13 December 2024
HomeBeritaTim PKK Salatiga Gagal Sikapi Kekerasan Perempuan dan Anak

Tim PKK Salatiga Gagal Sikapi Kekerasan Perempuan dan Anak

Jakarta-SETARA Institute gagal memahami isu kekerasan seksual terhadap perempuan. Kegagalan itu tampak dalam surat imbauan PPK Tim Penggerak Kota Salatiga No. 504/Skr/PKK Kota/XII/2021 tertanggal 20 Desember 2021.

Sikap Setara Institute itu disampaikan Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah dan Syera Anggreini Buntara (Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan SETARA Institute) melalui siaran pers pada Rabu (22/12/2021).

Surat imbauan PKK itu bersifat wajib berkaitan dengan 3 poin yaitu: 1) apabila di dalam rumah, tetap mengenakan pakaian yang sopan; 2) pemisahan kamar antara laki-laki dan perempuan (kecuali suami-istri); dan 3) apabila keluar rumah, diharapkan berpakaian yang menutup aurat (memakai pakaian tertutup dan berjilbab).

Untuk itu, SETARA Institute menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, SETARA mengapresiasi iktikad baik dari PKK Tim Penggerak Kota Salatiga terkait keseriusannya dalam menyikapi isu kekerasan perempuan dan anak di Kota Salatiga. Namun, penerbitan Surat Imbauan yang sifatnya mewajibkan tersebut bukanlah instrumen yang tepat untuk mengurangi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Tim Penggerak Kota Salatiga telah gagal memahami bagaimana kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi.

Bahwa melalui Surat Imbauan tersebut, PKK Tim Penggerak Salatiga seolah mengamini bahwa faktor utama penyebab kekerasan terhadap perempuan terletak pada perempuan, terutama berkaitan dengan cara berpakaian perempuan. Pandangan demikian adalah sebuah bentuk fallacy, mengingat banyak kasus yang terjadi justru menunjukkan betapa cara berpakaian bukan satu-satunya jaminan seseorang bisa terhindar dari kekerasan seksual yang terjadi, misalnya kasus rudapaksa 12 santriwati oleh guru pesantren di Bandung yang terjadi belakangan ini.

Kedua, bahwa Surat Imbauan tersebut luput dari adanya prinsip equality (kesetaraan) dan non-discrimination (non-diskriminasi) sebagai prinsip utama HAM. Ironis ketika yang diatur dalam Surat Imbauan hanya para perempuan yang diwajibkan untuk mengenakan hijab. Padahal, rentetan fakta yang terjadi membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan justru banyak dilakukan oleh laki-laki dengan tidak mengenal tempat, waktu, maupun cara berpakaian wanita.

Seharusnya pembuat Surat Imbauan tersebut tidak luput untuk turut menjadikan laki-laki sebagai sasaran dari kebijakan tersebut, misalnya dengan mengatur langkah-langkah apa saja yang harusnya dilakukan oleh laki-laki di Kota Salatiga dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terlebih, anggota PKK pada hakikatnya tidak hanya terbatas pada perempuan saja, melainkan laki-laki juga merupakan bagian dari anggota PKK.

Dengan demikian, seharusnya Surat Imbauan tersebut juga mengatur laki-laki sebagai sasaran dari keberlakuan aturan dalam rangka mewujudkan upaya yang lebih komprehensif untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Salatiga.

Ketiga, SETARA Institute menegaskan bahwa imbauan menggunakan hijab bagi muslimah yang bersifat wajib ini sudah tentu merupakan bentuk intoleransi sebab merestriksi kebebasan individu dalam berpakaian sesuai nurani, yang bertentangan dengan Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945. Penggunaan busana muslimah seyogyanya datang dari keyakinan dan nurani individu, bukan karena paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Keempat, SETARA Institute mendesak Tim Penggerak PKK Kota Salatiga untuk segera mencabut Surat Imbauan yang bersifat wajib ini sebagai upaya pemajuan pluralisme dan penghormatan hak fundamental setiap individu untuk bersikap, termasuk berpakaian, sesuai nurani.

Selain itu, SETARA juga mendorong Wali Kota Salatiga selaku Ketua Pembina Tim Penggerak PKK Kota Salatiga untuk melakukan langkah-langkah yang lebih bijak dan selektif dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Salatiga.(den)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU