Jakarta-Deklarasi Partai Nasdem untuk mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon prosedur dianggap sebagai manuver untuk menggagalkan proses hukum di KPK.
Untuk itu, kelanjutan kasus hukum sangat tergantung kepada karakter dari para pimpinan di KPK.
Demikian Koordinator TPDI, Petrus Selestinus di Jakarta, Rabu (5/10/2022). “Kalau benar pemberitaan media bahwa ada upaya Pak Firli percepat proses hukum, itu berarti Pak Firli cerdas intuk hindari potensi intervensi politik, manakala Anies resmi jadi Capres 2024, sekaligus jadi tersangka korupsi, karena pekerjaan mengintervensi wewenang KPK untuk menghalangi tugas KPK, juga termasuk kejahatan korupsi yang bisa dipidana,” jelas Petrus.
Menurutnya, langkah Firli Bahuri dan koleganya sangat tepat dan cerdas, artinya dalam kasus korupsi Formula E, KPK harus berpacu dengan waktu dengan memperhatikan faktor politik dan psikologis yang timbul dan mempengaruhi jalannya proses peradilan, terutama manuver politik Partai Nasdem mempercepat deklarasi Anies di tengah proses penyelidikan Formula E, yang berpotensi menjadi kekuatan untuk mengintervensi KPK.
Sebagai pimpinan KPK, jelas Petrus, keinginan Firli Bahuri mempercepat penyelidikan dugaan korupsi Formula E, adalah untuk menghindari intervensi dari kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif atau Partai Politik sesuai amanat UU KPK.
Karen itu, jelas Petrus, langkah Firli sudah tepat dan sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, murah dan sederhana, sehingga bagi siapapun dia yang bermanuver untuk merintangi KPK hal itu menjadi kejahatan korupsi baru yang dipidana dengan pasal 21 UU KPK.
Manuver Nasdem
Dengan demikian, yang melakukan manuver adalah Partai Nasdem bukan Firli Bahuri ddan kawan-kawan. Seharusnya, Nasdem patut atau dapat menduga bahwa Anies Baswedan bisa saja ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi Formula E, sehingga hal itu menjadi halangan bagi Partai Politik manapun untuk mencapreskan Anies Baswedan pada Pilpres 2024.
Dia menegaskan, langkah pimpinan KPK mempercepat proses peyidikan kasus dugaan korupsi Formula E, tidak dapat dikategorikan sebagai “manuver Firli menjegal Anies”, karena ini adalah proses hukum yang secara filosofis bertujuan melahirkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN.
“Semua pihak harus memahami bahwa fungsi penyelidikan itu untuk mencari apakah peristiwa yang diselidiki itu sebagai tindak pidana atau bukan dan jika peristiwa itu kualifikasinya tindak pidana, maka Penyidik mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti-bukti itulah Penyidik menetapkan tersangkanya,” jelas Petrus.
Untuk itu, katanya, ini adalah persoalan prosedural bukan “manuver” Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan”.
Jika pimpinan KPK mengaitkan event pencapresan Anies Baswedan pada 2024, kata Petrus, maka itupun sah-sah saja, karena ada kekhawatiran munculnya potensi adanya intervensi politik untuk menghambat proses hukum, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga apa yang dilakukan Firli Bahuri dkk., bukan mauver, melainkan langkah yang prosedural dan strategis sesuai wewenang KPK menurut UU.
Menurut Petrus, karena intervensi politik dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar, apalagi yang menyangkut pejabat publik pada jabatan politik, hal itu tak terhindarkan bahkan sudah diantisipasi UU KPK soal hambatan penanganan kasus korupsi karena intervensi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Partai Politik).
“Pertanyaannya adalah apakah KPK cukup kuat, dalam menghadapi potensi intervensi politik, ketika menghadapi kasus korupsi Formula E, yang menghadapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, maka jawabannya adalah hal itu tergantung pada karakter kepemimpinan yang kuat secara kolektif kolegial dari Firli Bahuri dkk. dalam menjaga independensi KPK,” kata Petrus.(den)

