Oleh: Dr. Ir. Hermanto MP
Berita swasembada yang semakin menggema di tengah riuhnya perpolitikan nasional menjadi kabar baik bagi masyarakat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Swasembada seolah menjadi titik balik kembalinya Indonesia sebagai negara pangan terbesar dunia.
Baru-baru ini, Presiden Prabowo dalam Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat menegaskan bahwa Indonesia berhasil menghadirkan beras melimpah di tengah cuaca ekstrem el nino panjang yang melanda semua daerah. Presiden bahkan mengatakan Indonesia kini sudah swasembada beras dan siap ekspor hingga membantu Negara Palestina yang terpuruk akibat konflik berkepanjangan.
Swasembada beras nampaknya sudah diakui dunia. Presiden Donald Trump dalam kesempatan yang sama juga memuji pidato Prabowo dengan kalimat You did a Great Job. Berdasarkan data lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan United States Department of Agriculture (USDA), produksi Indonesia memang tumbuh di atas rata-rata produksi negara penghasil beras dunia lainnya.
USDA menyebut produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 34,6 juta ton pada tahun ini. Sementara FAO memprediksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada masa tanam 2025/2026. Dan kini, Badan Pusat Statistik merilis bahwa produksi beras Januari –November 2025 diperkirakan mencapai 33,19 juta ton, naik 12,62 persen apabila dibanding periode yang sama tahun 2024 (29,47 juta ton).
Bila kita cermati, angka produksi Januari – November 2025 ini tidak hanya melampaui capaian tahun 2024, tapi juga sudah melampaui capaian selama kurun waktu tujuh tahun terakhir, dimana sebelumnya, capaian produksi tertinggi terjadi pada tahun 2022, yaitu 31,54 juta ton.
Ada cerita menarik dari perberasan dunia, Thailand sebagai negara penghasil beras di kawasan ASEAN kini pusing 7 keliling karena berasnya tak laku dijual akibat produksi petani Indonesia melampaui angka tinggi. Ekspor mereka menurun hingga 30 persen pada kuartal I 2025. Vietnam lebih parah lagi yang merosot hingga 97 persen pada paruh pertama 2025. Begitu juga dengan Kamboja, Filipina dan negara penghasil beras lainnya yang juga sama-sama merosot akibat gagal jualan.
Tentu Baru-baru ini, yang juga membanggakan kita adalah Indonesia masuk kedalam daftar penerima rekognisi Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), di mana kontribusi pertanian kita betul-betul nyata dirasakan oleh Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) terutama dalam pembangunan sektor pangan dunia.
Indonesia menjadi salah satu dari 18 penerima rekognisi KSST pada dua kategori Country-Level Recognition dan Institutional-Level Recognition. Penghargaan tersebut diserahkan pada acara Global Technical Recognition Ceremony di Kantor Pusat FAO, Roma, Italia, Rabu (15/10), dalam rangka peringatan 80 tahun FAO.
Untuk diketahui, selama dua dekade terakhir Kementerian Pertanian getol mengimplementasikan inisiatif KSST untuk 74 negara, dengan mengirimkan 190 tenaga ahli, 400 alat dan mesin pertanian, 5.000 dosis semen beku, serta memberikan pelatihan bagi lebihdari 1.500 peserta dari Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Pasifik. Indonesia juga mendirikan pusat pelatihan regional di Tanzania, Gambia, dan Fiji serta mendukung pemulihan produksi pangan di Madagaskar dan Sudan.
Bisa jadi, penghargaan ini adalah sebuah simbol dari dunia Intenasional bahwa Indonesia telah bertransformasi menjadi solusi bagi pertanian di dunia. Penghargaan ini juga berarti pengakuan dunia atas peran strategis Indonesia sebagai penyedia solusi pertanian bagi negara berkembang.
Dibalik keberhasilan ini ada banyak kerja keras yang dilakukan pemerintah dan juga para petani dalam negeri. Pembangunan pertanian selalu menjadi perhatian publik karena makanan adalah tuntutan sehari-hari. Sebagai contoh, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman sejak awal telah bergerak cepat memastikan el nino bukan masalah yang dibiarkan menjadi batu besar.
Perlahan tapi pasti, batu besar itu dipecahkan melalui pompanisasi sebagai solusi kongkrit dalam menghadapi kekeringan. Selanjutnya, pemerintah juga menggerakan pembagian benih gratis hingga menyediakan pupuk subsidi secara adil dan merata.
Pupuk memang menjadi perhatian serius pemerintah terutama setelah comeback Mentan Amran Sulaiman. Kontribusi pupuk terhadap peningkatan produktivitas sangat besar serta mampu menjaga ekosistem pertanaman menjadi subur. Inilah yang menjadi dasar mengapa pupuk bersubsidi sebagai faktor strategis yang menentukan ketersediaan pangan.
Memang, awalnya, tren alokasi pupuk subsidi menurun drastis hingga 4,73 juta ton pada awal tahun 2024. Angka yang menukik jika dibanding tahun 2018. Sebabnya tak lain tak bukan karena lonjakan harga pupuk global yang semakin tinggi akibat pandemi COVID-19, ditambah perang Rusia-Ukraina, serta pelemahan rupiah yang memperparah kondisi ini.
Tapi, pemerintah bukan pemain cadangan yang duduk-duduk sambil menonton. Tambahan volume pupuk adalah bukti, di mana volume kembali dinaikkan menjadi 9,55 juta ton atau sesuai kebutuhan petani. Inilah Kerja-kerja nyata yang menghasilkan beras di setiap meja makan keluarga kita.
Selain pupuk, gebrakan lainnya yang membetot perhatian publik adalah cetak sawah rakyat dan optimasi lahan atau Oplah baik rawa maupun non rawa. Kedua program terbukti memberi dampak yang signifikan terhadap naiknya produksi nasional. Setidaknya, pelaksanaan oplah terus digempur di 24 Provinsi, di mana hasilnya kini sudah dirasakan petani.
Dalam arahannya, Mentan Amran telah memerintahkan semua jajaran di kementan baik yang duduk di eselon 1, 2 sampai mereka yang dibawahnya untuk Sama-sama bergerak turun langsung mengawal jalannya Optimasi Lahan (Opla) Rawa dan Non Rawa serta Cetak Sawah Rakyat (CSR).
Perlu diketahui, pelaksana oplah non rawa dilakukan meliputi konservasi tanah dan air, peningkatan fungsi jaringan, rehabilitasi, instalasi pipa serta pengembangan sistem air dan sumber irigasi alternatif lainya. Sedangkan Oplah rawa yang merupakan pengerjaan lahan yang kurang produktif menjadi lebih produktif meliputi pembangunan tanggul, pembangunan saluran irigasi, pembangunan unit pompa sampai pengerjaan lainnya sesuai dengan spesifikasi lahan rawa untuk memperbaiki tata kelola air di lahan rawa.
Yang pasti, oplah dan cetak sawah adalah satu kesatuan yang diharapkan mampu meningkat kapasitas produksi dan mendongkrak produktivitas dalam negeri sehingga ke depan Indonesia Betul-betul menjadi negara berdaulat pangan yang paling kuat di dunia jika dibandingkan negara lain yang mungkin masih kacau balau akibat salah mengelola sektor pangan dan pertanian.
langkah Mentan Amran yang berhasil mengubah lahan rawa, lahan kering, lahan mubazir atau lahan tidur lainnya menjadi lahan produktif dengan program Cetak Sawah Rakyat (CSR) dan oplah kini sudah berbuah hasil, di mana para petani kian sejahtera dan ekonomi masyarakat mulai bergerak dan tumbuh. Program-program tersebut menjadi masa depan bangsa dalam menjaga kedaulatan negara melalui ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Dari sekian banyak yang dilakukan, nampaknya langkah penting selanjutnya adalah membangun optimisme yang lebih kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai surganya pangan dunia. Dan kini surga itu sudah di depan mata, yaitu berbentuk swasembada pangan. Saatnya kita kembali menjadi macan Asia untuk Indonesia yang lebih sejahtera dan berdaulat pangan secara berkelanjutan. (*)
(Penulis adalah Plt. Direktur Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian Kementan)

