SHNet, Jakarta-Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyesalkan adanya pemberitaan yang menyebutkan dirinya mengatakan sangat tidak masuk akal klaim di sosial media yang membandingkan konsumsi rutin minum air 8 gelas sehari dari galon bekas pakai dengan makan makanan kaleng yang justru lebih jarang dilakukan. Menurutnya, dia merasa tidak pernah diwawancara terkait hal itu, apalagi menyebut-nyebut soal makanan kaleng.
“Saya merasa tidak diwawancara media. Apalagi menyebut-nyebut soal makanan kaleng. Darimana para media itu dapet pernyataan seperti itu?” ujarnya saat dikonfirmasi soal kebenaran dari pernyataannya tersebut, Kamis (21/12).
Dia menduga ada yang melakukan framing terkait isu BPA ini. “Waduuh.. ini ada yang framing.. ada mafia,” ucapnya lagi.
Dia mengatakan ada pihak-pihak yang membuat rilis palsu terkait pernyataannya di beberapa media. “Sepertinya ada rilis palsu atas nama saya. Saya sudah protes ke wartawannya yang nulis tersebut, dan meminta agar beritanya di-take down,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan sangat tidak masuk akal klaim di sosial media yang membandingkan konsumsi rutin minum air 8 gelas sehari dari galon bekas pakai dengan makan makanan kaleng yang justru lebih jarang dilakukan.
Kedua kemasan tersebut mengandung senyawa berbahaya Bisphenol A (BPA), tetapi minum dari galon bekas pakai justru jauh lebih berbahaya karena frekuensinya rutin setiap hari dan terakumulasi dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun.
“Urusan keamanan untuk melindungi masyarakat seharusnya membuat pemerintah tanpa kompromi,” kata Tulus, dalam rilisnya di Jakarta, Selasa, 20 Desember 2022.
“Jika dibandingkan, bahaya kontaminasi BPA pada galon guna ulang justru 8 kali lebih besar daripada makanan kaleng, membandingkan keduanya saja sudah sulit diterima akal sehat. Seperti sudah kami tegaskan sebelumnya, terkait keamanan pangan, negara sudah hadir dalam konstitusi yang mengatur berbagai produk regulasi, termasuk UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan dan UU Kesehatan, PP Label dan Iklan Pangan,” tambahnya.
Beberapa pakar sempat menyayangkan pernyataan Tulus yang mengatakan bahaya BPA dalam air minum dalam kemasan tidak bisa dibandingkan dengan kemasan kaleng ini. Para pakar tetap berpendapat BPA dalam kemasan kaleng jauh lebih berbahaya ketimbang dalam kemasan air minum.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas),Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA mengatakan seharusnya YLKI sebagai lembaga yang bertugas melindungi konsumen tidak mengeluarkan pernyataan yang membingungkan seperti itu. “Yang saya sampaikan bahwa BPA yang lebih berbahaya ada dalam makanan kaleng itu kan hasil penelitian di jurnal. Jadi, seharusnya YLKI tidak seperti itu, Tugasnya kan melindungi konsumen bukan melindungi produsen,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. Dia mengatakan tidak sepakat dengan pernyataan yang disampaikan YLKI. Menurutnya, secara ilmiah, produk itu dinyatakan berbahaya jika zat kimia dari kemasannya yang bermigrasi itu melebihi batas ambang aman. Katanya, BPA itu menjadi berbahaya tergantung pada konsentrasinya dan jumlah komulasinya dalam tubuh dan juga pada lamanya kontak pada produknya. Kalau di galon, itu kontak dengan airnya itu sebentar. Jadi yang migrasi ke air konsentrasinya lebih kecil. Tapi, kalau yang di kaleng itu lama kontak dengan bahannya. Jadi yang migrasinya lebih banyak dan konsentrasinya lebih tinggi.
“Kalau YLKI tidak mengerti hal itu keterlaluan. Mungkin kurang ilmu saja,” katanya. (cls)