Oleh: Petrus Selestinus
Perjalanan panjang perjuangan mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto, sejak 1996 hingga lahirnya Reformasi pada 21 Mei 1998, merupakan buah dari perlawanan rakyat bersama Ibu Megawati Soekarnoputri (Megawati), terhadap rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998, tidak bisa dilepaskan dari 2 (dua) “Peristiwa Hukum dan Politik” yang sangat penting dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia, yaitu :
Pertama, Keputusan Pemerintah merekayasa lahirnya “dualisme” kepengurusan PDI dalam Kongres PDI di Medan pada 21-22 Juni 1996, dengan mengukuhkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI dan didukung oleh Soeharto. Sedangkan sebelumnya dalam Munas PDI di Kemang, Jakarta Selatan pada 22 Desember 1993, Megawati secara aklamasi terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI (Pro. Mega), sampai dengan 1999, didukung oleh kekuatan rakyat bawah.
Kedua, Peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat “KUDATULI”, merupakan tindak lanjut Kongres PDI Medan berupa pemgambil alihan secara paksa dengan menggunakan kekerasan oleh aparatur TNI-Polri dan Preman melakukan penyerbuan terhadap kantor PDI, di Jln. Diponegoro No. 58 Jakarta Pusat, yang ketika itu menjadi Kantor PDI Pro Mega.
Kedua peristiwa di atas, sekalipun merupakan rekayasa politik Orde Baru demi menyingkirkan Ibu Megawati dari pentas politik nasional, namun justru kedua peristiwa dimaksud merupakan Peristiwa Hukum, yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia karena, kedua peristiwa dimaksud menjadi cikal bakal bahkan menjadi triger dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat menuju lahirnya Reformasi dan berhasil mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998.
Perlawanan Ibu Megawati Soekarnoputri terhadap Keputusan Kongres PDI Medan tanggal 21-22 Juni 1996, karena Pemerintah mengukuhkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI dan Peristiwa 27 Juli 1996, penyerbuan kantor PDI Pro Megawati, melalui Legal Action di Pengadilan, merupakan dua hal yang beririsan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena perlawanan melalui Legal Action itu kemudian mengkristal menjadi perlawanan rakyat secara damai dan berhasil mengakhiri kekuasaan otoriter Orde Baru yang pada dasarnya ingin mempertahankan Soeharto sebagai Presiden seumur hidup.
Karena itu, pilihan medan juang Ibu Megawati Soekarnoputri dan TPDI melalui “Legal Action” hingga jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, harus dijadikan tonggak sejarah perjuangan rakyat, karena proses perjuangan sejak Juni 1996 s/d. Mei 1998 merupakan “peristiwa hukum” yang sangat penting bagi kehidupan sebuah negara dan bangsa yang merdeka sesuai prinsip negara hukum, karena mengubah secara fundamental sistim kekuasaan yang otoriter dan anti demokrasi menjadi sistim kekasaan yang demokratis sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Sekali lagi ditegaskan bahwa perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri dan rakyat pendukungnya berhasil mengubah secara fundamental sistem kekuasaan yang otoriter dan anti demokrasi dengan meruntuhkan kekuasaan otoriter Orde Baru yang kelam dan anti Demokrasi ke sistim kekuasan yang Demokratis melalui perjuangan Reformasi 1996 s/d. Mei 1998.
Harus diingat, bahwa selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto melakukan politik “belah bambu” dan “balas dendam”, terhadap setiap orang atau kelompok yang dianggap sebagai lawan politik yang potensial menghalangi status quo akan dianggap sebagai anti Pancasila, akan dihadapi dengan cara-cara represif termasuk akan menghadapi kematian perdata selama hidupnya.
Akibatnya banyak tokoh lawan politik Soeharto ditahan di luar prosedur hukum alias tanpa proses hukum, pembungkaman terhadap kebebasan Pers, kebebasan Berserikat, Berkumpul dan Menyatakan Pendapat, banyak tokoh lawan politik dan keturunannya dimusuhi hingga mengalami kematian perdata secara turun temurun.
Meskipun demikian, masih ada sedikit orang/tokoh termasuk Ibu Megawati Soekarnoputri yang secara konsisten melakukan perlawanan untuk mengubah kebijakan politik Soeharto yang otoriter dan anti demokrasi, dengan resiko menghadapi intimidasi, teror, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan itu juga yang dialami Ibu Megawati Soekarnoputri selama puluhan tahun berjuang.
Kondisi ini, berlangsung selama 32 tahun lamanya, rakyat berada dalam sistim demokrasi seolah-olah, dalam situasi ketakutan yang mencekam, menanti perubahan sistim politik yang sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan prinsip HAM dan secara pelan tapi pasti diawali oleh Ibu Megawati Soekarnoputri pada tahun 1996 s/d. 1998 dengan mundurnya Soeharto dari kursi Presiden
Perjalanan politik Ibu Megawati Soekarnoputri ketika pada tahun 1987 terjun ke dunia politik praktis, masuk sebagai kader Partai PDI bersama adiknya Guruh Soekarno, pada saat itu posisi politik PDI di DPR RI hanya dengan kekuatan 8,5 % atau 29 kursi hasil pemilu 1977 dan 6,66 % atau 24 kursi pada pemilu 1982. Pada pemilu 1987 PDI meraih 10% kursi DPR atau 40 kursi dan 14% atau 57 kursi pada pemilu 1992.
Naiknya perolehan kursi PDI sejak Ibu Megawati dan Guruh Soekarno masuk PDI, membuat Soeharto gusar dan melakukan gerilya politik membungkam keberadaan Ibu Megawati Soekarnoputri di PDI dengan mengintervensi kongres IV PDI di Medan pada 21 Juli 1993, melengserkan Soerjadi dan mendudukan kelompok Jusuf Merukh, Dudi Singadilaga, Latif Pudjosakti dkk.
Target antara adalah membuat perpecahan dalam tubuh PDI dengan target permanen adalah singkirkan Megawati dari panggung politik dengan menggunakan instrumen Pemerintah Cq. Menko Polhukam pada Agustus 1993 yang menyatakan bahwa Kongres PDI di Medan tidak sah.
Selanjutnya pada tanggal 2-6 Desember 1993 terjadi KLB PDI di Surabaya untuk memperebutkan kursi Ketua Umum PDI Budi Hardjono (kubu pemerintah) melawan Megawati Soekarnoputri, ternyata yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI adalah Megawati Soekarnoputri, namun lagi-lagi pemerintah mengintervensi degan cara menciptakan kekacauan untuk menganulir keputusan terpilihnya Megawati Soekarnoputri akibat intervensi pemerintah.
Namun demikian Megawati tetap menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto dan Megawati kemudian melakukan safari politik ke Mendagri Yogie S Memet, Menkopolhukam Soesilo Soedarman, Pangdam Jaya Hendropriyono dll. bahkan sampai ke Tutut anak Soeharto.
Pada 22 Desember 1993 PDI menggelar Munas di Kemang dimana semua peserta Munas secara aklamasi mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI sampai periode 1999.
Memilih Jalan Hukum
Pada tahun 1996, muncul tragedi 27 Juli 1996, sebagai salah satu bentuk kekejaman politik Soeharto, Kantor DPP PDI Megawati di Jln. Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat, diserbu oleh Aparat Keamanan, Preman berambut cepak dan Kader PDI Soeryadi yang memakan banyak korban nyawa dan harta benda, sesuai dengan Investigasi dan Rekomendasi Komnas HAM pada tanggal 10 Oktober 1996.
Tragedi 27 Juli, merupakan puncak gunung es dimulainya perlawan rakyat bersama Ibu Megawati, melalui konsolidasi “mimbar bebas” di Kantor PDI di Jln. Diponegoro 58, secara terbuka dan konstitusional. Gerakan menabuh genderang perang melawan kekuasaan otoriter Orde Baru secara damai, antara lain dimulai dengan sejumlah upaya hukum dan hanya dalam waktu 2 (dua) tahun saja yaitu pada Mei 1998, kekuatan perlawanan rakyat berhasil menumbangkan Soeharto dengan segala kekuatan politiknya mundur teratur.
Ini sebagai awal lahirnya Reformasi Sistem Politik yang konstitusional diawali dengan amendemen terhadap UUD 1945, merubah tatanan ketatanegaraan dengan masa jabatan Presiden hanya 2 periode, adanya Mahkamah Konstitusi, ABRI kembali barak dan pemisahan TNI-POLRI, Otonomi Daerah, Pemberantasan KKN dll.
Sejak awal, Megawati berketetapan hati melakukan perlawanan politik terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru dan Soeharto, melalui upaya hukum. Dan upaya-upaya hukum itu secara efektif berhasil mengkonsolidasikan kekuatan rakyat bersatu, tidak saja mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto dan Para Kroninya, melainkan secara efektif berhasil membunuh ambisi Soeharto untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Pemilu di era Soeharto hanya formalitas, membuat Soeharto selalu terpilih sebagai presiden selama 32 tahun berkuasa dengan siatem demokrasi seolah-olah.
Di luar perkiraan akal sehat atau nalar publik, perlawanan Rakyat bersama Ibu Megawati terhadap rezim otoriter dengan kekuatan dan kekuasaan yang perkasa, mampu mengamputasi semua ambisi Soeharto dan ambisi sebuah Rezim yang zolim, yang selama puluhan tahun membuat rakyat terjajah dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, politik dan demokrasi).
Praktek demokrasi “seolah-olah” versi Soeharto dan Orde Barunya, terbaca oleh publik karena praktek kekuasaan yang otoriter selalu menjadi senjata utama untuk membungkam kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers dan HAM, dimana banyak tokoh politik pejuang harus mengalami kematian perdata dll.
Jadi Hari Besar
Oleh karena itu, sangatlah naif bagi kita semua, kalau saja peristiwa 27 Juli 1996, kita biarkan hanya sebagai sebuah peristiwa lokal yang bersifat soporadis, temporer atau yang tiba-tiba muncul, tidak demikian. Melainkan, peristiwa 27 Juli adalah puncak gunung es, yang melahirkan reformasi pada Mei 1998.
Emosi, kemarahan dan kebingungan Orde Baru dan Soeharto akibat sejarah panjang politik otoriter disertai dengan keinginan untuk mengamputasi kekuatan politik perlawanan Megawati Soekarnoputri yang selalu sulit dihentikan, dan yang terjadi adalah gagal totalnya seluruh ambisi Soeharto untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Dinamika perjalanan politik PDI dan eksistensi Ibu Megawati Soekarnoputri sebelum KLB di Medan tahun 1996, pada beberapa peristiwa politik di internal PDI, menjadi catatan penting Soeharto dan Orde Baru dari waktu ke waktu, dari strategi yang satu kepada strategi yang lain, sehingga selalu ada intrik politik dan kekuasaan untuk mencegah, membatasi, merintangi, menghalangi dan menggagalkan dengan segala cara termasuk menggunakan kekuatan ABRI dan Kementerian Dalam Negeri sebagai alat represif.
Tidak ada tokoh reformasi lain yang lebih hebat, selain dari pada Ibu Megawati Soekarnoputri, yang berjuang sampai benar-benar Soeharto tumbang secara konstitusional.
Karena itu sangat beralasan jika pada hari ini dan pada hari-hari ke depan TPDI dan kita semua harus mendesak Pemerintah agar PERISTIWA 27 JULI 1996 harus diperingati sebagai hari besar nasional yang setara nilainya dengan hari besar nasional 17 Agustus 1945, dan tokoh reformasi yang sesunguhnya adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, tidak ada yang lain.
Hal ini karena perjuangan Rakyat bersama Ibu Megawati yang kharismatik untuk membebaskan rakyat dari penjajahan yang nyata dan penuh kelicikan selama Rezim Orde Baru, termasuk bagaimana membungkam ambisi Soeharto untuk menjadi Presiden RI seumur hidup, terporak porandakan di tangan Ibu Megawati Soekarnoputri bersama rakyat dengan mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan otoriternya pada 28 Mei 1998 tanpa pertumpahan darah.
Keberhasilan atas perjuangan yang panjang dari Ibu Megawati itu berpuncak dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 28 Mei 1998 dan itu konstitusional, meski diawali dengan tekanan fisik atau psikhis terhadap perjuangan reformasi yang dikenal dengan “kerusuhan Mei 1998”, dimana Soeharto baru sadar bahwa rakyat sudah tidak percayai dia lagi, rakyat sudah tahu dan berani mengungkap segala praktek kekuasaan yang bobrok, bahkan rakyat sudah tahu ada hidden agenda Soeharto yaitu ingin menjadi presiden seumur hidup terbongkar habis.
Penulis, Petrus Selestinus, Advokat dan Koordinator TPDI


