Oleh: Diana Triwardhani
Di tahun 2025, dunia berada di tengah revolusi teknologi paling monumental dalam sejarah peradaban manusia: kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Apa yang dulu hanya sekadar imajinasi film fiksi ilmiah, kini telah menjadi kenyataan yang mengubah banyak aspek kehidupan manusia — mulai dari pendidikan, ekonomi, kesehatan, pertahanan, hingga geopolitik.
Namun, di balik inovasi dan efisiensi yang ditawarkan AI, tersimpan potensi ancaman besar. Dunia kini menyaksikan perlombaan AI yang intensif antara dua raksasa global: Amerika Serikat dan Cina. Perlombaan ini bukan sekadar kompetisi teknologi, melainkan juga pertaruhan tentang siapa yang akan menguasai kekuatan ekonomi, ideologi, dan keamanan global dalam beberapa dekade ke depan.
Bangkitnya AI sebagai Kekuatan Global Baru
Artificial Intelligence saat ini telah melampaui perannya sebagai teknologi bantu. AI kini mampu membuat keputusan sendiri melalui pembelajaran mesin (machine learning), memproses jutaan data dalam hitungan detik, mengenali pola perilaku, bahkan menciptakan konten orisinal melalui generative AI seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude.
Bahkan, dalam konteks militer, AI digunakan untuk sistem pertahanan otonom, analisis medan perang secara real-time, dan simulasi strategis dengan akurasi yang belum pernah tercapai sebelumnya. Dalam ekonomi, AI sudah menjadi motor utama di balik sistem rekomendasi produk, deteksi penipuan keuangan, hingga manajemen rantai pasok global.
Dengan kata lain, AI telah menjadi senjata strategis baru. Siapa yang mampu menguasainya lebih cepat dan lebih dalam, akan memiliki posisi dominan dalam tatanan dunia baru.
Perlombaan AI: AS vs Cina
AS memiliki ekosistem teknologi yang sangat kuat. Perusahaan seperti Google (DeepMind), OpenAI, Microsoft, Amazon, dan Nvidia adalah pelopor inovasi AI di dunia. Investasi mereka mencapai ratusan miliar dolar per tahun, dan kebanyakan open-source framework AI populer berasal dari AS.
AS juga mengandalkan kelebihan data berkualitas tinggi, talenta terbaik dari seluruh dunia, dan pengaruh kuat dalam pembuatan standar global melalui lembaga-lembaga seperti IEEE dan OECD.
Cina, di sisi lain, mengejar ketertinggalan dengan agresif. Pemerintah Cina mengadopsi strategi nasional jangka panjang “Next Generation Artificial Intelligence Development Plan”, yang menargetkan Cina menjadi pemimpin global AI pada tahun 2030.
Perusahaan seperti Baidu, Alibaba, Tencent, dan Huawei telah menyuntikkan investasi luar biasa untuk pengembangan AI dalam sektor publik dan swasta. Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar dan akses luas ke data perilaku konsumen domestik, Cina memiliki keunggulan dari sisi volume data dan penerapan terpusat yang agresif.
Risiko Terbesar: Ketimpangan dan Keamanan Global
Perlombaan AI tidak datang tanpa risiko. Dalam banyak diskusi global, kekhawatiran utama yang mengemuka adalah, Pertama, Dominasi Monopoli Teknologi. Apabila hanya satu atau dua negara yang berhasil mengembangkan AI supercanggih, maka dunia akan berada di bawah “teknokrasi global”. Negara lain menjadi konsumen pasif tanpa kedaulatan teknologi. Ketimpangan ini bisa memicu bentuk kolonialisme digital baru: mereka yang tidak punya AI akan tergantung penuh pada yang menguasainya.
Bayangkan sebuah negara berkembang yang harus menyewa teknologi AI dari negara adidaya untuk menjalankan sistem pendidikan, pertahanan, hingga pertanian. Ketergantungan semacam ini membuka risiko manipulasi dan pengawasan terselubung.
Kedua, Penggunaan AI dalam Senjata Otonom. AI digunakan dalam senjata mematikan otonom (lethal autonomous weapons) yang dapat menyerang target tanpa campur tangan manusia. Bayangkan drone kecil yang mampu menyerang individu tertentu berdasarkan wajah atau pola suara, tanpa perlu dikendalikan dari jarak jauh.
Tanpa regulasi internasional yang jelas, ini dapat memicu perlombaan senjata baru yang lebih berbahaya daripada nuklir. Sistem semacam itu dapat disalahgunakan oleh rezim otoriter, kelompok teroris, atau aktor non-negara untuk menciptakan kekacauan dan destabilitas.
Ketiga, Keamanan Siber dan Deepfake. AI juga digunakan untuk serangan siber tingkat tinggi dan manipulasi informasi, termasuk pembuatan video deepfake, penyebaran propaganda otomatis, dan pembajakan sistem pemerintahan. Dalam konteks ini, AI bisa menjadi alat “perang informasi” paling canggih dan sulit dilacak.
Contoh nyatanya, pemilu di berbagai negara sudah terpengaruh oleh kampanye digital yang didukung AI. Bot sosial, avatar virtual, dan manipulasi algoritma media sosial menjadi alat propaganda baru yang sulit dibendung oleh regulasi konvensional.
Ekonomi Global: Ancaman dan Peluang
Peluang dalam situasi ini, AI diperkirakan akan meningkatkan PDB global sebesar $15 triliun pada tahun 2030. Selain itu, negara-negara yang mampu mengadopsi AI secara cepat akan menikmati efisiensi tinggi di sektor manufaktur, pertanian, kesehatan, dan logistik. Kemudian, inovasi seperti Chatbot Customer Service, Smart Farming, dan Autonomous Vehicles membuka lapangan kerja baru.
Namun, juga mengandung ancaman, seperti pengangguran massal akibat otomatisasi masih menjadi ancaman besar. Pekerjaan berulang seperti kasir, operator call center, dan akuntan dasar mulai tergantikan. Begitu juga, kesenjangan ekonomi antara negara yang memiliki teknologi AI dan yang tertinggal akan melebar, serta ketergantungan terhadap platform AI buatan asing dapat menggerus kedaulatan ekonomi digital suatu negara.
Masa Depan AI: Apakah Dunia Siap?
Organisasi seperti PBB, UNESCO, dan G20 telah mulai menyusun kerangka etika dan regulasi AI global. Namun implementasinya belum menyeluruh. Tidak semua negara memiliki kemampuan hukum dan teknis untuk menegakkan batasan-batasan tersebut.
Dalam beberapa diskusi strategis, muncul wacana penting: “Apakah kita butuh perjanjian internasional AI, sebagaimana perjanjian non-proliferasi nuklir?” Pertanyaan ini belum terjawab, namun semakin mendesak. Tanpa konsensus global, dominasi AI bisa memicu perang dingin digital — bukan karena senjata, tetapi karena algoritma.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Negara-negara seperti Indonesia tidak boleh hanya jadi penonton. Strategi berikut dapat diambil seperti membangun kedaulatan data: Lindungi data nasional sebagai aset strategis.
Investasi dalam pendidikan AI: Integrasikan AI dalam kurikulum sejak dini dan dorong riset lokal. Fokus pada adopsi kontekstual: Kembangkan AI sesuai dengan kebutuhan lokal seperti pertanian, UMKM, dan kesehatan masyarakat. Berperan aktif dalam regulasi global: Indonesia harus aktif dalam forum internasional membahas etika dan tata kelola AI.
Siapa Menguasai AI, Menguasai Dunia
Sejarah menunjukkan bahwa teknologi selalu mengubah keseimbangan kekuasaan global. Dari penemuan mesin uap hingga internet, teknologi menentukan siapa yang menang dan siapa yang tertinggal.
Kini, AI adalah medan pertarungan baru. Dunia harus berhati-hati agar AI tidak menjadi alat penindasan baru oleh negara kuat kepada yang lemah. Kita perlu membangun AI yang bukan hanya cerdas, tetapi juga beretika, adil, dan membawa kemaslahatan umat manusia.
Perlombaan AI tidak bisa dihentikan. Namun arah dan tujuannya bisa ditentukan — bukan oleh satu negara, tapi oleh komunitas global yang sadar akan risikonya.
Penulis, Diana Triwardhani, SE.MM., Ph.D adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UPN Veteran Jakarta

