JAKARTA- Sudah 19 bulan berlalu, perintah Presiden untuk melakukan percepatan transformasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) menjadi Coast Guard belum juga terwujud. Belum ada tanda-tanda Bakamla yang merupakan embrio Coast Guard itu berubah menjadi Coast Guard. Yang terjadi adalah Bakamla semakin asik dengan memperkuat eksistensi sebagai Pelanggar HAM.
Hal ini disampaikan mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS), Laksamana Muda TNI Soleman B. Ponto, S.T., M.H. kepada SH.Net di Jakarta, Selasa (23/11).
“Terdengar kabar bahwa Bakamla sedang berencana untuk membeli pesawat terbang. Sejumlah kapal dan senjata yang kemudian dengan alat peralatan itu Bakamla melakukan Pelanggaran HAM dengan melakukan penangkapan-penangkapan kapal,” ujarnya.
Soleman Ponto, menjelaskan seperti diketahui bahwa Bakamla dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 32/2014 tentang Kelautan. Dalam UU 32/2014 tentang Kelautan itu tidak diatur bahwa Bakamla adalah penyidik. Sebagaimana KUHAP mengatur bahwa yang memiliki kewenangan untuk menangkap adalah Penyidik.
“Namun walaupun Bakamla bukan Penyidik mereka terus melakukan penangkapan-penangkapan kapal.
Yang digunakan sebagai landasan hukum penangkapan-penangkapan kapal itu adalah pasal 63 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 32/2014 tentang Kelautan,” ujarnya.
Selengkapnya pasal 63 ayat (1) huruf b yang selengkapnya berbunyi: (1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 61 dan pasal 62 Badan Keamanan Laut berwenang: a. Melakukan pengejaran seketika. b. Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut.
Memang benar bahwa menurut pasal 63 ayat (1) huruf b UU 32/2014 tentang Kelautan, bahwa Bakamla berwenang “menangkap”. Namun pasal 63 ayat (1) huruf b UU 32/2014 tentang Kelautan ini juga mewajibkan bahwa hasil tangkapan Bakamla itu kemudian “harus diserahkan ke instansi yang berwenang untuk melakukan proses hukum lebih lanjut”.
“Artinya bukan Bakamla yang melakukan proses hukum. Sehingga hasil tangkapan Bakamla ini bisa saja jadi terkatung katung,” katanya.
Apa lagi menurutnya bila instansi-instansi yang berwenang untuk melakukan proses hukum itu tidak mau menerima kapal tangkapan Bakamla, maka nasib kapal dan awak kapal tangkapan Bakamla menjadi tidak jelas.
“Contohnya ketika Bakamla menangkap kapal Iran, MT Horse, tidak ada satupun instansi yang berwenang mau menerima kapal tangkapan itu, sehingga nasib MT Horse dan awak kapalnya menjadi terkatung-katung,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti itu Ponto mengingatkan maka “dikhawatirkan” setiap kapal dan awak kapal yang ditangkap oleh Bakamla tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
“Dengan adanya kondisi “dikhawatirkan” setiap kapal dan awak kapal yang ditangkap oleh Bakamla tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, maka perbuatan penangkapan oleh Bakamla adalah merupakan Pelanggaran HAM,” ujarnya.
Ia mengibgatkan, sebagaimana yang diatur pada angka 6 Pasal 1 UU 39/1999 tentang Pelanggaran HAM angka 6 pasal 1 UU 39/19999 menyatakan bahwa : “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) adalah Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau DIKHAWATIRKAN tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
“Oleh karena perbuatan Bakamla yaitu menangkap kapal “dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”, maka perbuatan penangkapan itu merupakan perbuatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” katanya.
Ia mengingatkan, pelanggaran HAM oleh Bakamla ini harus segera dihentikan. Semua pembelian alat peralatan Bakamla yang dapat digunakan untuk melakukan penangkapan kapal yang berakibat terjadinya pelanggaran HAM itu harus segera dihentikan.
“Bakamla harus segera ditransformasi menjadi Indonesia Sea and Coast Guard,sebagaimana perintah presiden pada bulan Februari 2020 yang lalu,” tegasnya. (DD)