Jakarta-Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) menyoroti pengelolaan sampah plastik yang salah dari para produsen yang keliru dalam menggunakan dana CSR-nya. Produsen seringkali beralasan akan bertanggung jawab terhadap sisa produk plastik mereka tanpa memikirkan siapa yang akan melaksanakannya di bawah atau hilir.
“Karena mereka bingung, para produsen itu akhirnya berusaha membangun infrastrukturnya sendiri dalam mengelola sampah-sampah plastik sisa produk mereka,” kata Ketua Yaksindo Nara Ahirullah.
Dia mencontohkan seperti apa yang dilakukan produsen galon sekali pakai yang menggunakan Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) untuk mengambil sisa produk galonnya ke rumah-rumah masyarakat. Menurutnya, aksi jemput bola yang dilakukan APSI itu namanya bukan mengambil sampah atau mengelola sampah tapi mengambil bahan baku daur ulang. “Langkah APSI itu tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari pengurangan sampah. Karena yang diambil mereka itu adalah bahan baku daur ulang bukan mengambil sampah. Karena, kalau sampah itu maknanya majemuk, dalam arti semua jenis sampah. Jadi, tidak hanya galon sekali pakai saja,” ucapnya.
Nara melihat apa yang dilakukan APSI yang hanya mengambil galon sekali pakai itu cuma kerjasama bisnis semata dan bukan niatnya untuk mengurangi sampah di masyarakat. “Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah dana yang digunakan produsen galon sekali pakai untuk membiayai APSI itu. Kalau misalnya itu dana dari CSR , itu tidak bisa dijadikan modal oleh APSI untuk membeli galon-galon sekali pakai dari masyarakat. Dana CSR itu harus digunakan untuk mengelola sampah mereka, bukan untuk jalur bisnis seperti yang dilakukan dengan APSI,” katanya .
Seharusnya, kata Nara, yang dilakukan oleh para produsen dalam mengelola sampah dari sisa produk mereka adalah memberikan insentif kepada para pengelola sampah. Jadi, menurutnya, yang dilakukan para produsen itu adalah metode insentif dan bukan bisnis. “Metodenya bukan jual beli tapi mengganti jasa pemilahan,” ucapnya.
Dia melihat salah satu penyebab ketidakberhasilan pengurangan sampah di Indonesia adalah karena kurangnya infrastuktur dasar untuk memilah sampah di rumah tangga. Dari kenyataan itu, Yaksindo mulai memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar di masyarakat. Hasilnya, masyarakat bisa menahan sampah mereka lebih lama di rumah-rumah mereka, sehingga tidak lagi membuang sampah setiap hari. Dengan demikian, petugas yang biasanya mengambil sampah ke rumah-rumah juga bisa beristirahat. Selain itu, kegiatan ini juga memberikan jedah waktu untuk bisa melakukan pemilahan sampah secara detail, sehingga harga sampah juga bisa meningkat. “Jadi, ketika kebutuhan infrastruktur dasar di rumah tangga itu terpenuhi, mereka juga akan berhenti membuang sampah setiap hari. Ini yang tengah kita suarakan ke semua kabupaten,” katanya.
Nara mengutarakan untuk bisa menahan sampah mereka di rumah dalam waktu lama, masyarakat diberikan mini komposter untuk tempat sampah-sampah organik. Mini komposter ini bisa menahan sampah organik hingga 30 hari di rumah-rumah masyarakat. Setelah 30 hati, kata Nara, sampah-sampah tersebut kemudian diambil oleh pengelola sampah untuk disempurnakan menjadi pupuk organik. Selain mini komposter, masyarakat juga diberikan trash bag untuk tempat sampah-sampah anorganik. Dalam kondisi normal, masyarakat bisa menahan sampah di dalam trash bag ini selama 7-10 hari.
“Makanya kita membangun suprastruktur di bawah untuk bisa menangkap dana-dana CSR dan dana pertanggungjawaban para produsen agar bisa digunakan lebih tepat sasaran. Dana-dana itu akan digunakan untuk memfasilitasi masyarakat agar mau mengelola sampah-sampah mereka dengan benar,” tuturnya.
Dia mencontohkan seperti galon sekali pakai yang dibuang masyarakat setelah menggunakannya. Menurutnya, dengan membuang galon sekali pakai itu, berarti para konsumen sudah membuang bahan baku daur ulang. “Dan yang perlu diketahui, saat masayarakt membei galon sekali pakai itu, mereka sudah membuang uang . Karena, ketika membeli air galon itu, produsennya juga sudah mengambil juga dana untuk pengelolaan sisa produknya dari para pembeli,” ungkapnya.
Makanya, kata Nara, di EPR (Extended Producer Responsibility) itu, produsen semestinya wajib mengembalikan dana yang sudah diambilnya dari para pembeli untuk mengelola sampah sisa produk mereka dalam bentuk CSR. “Nah, Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) merupakan penggerak atau suprastruktur yang akan membantu infrastruktur para pengelola sampah. Para produsen maupun pendaur ulang bisa memanfaatkan koperasi ini dalam melaksanakan bentuk EPR mereka,” kata Nara. (NL)