE (Java Integrated Industrial and Ports Estate) Gresik, Jawa Timur.

Untuk diketahui bahwa kawasan JIIPE ini adalah merupakan tanah hasil urugan/reklamasi pantai di Gresik.

Rencana Menko Marinvest seperti dikabarkan beberapa bulan yang lalu agar PT Freeport membangun Smelter di Maluku Utara daerah penghasil tambang, akhirnya tidak terlaksana/gagal.

Jauh sebelumnya, PT Freeport sudah menandatangani Kerjasama dengan PT Amman Mineral (ex PT Newmont) yang juga merupakan penghasil mineral tembaga. Untuk bersama-sama membangun smelter tembaga kapasitas besar di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), NTB. Rencana lokasinya sudah dikunjungi oleh Menteri ESDM bersama rombongan Komisi VII DPRRI termasuk penulis.

Rencana Kerjasama PT Freeport dan PT Amman Mineral untuk membangun smelter di KSB menurut saya, sangat tepat dan sangat baik untuk kepentingan nasional dan kepentingan Freeport dan PT Amman Mineral sendiri.
Ternyata akhirnya gagal juga atau setidaknya menjadi tidak jelas alias mengambang.

Padahal menurut pendapat saya, kalau smelter dibangun di KSB akan lebih efisien secara nasional karena akan dapat menghemat biaya pembangunan dan biaya operasi smelter.

Mengapa? Karena membangun Pabrik Pengolahan hasil tambang (smelter) di lokasi tanah hasil Urugan di pinggir pantai pasti lebih mahal dari pada membangun smelter di tanah asli bukan hasil urugan. Karena tanah urugan seperti di Gresik butuh treatment khusus

Selain itu biaya operasi yang berupa ongkos angkut bahan baku yang berupa hasil tambang dari Mimika Papua Barat ke JIIPE Gresik di Jatim pasti lebih mahal karena jaraknya lebih jauh dibanding ke KSB. Ongkos angkut yang lebih mahal ini secara non stop akan terus terjadi selama usia smelter sekitar 50 tahun.

Kalau misalnya PT Freeport konsisten untuk membangun smelter kapasitas besar secara bersama di KSB selain biaya proses per unitnya lebih murah sejalan dengan besarnya kapasitas, juga Industri hilirnya yang antara lain berupa pabrik kabel listrik, pabrik semen, dll bisa dibangun segera di Sumbawa, yang juga akan menjadi lebih efisien secara nasional.

Mengingat Sumbawa juga menghasilkan bijih besi yang diperlukan oleh pabrik semen, dan dikawasan Bali sampai Nusa Tenggara hingga hari ini belum ada pabrik kabel listrik. Sehingga kehadiran pabrik kabel listrik di Sumbawa pasti akan menghemat ongkos angkut kabel listrik ke kawasan Indonesia Timur.

Dengan demikian seandainya Kerjasama Freeport dengan PT Amman Mineral untuk membangun Smelter kapasitas besar bisa diwujudkan dan bisa segera diikuti dengan membangun industri hilirnya di lokasi yang sama. Tentu akan lebih baik secara nasional.

Untuk diketahui, industri terintegrasi hulu hilir berbasis tambang di daerah penghasil tambang selalu akan menguntungkan Negara dan menguntungkan kedua perusahaan.

Timbul pertanyaan, mengapa PT Freeport yang Mayoritas sahamnya milik BUMN, memutuskan membangun smelter di lokasi JIIPE yang justru tidak efisien secara nasional?

Pasalnya, di Pulau Sumbawa terdapat 2 lokasi konsentrasi cadangan tembaga yang besar, yang dapat menjamin ketersediaan bahan baku smelter dan Industri Hilir untuk jangka waktu yang sangat panjang.

Tambang PT Newmont yang dilanjutkan oleh PT Amman Mineral sudah hadir berproduksi di KSB sejak lama. Selain masih punya cadangan terbukti yang belum mulai dieksploitasi di Blok Dodo Rinti KSB. Juga di Kabupaten Dompu Pulau Sumbawa terdapat cadangan mineral tembaga yang besar dan hingga saat ini juga belum dieksploitasi.

Di lokasi tambang Amman Mineral, sudah ada fasilitas pelabuhan khusus tambang, tidak perlu membangun pelabuhan baru seperti di JIIPE Gresik yang pasti juga membikin biaya operasi smelter menjadi lebih mahal.

Membangun pabrik di tanah reklamasi membutuhkan treatmen khusus yang mahal. Padahal Di KSB tanah untuk smelter berikut industri hilirnya sudah disediakan oleh Pemda yang merupakan Tanah asli bukan tanah reklamasi.

Seyogyanya pemerintah sebagai pemegang kebijakan punya kajian yang kredibel tentang lokasi smelter dan industri hilir yang berbasis Tambang.

Sebaiknya Presiden Jokowi tidak mengikuti begitu saja usulan kajian dari pelaku usaha terkait minerba yang memggunakan sistem fiskal,–Tax plus Royalti yang berapapun besarnya pengeluaran biaya, kesemuanya akan menjadi faktor pengurang pajak yang dibayar negara.

Meski terasa pahit, saya mengingatkan bahwa membangun smelter berikut industri hilir berbasis tambang industri di daerah bukan penghasil tambang, padahal ada daerah penghasil tambang yang secara tehnis ekonomis lebih feasible,– adalah kurang bijaksana dan kurang berpihak pada keselarasan dan upaya mengurangi kesenjangan antara Jawa dengan daerah penghasil yang umumnya secara ekonomi masih tertinggal.

* Penulis adalah anggota DPR-RI Fraksi Nasdem Komisi VII 2014 – 2019 Dapil NTB. Alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU