Oleh: Satria Yudhia Wijaya
Beberapa pekan terakhir, masyarakat di Jabodetabek dan beberapa kota besar di Indonesia, kembali dihadapkan pada fenomena yang sama: kelangkaan BBM di SPBU swasta, disisi lain ada informasi berbeda yang diberikan pejabat publik sehingga menimbulkan kegaduhan yang lain. Pengumuman “BBM habis sementara”, migrasi pengendara ke SPBU Pertamina, hingga riuhnya netizen di media sosial memberikan komentar menjadi hal yang menarik.
Di media sosial, berbagai versi kebenaran bermunculan: ada yang menyalahkan pemerintah, ada yang menuding kebijakan subsidi, dan tak sedikit yang beranggapan bahwa SPBU swasta sengaja menahan pasokan demi keuntungan. Tapi, di antara berbagai narasi itu, kita jarang bertanya: apakah kelangkaan ini benar-benar “nyata”?
Di sinilah pemikiran Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19, menjadi relevan. Nietzsche pernah mengatakan bahwa “kebenaran adalah sejenis kekeliruan yang telah dilupakan sebagai kekeliruan.” Dengan kata lain, apa yang kita sebut “kebenaran” sering kali hanyalah hasil kesepakatan sosial yang kita anggap mutlak.
Fakta Lapangan: Kelangkaan BBM di SPBU Swasta dan Isu Fuel Base Pertamina
Di berbagai SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan VIVO di Jakarta dan kota-kota besar lain, jenis bensin non-subsidi dengan RON menengah hingga tinggi (misalnya Shell Super RON-92, BP Ultimate, Shell V-Power RON-95 dan RON-98) mulai mengalami kelangkaan sejak akhir Agustus hingga September 2025. Banyak SPBU swasta mengaku stok bensin premium mereka habis, sementara hanya varian diesel atau bensin non-premium yang masih bisa dijual.
Salah satu penyebab utama kelangkaan ini adalah perubahan regulasi impor BBM. Izin impor untuk SPBU swasta yang sebelumnya berlaku satu tahun penuh, kini dibatasi menjadi per enam bulan dengan evaluasi triwulanan. Skema baru ini menyulitkan perencanaan pasokan dan logistik. Walaupun pemerintah telah menambah kuota impor sebesar 10% dibanding tahun sebelumnya, kuota tersebut dilaporkan sudah habis sebelum akhir tahun dan belum terserap secara efektif oleh pihak swasta.
Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah melalui Pertamina menawarkan solusi berupa “fuel base” — yaitu bahan bakar murni yang belum dicampur aditif, sehingga dapat diolah sendiri oleh SPBU swasta sesuai standar mereka. Namun, kebijakan ini menghadapi kendala teknis dan administratif. Beberapa SPBU swasta menolak karena fuel base yang ditawarkan belum memenuhi spesifikasi yang mereka butuhkan (misalnya kandungan etanol dan dokumen sertifikasi asal yang belum lengkap). Etanol atau bioetanol atau ethanol anhydrous berfungsi menurunkan emisi gas buang, meningkatkan oktan BBM, dan mengurangi ketergantungan pada minyak fosil.
Di sisi lain, etanol bersifat higroskopis yaitu mampu menyerap air dari kelembaban di udara sehingga perlu ruang penyimpanan khusus, termasuk ethanol tidak ramah kepada plastik dan karet. Beberapa bagian dari mesin mobil ada yang terbuat dari plastik dan karet. Banyak narasi yang dibangun dan diyakini kebenarannya tentang efek dari ethanol terhadap performa mesin di media sosial, sedangkan narasi Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga tentang dampak ethanol tidak terlalu diyakini masyarakat. Akibatnya, meskipun Pertamina menyatakan pasokan tersedia, SPBU swasta belum mampu menyalurkan BBM kepada konsumen.
Kondisi inilah yang menimbulkan kesan di mata publik bahwa BBM langka, padahal masalahnya bukan pada ketersediaan stok nasional, melainkan pada perbedaan model bisnis, regulasi, dan spesifikasi produk antara Pertamina dan SPBU swasta.
Kebenaran Ekonomi yang Dikonstruksi. Dalam konteks ini, pernyataan resmi dari berbagai pihak menjadi menarik untuk dikaji. Pemerintah menegaskan bahwa “stok BBM aman”, sementara SPBU swasta menyebut “pasokan tidak sesuai kesepakatan” Dua narasi ini sama-sama berlandaskan data, tetapi berasal dari perspektif berbeda. Nietzsche akan mengatakan: setiap data lahir dari cara pandang tertentu — tidak ada kebenaran yang netral. “Kelangkaan” yang dirasakan masyarakat bisa jadi bukan fakta obyektif, melainkan produk dari konstruksi sosial dan ekonomi yang didorong oleh kepentingan bisnis maupun kebijakan publik.
Perspektivisme Nietzsche: Banyak Versi Kebenaran. Nietzsche memperkenalkan konsep perspektivisme, bahwa tidak ada satu kebenaran tunggal, hanya beragam sudut pandang yang sah dalam konteksnya masing-masing. Dalam kasus BBM: Pemerintah berkata: “Pasokan aman, hanya distribusi di SPBU swasta yang belum lancar.” SPBU swasta beralasan: “Harga impor dan fuel base tidak sesuai spesifikasi, kami menunggu kejelasan.” Konsumen menilai: “BBM langka!”
Semua pihak memiliki “kebenaran” sendiri. Namun, jika kita meminjam kacamata Nietzsche, tidak satu pun dari mereka memiliki kebenaran mutlak.
Narasi, Kekuasaan, dan Kepentingan. Dalam masyarakat modern, kebenaran sering menjadi alat kekuasaan. Siapa yang menguasai narasi, dialah yang menentukan persepsi publik. Dalam hal ini, pemerintah dan korporasi sama-sama memainkan peran: pemerintah ingin menjaga stabilitas sosial, sementara pelaku usaha ingin mempertahankan keuntungan. Di tengah tarik-menarik ini, masyarakat akhirnya mempercayai kebenaran yang paling sering diulang, bukan yang paling akurat.
Membedakan Fakta dan Interpretasi. Nietzsche mengingatkan kita untuk tidak mempercayai kebenaran secara buta. Dalam kasus kelangkaan BBM di SPBU swasta, “kelangkaan” mungkin bukan semata masalah pasokan, tetapi hasil dari konstruksi kebijakan, strategi bisnis, dan persepsi publik. Kita belajar bahwa kebenaran dalam ekonomi, sebagaimana dalam filsafat, tidak selalu tentang fakta, tetapi tentang siapa yang paling mampu mendefinisikan realitas. Dan sebagaimana Nietzsche katakan, mungkin kita semua sedang hidup dalam “kekeliruan yang disepakati bersama.”
Bagaimana dengan kasus salah baca data antara satu menteri dengan menteri lainnya?Apakah ini juga bagian dari kekeliruan yang disepakati bersama? Kita nantikan pekan ini bagaimana klarifikasi dari masing-masing pihak, dan dengan harapan tentu tidak membuat suasana sosial ekonomi masyarakat menjadi gaduh….semoga.
Penulis, Satria Yudhia Wijaya adalah Mahasiswa Program S3 Manajemen Berkelanjutan Perbanas.