SHNet, Jakarta- Saat ini, kesehatan mental menjadi isu yang serius bagi para generasi muda. Satu dari tujuh remaja di dunia berjuang dengan gangguan kesehatan mental. Bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi pada usia 15–29 tahun. Di Indonesia sendiri, lebih dari 6 persen orang dewasa muda mengalami gangguan kesehatan mental
Data yang diambil dari Organisasi Kesehatan Dunia, atau World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI ini diungkapkan sejumlah psikolog yang tergabung dalam PALS atau Psikolog Alumni SMAN 8 Jakarta alias Smandel ketika memberikan paparan dalam seminar tentang kesehatan mental bertema “Mental Wellness-The Power is Your”.
Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama PALS-SMAN 8 Jakarta-Fokus 28 ini diadakan pada Jumat akhir pekan ini di dua tempat berbeda di lingkungan sekolah yakni Sasana Krida dan Ave Grande. Psikolog yang tergabung dalam PALS yang tampil sebagai pembicara adalah Dini Andrini (Smandel’1989), Irvan Aulia (Smandel’2001), Siti Jessika (Smandel 2002), dan Ivan Ahda (Smandel 2003). Dua guru BK bertindak sebagai moderatori; M.Sutrisno dan Dina aprilyati.
Antusiasme siswa kelas X Smandel cukup tinggi mengikuti seminar yang pembukaannya dilakukan di Masjid Darul Ifran SMAN 8 dan dibuka langsung oleh Kepala Sekolah, Drs. Ubaidillah, M.Pd. Dalam sambutanya, Ubaidillah mengatakan persoalan kesehatan ini sangat penting sekali untuk diketahui siswa dan orang tua, agar berbagai persoalan yang dihadapi siswa dapat diselesaikan dengan baik.
Kepada para alumni yang menjadi pembicara, Ubaidillah menyatakan respek dan terima kasih yang sangat tinggi, mengingat perhatian para alumni, khususnya dalam seminar kesehatan mental ini tinggi sekali dan persiapannya pun sangat matang.
“SMAN 8 Jakarta sangat beruntung karena kolaborasi sinergis para alumni, orang tua, guru, siswa, tenaga kependidikan, dan semua pihak yang merasa memiliki sekolah yang terus mampu menjaga prestasi dari tahun ke tahun,” ujar Ubaidillah sambil mengungkapkan sejumlah prestasi yang baru-baru ini diproleh siswa.

Usai pembukaan di masjid, seluruh siswa kelas X yang berjumlah 300 an lebih diarahkan ke dua aula yakni Sasana Krida dan Ave Grande . Masing-masing aula diisi oleh 2 psikolog pemateri dan dimoderatori guru BK serta dihadri juga oleh guru dan sejumlah orang tua. Bahan materi tentang kesehatan mental sama yang dibuat oleh PALS sehingga para siswa mendapat pemahaman yang sama apa itu kesehatan mental, dan bagaimana menghadapi serta mengatasinya.
Untuk menarik perhatian siswa dan membuat suasana hidup, para pemateri juga memberikan semacam kuis, dan meminta siswa aktif untuk memberikan tanggapan-pertanyaan. Seluruh peserta juga dibagikan empat kartu yang berisi tema tertentu saat acara berlangsung, siswa dapat menuliskan tanggapan/respons dibalik kartu tersebut. Alhasil, seminar yang berlangsung selama dua jam terasa singkat.
Wakil Ketua Fokus (Forum Komunikasi Orang Tua Generasi Emas) 2028 yang membawahi Bidang Akademik, Anita Romindo mengatakan, seminar ini bertujuan untuk membantu siswa kelas X memahami pentingnya menjaga kesehatan mental dan siap menghadapi tantangan hidup ke depannya. Dia mengucapka teriam kasih atas dukungan PALS, sekolah, Komite Sekolah, guru, orang tua siswa dan seluruh siswa kelas X sehingga acaraberlangsung lancar dan sukses.

Pentingnya Resiliensi bagi Pelajar
Apa itu kesehatan mental? para psikolog yang tergabung dalam PALS mengutip definis dari WHO mengatakan, kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana setiap individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri. Artinya, mereka dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat berfungsi secara produktif dan bermanfaat , dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitas mereka.
Lalu apa Resilience? Daya tahan atau daya lenting yang disebut juga resilience adalah kemampuan untuk beradaptasi dalam menghadapi kesulitan dan tantangan—terutama melalui fleksibilitas mental, emosional, dan perilaku dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan dari luar maupun dalam diri.
Jadi resilience itu sangat penting mengingat tiga hal berikut: pertama, ketidakpastian hidup. Kadang ada hal di luar kendali kita; seperti konflik di keluarga, perubahan kebijakan pendidikan,hingga berbagai tantangan kehidupan lainnya. Kedua, tekanan sosial yang biasanya bersumber dari pererbandingan di media sosial, konflik dengan teman sebaya, atau rasa takut dikucilkan, terkadang bisa membuat kita merasa cemas dan tidak cukup baik. Dan ketiga, keterbatasan sumber daya . Ini dapat disebabkan kondisi ekonomi, keterbatasan fisik, atau akses belajar yang terbatas; semua itu bisa menurunkan semangat dan rasa percaya diri. Di tengah berbagai ketidakpastian, tekanan, dan tantangan, resiliensi mengajarkan kita untuk terus bangkit dan tetap jalan.
Namun, dalam kenyataannya memang menjadi remaja resilien menghadapai beberapa tantangan seperti pikiran negatif yang menjatuhkan diri sendiri, kurang mampu mengelola emosi, lingkungan sosial yang toksik, kurang mendukung, dan keadaan yang tidak dapat diprediksi.
Lantas, bagaimana cara mengatasi tantangan tersebut? para psikolog ini memberikana jalan keluar atau tips kepada siswa yaitu regulasi Emosi Tenang di bawah tekanan, mampu mengekspresikan emosi dengan tepat dan sehat . Satu kata H.A.L.T dapat mengungkapkan hal berikut Are you Hungry?, Are you Angry? Are you Lonely? dan Are you Tired. “Gunakan metode “HALT” untuk secara mindful melakukan cek terhadap kebutuhan dasar kita ketika merasa tidak baik-baik saja,” kata Dini yang tampil di Sasana Krida.
Langkah berikut pengendalian Impuls yakni mampu mengendalikan dorongan, keinginan, tekanan yang muncul dari diri. Kemudian tumbuhkan sikap optimisme yaitu merasa mampu menangani masalah. Ketika muncul pikiran negatif, ia mampu meyakinkan dirinya dan menggantinya dengan pikiran positif. Terakhir, tumbuhkan juga sikap empati yaitu mampu memahami perasaan orang lain. Orang merasa nyaman dengan kehadirannya. (sur)

