19 November 2025
HomeBeritaKesraPerpustakaan sebagai Pusat Penguatan Daya Kritis Berpikir Masyarakat

Perpustakaan sebagai Pusat Penguatan Daya Kritis Berpikir Masyarakat

SHNet, Jakarta –  Kepala Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) E. Aminudin Aziz baru saja mengukuhkan Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), pada Senin (17/11/2025).

Selepas pengukuhan, kegiatan dilanjutkan dengan gelar wicara bertema ‘Meneguhkan Peran Pustakawan dan Pegiat Literasi dalam Melindungi Kebebasan Membaca dan Berpikir Kritis.’ Diskusi ini menyoroti pentingnya perpustakaan sebagai pilar demokrasi dan pusat penguatan daya kritis masyarakat.

Kepala Perpusnas meyakini, siapa pun yang sedang kehausan pengetahuan akan selalu mencari perpustakaan. “Pustakawan berada pada posisi terdepan dalam memfasilitasi kebutuhan tersebut,” cetusnya.

Ia menambahkan bahwa perpustakaan memiliki peran fundamental dalam membentuk kreativitas dan kematangan berpikir masyarakat. “Perpustakaan adalah wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas. Jika ada yang menempatkan perpustakaan tidak pada posisi mulia, sesungguhnya mereka tidak menempatkan ilmu sebagai sesuatu yang mulia,” tuturnya.

Pengamat politik, Rocky Gerung, hadir dan menyampaikan bahwa peran pustakawan sebagai pemandu cara berpikir masyarakat. “Tugas pustakawan adalah membekali publik dengan kemampuan berpikir. Pustakawan mempromosikan argumen, bukan sentimen. Untuk itu, pustakawan menjadi lambung peradaban,” ungkapnya.

Rocky yang merupakan akademisi tersebut menegaskan kembali pentingnya keberadaan buku sebagai ruang refleksi dan dialog publik. “Buku itu isinya argumen, bukan sentimen. Karena itu kita mesti menciptakan masyarakat yang surplus argumen, bukan surplus kepanikan,” ujarnya.

Diskusi lintas perspektif tersebut juga menghadirkan pandangan mendalam mengenai fenomena penyitaan buku, miskomunikasi antara media, aparat, dan masyarakat, serta pentingnya menjaga ruang baca tetap aman.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK–PTIK), Eko Rudi Sudarto, menyampaikan perspektif penting mengenai persepsi publik terhadap penyitaan buku. Ia menegaskan bahwa prosedur kepolisian tidak serta-merta menilai isi buku maupun gagasan yang terkandung di dalamnya.

“Dari perspektif kepolisian, buku bukanlah alat bukti. Buku hanya petunjuk, dan penyitaan tidak sama dengan kriminalisasi gagasan. Ide tidak pernah bisa disita,” sebutnya.

Eko menekankan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir menghadapi isu penyitaan buku karena proses tersebut merupakan bagian dari administrasi penanganan perkara, bukan penilaian terhadap isi atau nilai intelektual sebuah karya. Ia juga menggarisbawahi pentingnya literasi dalam proses penegakan hukum modern.

“Polri berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan internal berbasis literasi dan pengetahuan. Kami bahkan telah memohon dukungan Perpusnas untuk menjadi bagian dari modernisasi digital Polri,” sambungnya.

Selain itu, Eko mendorong pustakawan untuk terus berperan aktif dalam membantu pemerintah menangani persoalan literasi masyarakat. “Pustakawan harus bangga dengan profesinya. Ini profesi mulia yang berperan menjaga literasi masyarakat dan membantu publik memahami isu sosial secara utuh,” kemukakannya.

Sementara itu, akademisi sains informasi, Sukarman, menegaskan bahwa banyak kasus yang diberitakan sebagai penyitaan buku sebenarnya terjadi karena buku ditemukan di lokasi kejadian (TKP), bukan karena isinya dilarang. “Seringkali yang muncul di media adalah headline ‘penyitaan buku’, padahal konteksnya buku itu hanya berada di TKP. Miskomunikasi inilah yang membuat publik takut membaca,” terangnya.

Ia juga menekankan bahwa perpustakaan dan pustakawan harus berani terlibat dalam diskusi kebijakan, termasuk revisi Undang-Undang Perbukuan. “Pustakawan tidak boleh hanya menjadi penjaga rak. Mereka adalah bagian dari ilmuwan yang membantu publik memahami pengetahuan secara utuh. Akses informasi tidak boleh disumbat,” tegasnya.

Pustakawan dan penggerak literasi, Farli Elnumeri, menyoroti pentingnya prinsip netralitas pustakawan dan tanggung jawab etis untuk menyediakan akses seluas-luasnya. “Pustakawan wajib memastikan masyarakat mendapatkan informasi secara utuh. Masalah muncul ketika orang membaca setengah-setengah. Tugas pustakawan adalah mendampingi, bukan membatasi,” ucapnya.

Farli juga menegaskan bahwa pustakawan harus siap menghadapi tekanan, sekaligus menjaga perpustakaan tetap menjadi ruang aman dialog pengetahuan. “Pustakawan harus siap berhadapan dengan isu hukum atau tekanan eksternal. Namun tugas utama kita tetap sama, menjaga agar masyarakat dapat mengakses, memahami, dan menganalisis bacaan secara kritis,” tambahnya. (Stevani Elisabeth)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU