SHNet, Jakarta-Pakar hidrogeologi yang juga Wakil Dekan Bidang Sumberdaya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Dasapta Erwin Irawan menjelaskan bahwa sebelum menentukan sumber air bakunya, perusahaan AMDK keluarkan biaya yang yang mahal, karena melibatkan banyak ilmu. Selain itu kata Ketua Pakar Ahli Air Tanah Indonesia Irwan Iskandar Phd, untuk mengambil air bakunya dari akuifer itu, industri AMDK itu harus mengantongi izin SIPA dan ada Nilai Perolehan Air yang negara atau pemerintah dapatkan.
Terkait sumber air Dasapta Menjelaskan, air pegunungan bisa merupakan air permukaan dan air tanah. Air Tanah sendiri berada dalam lapisan dangkal yang biasa dipakai penduduk dan dilapisan dalam di bawah bebatuan yang banyak dipakai industri AMDK, karena lebih kaya mineral dan aman dari kontaminan.
Air permukaan yang muncul di pegunungan merupakan sumber air dari sungai. Jika air ini digunakan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), maka sungai berpotensi mengering. Itulah juga alasan lain industri AMDK yang menggunakan air dalam jumlah besar, tidak menggunakan mata air yang ada di pegunungan.
Pakar hidrogeologi yang juga Wakil Dekan Bidang Sumberdaya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Dasapta Erwin Irwan, menuturkan bahwa air yang berasal dari pegunungan berawal dari air hujan yang jatuh di wilayah pegunungan. Air hujan kemudian meresap dan terinfiltrasi ke dalam tanah dan masuk ke lapisan akuifer dengan porositas dan permeabilitas tinggi. Kecepatan infiltrasi air hujan ke dalam tanah itu bervariasi dan sangat lama. Sedalam satu sentimeter per menit saja itu sudah hebat infiltrasinya.
Biasanya, para industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) itu mengambil sumber air bakunya dari lapisan akuifer ini. “Dan untuk mengambilnya ya memang harus dibor dulu,” katanya.
Dan menurutnya, industri AMDK tertentu juga tidak sembarangan hanya mengambil saja air bakunya dari sumber akuifer. Tapi, mereka juga perlu mengetahui sumber resapan dari sumur-sumur bornya itu ada di mana. Hal itu bertujuan untuk dijadikan lahan konservasi agar debit airnya tetap terjaga. “Untuk mengetahui elevasi daerah resapannya dari akuifer itu ada di mana, biasanya dilakukan melalui analisis hidrogeologi dengan menggunakan teknologi isotop,” tuturnya.
Jadi, ada biaya yang harus dikeluarkan industri AMDK itu sebelum mengambil airnya, dan itu jumlahnya tidak kecil. “Itu mahal karena melibatkan banyak ilmu,” ucapnya.
Selanjutnya, katanya, jika air tanah itu terpotong oleh topografi maka airnya akan muncul ke permukaaan sebagai mata air, yang menjadi hulu sungai. Menurutnya, karena sumber dari mata air pegunungan inilah yang membuat air sungai tidak pernah kering meskipun lama tidak turun hujan. “Nah, mata air juga biasanya sering dipakai masyarakat yang tinggal di dekat pegunungan. Tapi, ini kan mata air terbuka yang sangat rentan terhadap kontaminasi. Makanya industry-industri tertentu biasanya tidak menggunakannya sebagai sumber air baku mereka,” tukasnya.
Pakar hidrologi ITB lainnya yang juga Ketua Perkumpulan Ahli Air Indonesia (PAAI), Irwan Iskandar, menambahkan untuk mengambil air bakunya dari akuifer itu, industri AMDK itu ada izin dan harganya. “Ada NPA atau Nilai Perolehan Air yang negara atau pemerintah dapat,” ungkapnya.
Selain itu, katanya, penggunaan air tanah pegunungan oleh industri AMDK itu juga harus memiliki izin yang bertujuan untuk mengendalikan dan menjaga konservasi air tanahnya. Permohonan izin diajukan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi dengan melampirkan data seperti identitas pemohon, lokasi dan koordinat titik pengeboran, serta jangka waktu penggunaan.
“Biasanya pada saat konstruksi sumur, diawasi oleh Badan Geologi. Diawasi konstruksinya, dan pada saat desain sumur dilengkapi lagi dengan kedalaman sumur, analisis kimia air, dan analisis uji pompanya,” ujarnya.
Dia menuturkan Badan Geologi tidak mengizinkan jika industri AMDK itu mengambil sumber air bakunya dari air tanah dangkal. Begitu juga dengan uji pompa, itu harus dilakukan selama 72 jam. Kemudian dilihat hasil pemompaannya apakah setelah dipompa itu airnya balik atau tidak. “Itu semua dianalisis. Jadi, tidak seenaknya begitu saja industri AMDK itu bisa menggunakan air tanah pegunungan itu,” tukasnya.
Tidak hanya itu, menurutnya, setelah beroperasi, sumur air yang digunakan industri AMDK itu juga tetap diperiksa Badan Geologi melalui sumur pantau. Kalau data pemantauan menunjukkan setiap tahun debit airnya, dia menuturkan izin untuk pemakaian air tanah pegunungannya akan dikurangi atau bahkan bisa ditutup. “Jadi, Badan Geologi itu juga punya instrumen untuk pengawasan. Jadi, setiap industri AMDK itu ada sumur pantaunya,” ucapnya.
Termasuk debit air yang bisa diambil di lokasi sumur airnya, menurut Irwan, itu juga ada aturannya. Artinya, lanjutnya, jika di lokasi itu sudah banyak yang mengambil airnya, maka industri AMDK itu juga tidak diizinkan untuk mengambil air terlalu banyak. “Jadi, ada jatahnya yang sudah dihitung Badan Geologi,” katanya.
Dia memastikan terhadap industri-industri AMDK besar, Badan Geologi selalu mencatat berapa banyak produksi airnya per hari serta berapa banyak yang terjual dalam sehari. “Dalam hal ini, Badan Geologi bisa memantau bahwa industri AMDK itu memang benar-benar menggunakan air tanah pegunungan itu sesuai yang dijatah kepadanya per hari,” tuturnya. (cls)


