SHNet, Jakarta-Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono alias BHS, mengatakan, pembatasan truk sumbu 3 seyogyanya tidak diberlakukan pada saat libur Nataru 2025/2026. Menurutnya, hal itu disebabkan di akhir tahun itu seluruh kegiatan pembangunan biasanya mengejar untuk menyelesaikan tanggungan program-program yang menjadi target tahun 2025.
“Pada periode ini dibutuhkan percepatan pembangunan. Itu berarti arus logistik tidak boleh terhambat,” ujarnya.
Dia mengatakan tentu yang memiliki kewenangan untuk mengatur lalu lintas logistik agar tidak terhambat adalah pemerintah. “Karenanya, yang harus dilakukan pemerintah agar tidak menghambat arus logistik itu adalah mengatur jalur distribusinya, bukan membatasinya,” ucapnya.
Yang jelas, lanjutnya, arus logistik itu tidak bisa dibatasi operasionalnya. Menurutnya, pemerintah harus bisa mencari solusi agar arus logistik itu tetap berjalan.
Misalnya, dia menyarankan agar arus logistik saat Nataru nanti diarahkan melalui jalur utara Jawa. Karena, menurutnya, jalur ini terintegrasi dengan pelabuhan-pelabuhan laut besar dan kawasan-kawasan industri yang berada di Jawa bagian utara. Selain itu, lanjutnya, mayoritas tujuan distribusi logistik itu menuju ke wilayah kepulauan di utara Jawa atau bahkan ke luar negeri seperti Singapura dan lainnya. Apalagi untuk angkutan laut, Indonesia itu pengumpan atau feeder untuk transshipment di Singapura sebagai hub. “Jadi, itu tidak boleh terhambat,” katanya.
Sementara itu, menurutnya, angkutan pribadi dan publik massal dapat diarahkan menggunakan jalur tengah, jalur tol, dan jalur Selatan Jawa.
Dia mengatakan jika logistik itu terhambat, maka akan muncul risiko demurrage, yaitu penalti atau denda akibat keterlambatan pengiriman barang yang dari Indonesia. Menurutnya, ini tentu akan mengakibatkan harga logistik tidak bisa bersaing dengan negara lain sehingga menjadi tidak kompetitif dibanding negara lain.
“Karena itu, truk atau angkutan logistik sumbu 3 itu justru membantu percepatan distribusi logistik ke daerah dan pelabuhan untuk menuju negara lain. Kapasitasnya lebih besar, lebih efisien, dan lebih ekonomis, tetapi jumlah truknya tidak terlalu banyak. Jadi, kebijakan pembatasan truk sumbu 3 itu harus dipertimbangkan pada saat Nataru,” tukasnya.
Apalagi, lanjutnya, pemerintah saat ini sedang getol-getolnnya berusaha keras mendorong pertumbuhan ekonomi. Di mana, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa maupun Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6–8 persen. Sementara, target ekonomi yang tumbuh pesat itu hanya bisa tercapai dengan arus logistik yang berjalan terus. “Pandangan ini sejalan dengan yang disampaikan Menkeu Pak Purbaya maupun arahan Presiden Prabowo bahwa logistik tidak boleh menjadi terhambat, karena logistik adalah pemicu utama pertumbuhan ekonomi,” tandasnya.
Tidak hanya itu, menurut BHS, kalau truk logistik ini tidak bisa jalan, itu akan mengakibatkan hambatan terhadap logistik yang bisa menyebabkan terjadinya kelangkaan barang. Kalau langka, katanya, tentu harga logistik akan menjadi mahal dan itu akan memicu inflasi yang tinggi dan bisa merugikan masyarakat.
Satu-satunya jalan, kata Ketua Dewan Pembina Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini, Kementerian Perhubungan bersama Korlantas Polri harus bisa mengatur jalur kendaraan logistik. “Kemenhub dan Korlantas harus memikirkan agar kendaraan pribadi dan publik massal bus tetap lancar, dan logistik tetap bergerak tanpa mengganggu. Jadi, yang dibutuhkan itu adalah pengaturan jalur, bukan pembatasan,” tegasnya. (cls)

