19 November 2025
HomeBeritaPenyelidikan KPK Proyek KCJB-Whoosh Hanya Sasar "Kelas Teri"

Penyelidikan KPK Proyek KCJB-Whoosh Hanya Sasar “Kelas Teri”

Oleh: Petrus Selestinus

Pernyataan Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (10/11/2025), bahwa KPK, saat ini tengah menyelidiki Pengadaan Lahan untuk proyek KCJB-WHOOSH dan yang menjadi materi penyelidikan adalah “ada tanah milik negara yang dijual kembali ke negara dalam proyek KCJB atau WHOOSH di lingkungan PT Kereta Cepat China (KCIC)”.

Dengan memfokuskan penyelidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi, proyek KCJB-WHOOSH pada Pengadaan lahan yang tidak sesuai dengan mekanisme UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, maka KPK dipastikan hanya akan menyasar pelaku kelas teri, yaitu Panitia Pengadaan Tanah seperti Para Kepala Kantor BPN Kabupaten, Kota, Camat-Camat dan pejabat terkait lainnya.

Sedangkan penentu kebijakan pada lapisan atas, seperti Jokowi dkk. dipastikan tidak mungkin menjadi fokus penyelidikan KPK, karena dengan penyelidikan yang hanya fokus pada proses pengadaan tanah, maka tujuannya seperti yang dikatakan dalam UU KPK yaitu bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya, karena ada intervensi kekuasaan.

Padahal orang pertama yang harus dipanggil adalah Jokowi, karena selaku Presiden ketika itu, Jokowi mengeluarkan kebijakan membuat PERPRES No. 107 Tahun 2015, kemudian berubah lagi dengan PERPRES No. 93 Tahun 2021 yang mengubah PERPRES No. 107 Tahun 2015, Tentang Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH, yang merupakan alat untuk terjadinya tindak pidana korupsi dalam pembangunan proyek KCJB-WHOOSH.

Berdasarkan PERPRES No. 107 Tahun 2015, kemudian berubah lagi dengan PERPRES No. 93 Tahun 2021, maka lapis paling atas yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korupsi antara lain mantan Presiden RI Jokowi, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno, mantan Menteri Pratikno, Mantan Menteri Sri Mulyani, mantan Menteri Budi Karya, mantan Menteri Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Erick Tohir, mantan Menteri Basuki Hadimuljono, dkk.

Publik Harus Kawal

KPK perlu mengawali penyelidikannya dengan menduga keras bahwa kebijakan pembangunan Proyek Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH, bersumber dari penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Jokowi selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut pasal 4 UUD 45. Karena dengan kekuasaan pemerintahan tanpa pembatasan oleh UU inilah, merupakan cek kosong yang dapat disalahgunakan kapan saja dapat diisi, dengan menerbitkan PERPRES-PERPRES yang bertentangan dengan UU terkait.

Ini jelas sangat merugikan keuangan negara (APBN), bahkan saat ini APBN menjadi taruhan pro dan kontra dalam ketidakpastian, tergantung selera Jokowi pada waktu itu dan sekarang tergantung selera Presiden Prabowo Subianto menindaklanjutinya. Ini juga menunjukan bahwa proyek KCJB-WHOOSH ini, tidak diatur di dalam UU APBN, sehingga, sehingga setiap saat bisa diubah sesuai kehendak Presiden.

Pelemahan terhadap KPK, mengikuti lemahnya Polri dan Kejaksaan yang selama ini gagal memberantas Tindak Pidana Korupsi, karena menurut Para Pembentuk UU No. 30 Tahun 2002, Tentang KPK, disebutkan bahwa pola penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan selama ini, antara lain berupa (a). penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; (b). penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; (c). hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, dll.

Publik harus kawal KPK untuk buka penyelidikan secara transparan dan akuntabel, dalam penyelidikan dugaan korupsi proyek KCJB-WHOOSH ini, karena selain posisi KPK telah diperlemah dengan merevisi UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, akan tetapi Presiden Jokowi juga melalui beberapa PP dan PERPRES-nya telah mengamputasi kewenangan POLRI dan Kejaksaan ketika hendak menangani kasus dugaan korupsi dalam PSN melalui PP dan PERPRES.

Pola penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi di kepolisian dan kejaksaan, seperti ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya dan hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, saat ini sudah menjadi pola yang dianut oleh KPK karena posisi KPK berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.

Permufakatan

Terdapat fakta di mana Presiden Jokowi, mengejar target demi mencapai ambisinya dalam proyek PSN yaitu perilaku menyimpang atau penyalahgunaan wewenang pejabat-pejabat yang menjadi kroninya, lewat PERPRES dan/atau PP, yang dalam Proyek KCJB-WHOOSH, lewat PERPRES No. 107 Tahun 2015, PERPRES No. 93 Tahun 2021 dan PERPRES Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional; .

Ini merupakan suatu kebijakan yang disebut “autokrasi legalisme”, sebuah kejahatan politik dan ekonomi, yang dibungkus dengan peraturan perundang-undangan sebagai modus, menggunakan mekanisme hukum untuk melegalisasi atau melegitimasi tindakan melawan hukum dan tidak demokratis, bisa melalui PERPRES dan PP sebagai landasan hukumnya.

Kita patut dapat menduga bahwa telah terjadi “permufakatan jahat” yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, dalam proyek KCJB-WHOOSH ini, namun pejabat-pejabat yang bersangkutan merasa mendapat perlindungan atau kekebalan karena proses Penegakan Hukumnya dibelokan menjadi proses administratif di Inspektorat masing-masing.

Akibatnya banyak lahan pemerintah seperti TNI AU dan lahan milik instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah di kawasan yang dilalui oleh KCJB, dengan mudah diambil untuk proyek KCJB-WHOOSH, diduga tanpa menggunakan mekanisme UU No. 2 Tahun 2012 dan PP sebagai Peraturan Pelaksananya dan katanya saat ini tengah ditelaah oleh KPK sebagai bagian dari penyelidikan.

Perlu Evaluasi

Sejumlah kebijakan Jokowi lewat PERPRES dan PP yang mengamputasi wewenang Kejaksaan dan Polri dimaksud antara lain, Pasal 30 dan pasal 31 PERPRES Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional; Pasal 66 PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Atas Tanah;  Pasal 46 PP. No. 42 Tahun 2021, Tentang Kemudahan PSN; Pasal 135 PP No. 19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Komisi Reformasi Polri, harus kembalikan jati diri POlri, Kejaksaan dan KPK, sekaligus merekomendasikan agar PP dan PERPRES produk Jokowi yang sarat dengan KKN, harus dicabut, seiring dengan tuntutan agar Jokowi dkk. segera diproses hukum untuk dimintai pertanggungjawaban pidana terkait proyek KCJB-WHOOSH.

Komisi Reformasi Polri harus menjadikan ini sebagai prioritas untuk mendalami sejumlah PP dan PERPRES-PERPRES produk Jokowi, karena faktanya terdapat sejumlah PP dan PERPRES, yang mengamputasi kekuasaan dan wewenang Kejaksaan, POLRI dan KPK, yang diatur dalam KUHAP, UU Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, lalu diserahkan penyelesaiannya kepada instansi yang dilaporkan lewat mekanisme Administrasi.

Penulis Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Pergerakan Advokat Nusantara.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU