SHNet, Jakarta-Kebijakan pelarangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah 1 liter Gubernur Bali yang diatur melalui Surat Edaran (SE) perlu landasan hukum yang lebih kuat dan kajian yang matang sebelum diimplementasikan secara penuh. Jika itu tidak dilakukan, kebijakan tersebut akan berdampak luas terhadap industri dan masyarakat di Bali.
Para pengamat hukum dari berbagai universitas di Indonesia menekankan SE Gubernur Bali mengenai pelarangan AMDK di bawah 1 liter itu harus merujuk pada payung hukum tertinggi tertinggi di Indonesia seperti Undang-undang atau Peraturan Daerah (Perda). Selain itu, kebijakan tersebut juga tidak boleh dijalankan secara sepihak. Apalagi mereka menilai kedudukan SE itu secara hukum lemah karena bukan merupakan hierarki peraturan perundang-undangan tertinggi.
Karenanya, mereka menyarankan agar SE Gubernur Bali yang salah satu klausulnya melarang AMDK di bawah 1 liter ini dikaji ulang secara komprehensif, termasuk dampak ekonomi, sosial, dan efektivitas dalam mengurangi sampah plastik secara keseluruhan. Menurut mereka, kebijakan ini juga perlu dikaji ulang karena pelarangan hanya menargetkan AMDK ukuran kecil.
Pakar Hukum dari Universitas Udayana (Unud), Arya Utama, berpendapat bahwa sebetulnya Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah ada pada periode sebelumnya itu sudah cukup untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan sampah di Bali dan tidak perlu lagi ada kebijakan baru seperti SE Gubernur. Menurutnya, kebijakan itu tidak perlu banyak-banyak dikeluarkan kalau tidak ada pelaksanaannya. “Kalaupun mau mengeluarkan Surat Edaran, itu cukup untuk mengingatkan saja Pergub yang sudah ada. Tidak usah menambah-nambahi aturannya. Karena Pergub itu saja sudah cukup bagus, itu saja yang dieksekusi,” ucapnya.
Sebelumnya, Bali memang sudah memiliki beberapa peraturan terkait sampah. Di antaranya, ada Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah; Perda Provinsi Bali No.1 Tahun 2017 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pergub Bali No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai; Pergub Bali No.47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber; Pergub Bali No.24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut; Keputusan Gubernur Bali No.381 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
“Jadi, untuk apa lagi ada SE baru. Apalagi dalam salah satu klausulnya ada poin yang sama sekali tidak diatur dalam Perda dan Pergub sebagai payung hukum yang lebih tinggi. Di mana, dalam SE itu diselipkan satu poin yang hanya melarang AMDK di bawah 1 liter,” katanya.
Dia menegaskan tidak boleh ada kebijakan yang diskriminatif dalam penanganan permasalahan sampah di Bali. Menurutnya, semua jenis sampah itu harus diperlakukan sama. “Pergub kan juga sebenarnya sudah mengaturnya dan malah tidak tebang pilih. Pergub mengatur semua jenis sampah plastik dan bukan hanya plastik air minum kemasan sekali pakai yang kecil saja,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi. Dia mengatakan langkah Gubernur Bali untuk membuat daerahnya bersih itu memang perlu diapresiasi. Tetapi, lanjutnya, niat baik itu tidak bisa serta merta dilakukan dengan cara-cara yang tidak prosedural dengan tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang dan Perda. Menurutnya, kebijakan lingkungan daerah seperti ini bisa mewujudkan ketidakpastian hukum. “Bisa dipastikan kebijakan lingkungan seperti itu tidak akan efektif kalau tetap dipaksakan pelaksanaannya,” katanya.
Apalagi, menurut dia, SE itu secara hukum tidak punya daya ikat dan tidak bisa memaksa masyarakat harus tunduk menjalankannya. “Yang namanya SE itu hanya mengikat secara moral saja, tidak punya implikasi hukum. Apalagi kalau klausulnya tidak sesuai dengan peraturan yang di atasnya. Itu jelas batal demi hukum,” ucapnya.
Pengamat hukum Universitas Dharma Andalas, Desi Sommalia Gustina menegaskan dalam sistem hukum Indonesia, hierarki peraturan perundang-undangan itu jelas-jelas telah diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.13 Tahun 2022). Urutannya adalah UUD 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Perda. Adapun SE, menurutnya, tidak secara eksplisit diatur dalam hierarki tersebut. Lanjutnya, SE hanya bentuk instruksi administratif internal yang ditujukan untuk memberikan penjelasan atau pedoman teknis, dan tidak boleh memuat norma hukum baru. “Jadi, SE tidak bisa menjadi dasar penjatuhan sanksi hukum, apalagi melampaui peraturan yang lebih tinggi. Dalam prinsip hukum administrasi negara, SE tidak memiliki kekuatan mengikat ke luar,” tuturnya.
Penegasan yang sama disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila), Profesor Rudy Lukman dan Budiono. Kedua pengamat hukum ini juga mengatakan SE Gubernur Bali itu bukan sebuah produk hukum sehingga tidak bisa digunakan untuk memberikan sanksi kepada siapapun.
Profesor Rudi menegaskan SE tidak masuk dalam jajaran peraturan perundang-undangan dan hanya merupakan petunjuk teknis internal dalam menjelaskan dan memaknai peraturan yang ada.
Budiono juga menegaskan bahwa SE tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi bagi pihak eksternal. “Surat Edaran bukan produk hukum. SE itu sifatnya hanya untuk tertib administrasi dan untuk mengingatkan serta mengikat hanya bersifat internal dan tidak ada sanksi,” katanya.
Pengamat hukum lainnya dari Universitas Esa Unggul, Profesor Juanda, juga menjelaskan SE Gubernur Bali itu tidak bersifat mengikat. Alasannya, menurutnya, SE itu tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat apalagi pelaku usaha. “Oleh karena SE tidak wajib ditaati karena sangat lemah jika tidak ada cantolan hukum yang lebih tinggi,” cetusnya.
Jadi, SE Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang salah satu klausulnya melarang AMDK di bawah 1 liter ini bisa dipastikan tidak akan dapat diberlakukan secara efektif dan adil.

