Oleh: Syarif Ali
Penulis dan Pendidik
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Reni Astuti mengatakan, revisi Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) membuka kemungkinan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Kalau memang secara kajian, baik secara yuridis, sosiologis, maupun kemampuan fiskal negara memungkinkan, bukan tidak mungkin PPPK secara bertahap bisa diangkat menjadi PNS,” kata Reni, dalam acara diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Pernyataan Reni Astuti harus ditanggapi secara hati-hati, jangan sampai kepegawaian kembali terjerembab ke dalam lubang yang sama. Apa dampak PPPK diangkat menjadi PNS?
Dari tenaga honorer ke PPPK
Kepegawaian kita pernah didera oleh penyakit berkepanjangan dengan munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari tenaga honorer.
PP ini menjadi awal kisruh birokrasi Indonesia. Selain bertentangan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 karena melanggar asas profesinonalitas. PP ini tidak selaras dengan PP Nomor 98 Tahun 2000 sebagaimana diubah dengan PP 11 Tahun 2002 yang menyatakan pengisian formasi yang lowong untuk mendapatkan PNS yang kompeten.
Bagaimana tidak, banyak tenaga honorer yang diangkat tidak fasih berbahasa Indonesia, tidak mampu menuliskan nama, dan berumur di atas 50 tahun sedangkan batas usia pensiun pada masa itu 56 tahun. Belum lagi dokumen pengangkatan tenaga honorer banyak asli tapi palsu.
Berlarut-larut penyelesaian tenaga honorer memunculkan honorer katagori 1 dan 2. Bukan itu saja, ada modus kepala daerah dalam merekrut pegawai honorer untuk memenuhi kepentingan politik. Setelah diangkat menjadi PNS, banyak mantan honorer meminta pindah ke kota atau ke Pulau Jawa.
Dilema PPPK
Pengangkatan PPPK menjadi salah satu cara mengatasi permasalahan pegawai honorer karena itu UU Nomor 5 Tahun 2014 dan UU Nomor 20 Tahun 2023 mengamanatkan eksistensi PPPK dengan memiliki hak yang sama dengan PNS, meliputi gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi, kecuali uang pensiun.
Namun pengangkatan PPPK tidak selesai begitu saja, muncul PPPK paruh waktu yang menyiratkan kebijakan PPPK tidak beda dengan kasus honorer. Keputusan Menteri PANRB No. 347, 348, 349 Tahun 2024 dan No. 15 dan 16 Tahun 2025 memuat PPPK Paruh Waktu dapat diusulkan untuk jabatan Guru; Tenaga Kesehatan; dan Tenaga Teknis lainnya yang terdiri dari jabatan Pengelola Umum Operasional, Operator Layanan Operasional, Pengelola Layanan Operasional, dan Penata Layanan Operasional.
Mengikuti pola tenaga honorer, kini PPPK Paruh Waktu mulai turun ke jalan seperti puluhan tenaga kesehatan (nakes) Puskesmas mendatangi kantor Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana (Dinkes KB) Kabupaten Sampang, Senin (13/10/2025). Mereka menggelar aksi demonstrasi untuk menuntut kejelasan proses pengangkatan PPPK.
Merujuk kepada Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengadaan ASN, praktik ini tidak sejalan dengan prinsip kompetitif dalam pelaksanaan pengadaan ASN. Alih-alih terjadi seleksi yang ketat, pengadaan PPPK T.A. 2024 cenderung mengarah kepada formalitas pendaftaran ulang tenaga honorer menjadi ASN (Fahreza, 14/07/2025)
Dampak PPPK menjadi PNS
Pengangkatan PPPK yang berjumlah 1.724.796 menjadi PNS berpotensi menggerus APBN terutama pembayaran uang pensiun. Saat ini pemerintah berencana mengubah skema uang pensiun pada 2025. Perubahan skema ini dilakukan untuk menyelamatkan APBN yang telah terlalu terbebani oleh pembayaran uang pensiun.
Rencana perombakan sistem uang pensiun untuk PNS terungkap dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2025. Dalam dokumen itu disebutkan tren penuaan populasi yang dihadapi Indonesia dikhawatirkan akan membuat beban uang pensiun PNS semakin tinggi.
Sejak 2022, Kemenkeu telah memperingatkan bahaya dari banyaknya uang negara yang tersedot untuk membayar pensiun ASN. Hingga akhir 2021 saja beban yang ditanggung negara untuk membiayai uang pensiun ASN mencapai Rp 2.800 triliun.
Jumlah itu terdiri dari ASN pemerintah pusat sebesar Rp 900 triliun dan Rp 1.900 triliun pemerintah daerah. Pembayaran manfaat pensiun APBN diperuntukkan untuk pensiunan pusat maupun daerah, termasuk janda/duda maupun anak-anak yang masih sekolah. Alhasil, dana pensiunan pun meningkat setiap tahunnya.
Mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut bahwa dengan skema dana pensiunan yang saat ini diberlakukan, akan menyebabkan risiko jangka panjang. Sebab, dana pensiun akan dibayarkan secara terus menerus bahkan hingga pegawai meninggal.
“Ini tidak kesimetrian ini memang akan menimbulkan suatu resiko dalam jangka yang sangat panjang. Apalagi nanti kalau kita lihat jumlah pensiunan yang akan sangat meningkat,” kata Sri Mulyani.
Untuk menjadi PNS, kita harus berani menerapkan The fittest will survive. Pengadaan PNS sudah memiliki mekanisme seleksi berbasis kompetensi. Birokrasi perlu menghindari wacana politis pengangkatan PPPK menjadi PNS dalam revisi RUU ASN mendatang.(*)