Oleh: Satria Yudhia Wijaya
Apakah kita bangga ketika memiliki Battery Electric Vehicle (BEV)? Bagi sebagian orang di kota besar memiliki BEV adalah suatu gaya hidup, kesadaran lingkungan, atau kehebatan teknologi dibandingkan kebutuhan transportasi semata. Aspek kesadaran lingkungan mengacu pada transisi energi global yang menuntut perubahan cepat dari ketergantungan pada energi fosil menuju ekonomi rendah karbon. Salah satu ikon dari perubahan ini adalah kendaraan listrik berbasis baterai. Di balik kecanggihan mobil listrik, ada komponen vital yang menentukan performa dan daya jangkau yaitu baterai, dan di balik baterai, ada satu mineral yang kini jadi rebutan dunia: nikel.
Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, berada di pusat pusaran perubahan ini. Sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah pada 2020, hilirisasi menjadi kata kunci. Smelter nikel bermunculan di Sulawesi dan Maluku, investasi asing mengalir deras, bahkan pabrik baterai berskala internasional mulai dibangun di Karawang. Narasi yang dibangun jelas: Indonesia bukan lagi sekadar penjual bahan mentah, tetapi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia. Indonesia kini menjadi pemain kunci dalam rantai pasok kendaraan listrik global.
Data Kementerian Perdagangan mencatat bahwa nilai ekspor nikel Indonesia terus meningkat signifikan. Pada tahun 2023, nilai ekspor nikel mencapai sekitar 6,83 miliar USD, naik menjadi 7,99 miliar USD pada 2024, sebelum sedikit terkoreksi di proyeksi 2025 sekitar 7,9 miliar USD. Tren ini menunjukkan bahwa hilirisasi nikel telah memberikan dampak ekonomi yang nyata. Data ini lebih menarik ketika melihat data GAIKINDO tentang penjualan BEV 2022 sebanyak 10.327 unit yang terus meningkat pada 2025 (per Agustus) menjadi + 51.191 unit. GAIKINDO optimis target pada 2025 sebanyak 60.000 unit dapat tercapai.
Namun, di balik optimisme itu, ada pertanyaan besar: apakah kita siap menjadikan nikel Indonesia sebagai “green nickel” yang benar-benar ramah lingkungan, adil secara sosial, dan transparan dalam tata kelola? Inilah tantangan utama implementasi ESG—Environmental, Social, and Governance—yang tidak bisa diabaikan.
Lingkungan yang tertekan. Hilirisasi nikel memang menjanjikan nilai tambah ekonomi, tetapi dampak lingkungannya tidak kecil. Deforestasi, kerusakan ekosistem laut akibat pembuangan tailing, hingga emisi karbon tinggi dari smelter berbasis batubara adalah persoalan nyata. Alih-alih berkontribusi pada pengurangan emisi global, industri nikel bisa menjadi ironi: memasok bahan untuk mobil listrik yang disebut ramah lingkungan, tapi merusak lingkungan di tanah air.
Dimensi sosial yang rentan. Selain isu lingkungan, aspek sosial juga menuntut perhatian. Komunitas lokal di sekitar tambang seringkali menanggung dampak langsung: hilangnya lahan, polusi, hingga konflik sosial. Di sisi lain, isu ketenagakerjaan juga muncul: tenaga kerja asing mendominasi posisi strategis, sementara pekerja lokal kerap terjebak pada pekerjaan berisiko tinggi dengan standar keselamatan yang minim. Transisi energi seharusnya membawa keadilan—just transition—bukan menambah ketimpangan.
Tata kelola yang dipertaruhkan. Di ranah governance, tantangan tak kalah besar. Dominasi investor asing, khususnya dari Tiongkok, menimbulkan pertanyaan soal kedaulatan ekonomi. Apakah Indonesia hanya menjadi lokasi industri, sementara kendali teknologi dan keuntungan terbesar justru dinikmati pihak luar? Transparansi kontrak, kepatuhan terhadap regulasi, hingga akuntabilitas pelaporan ESG menjadi pekerjaan rumah yang mendesak.
Mengapa ESG penting? Sebagian pihak mungkin masih menganggap ESG hanya sekadar tren sesaat atau formalitas administrasi. Padahal, bagi Indonesia, ESG adalah tiket emas untuk masuk dan bertahan di pasar global. Uni Eropa, misalnya, telah memberlakukan EU Battery Regulation 2023, yang mewajibkan transparansi penuh atas jejak karbon, sumber bahan baku, hingga perlindungan hak pekerja dalam rantai pasok baterai. Demikian pula, Amerika Serikat melalui Inflation Reduction Act (IRA) mensyaratkan insentif hanya bagi produk yang rantai pasoknya bebas dari praktik perusakan lingkungan dan pelanggaran hak buruh.
Pada pertengahan 2024, dua perusahaan Eropa besar — BASF (Jerman) dan Eramet (Prancis) — memutuskan menarik diri dari rencana pembangunan kilang/pabrik pengolahan nikel-kobalt senilai sekitar US$2,6 miliar (proyek “Sonic Bay”) di Indonesia karena dipicu oleh kritik dan kekhawatiran serius bahwa kegiatan penambangan dan pasokan bijih yang akan memasok proyek tersebut mengancam hutan yang menjadi rumah komunitas adat/indigenous peoples serta berisiko merusak ekosistem lokal. Artinya, tanpa kepatuhan ESG, produk nikel Indonesia tidak hanya berisiko ditolak pasar, tetapi juga bisa dicap sebagai bagian dari praktik greenwashing, yang merusak reputasi nasional sekaligus melemahkan daya saing industri kita.
Peluang emas di tengah dilema. Meski tantangan besar, peluang juga terbuka lebar. Jika standar ESG benar-benar diterapkan, Indonesia tidak hanya menjadi pemasok nikel, tetapi juga pusat inovasi hijau di Asia. Smelter dapat menggunakan energi terbarukan, sistem pengelolaan tailing dapat diperbaiki, keterlibatan komunitas lokal bisa ditingkatkan, dan tata kelola dapat diperkuat lewat regulasi serta audit independen. Dengan langkah ini, label “green nickel” bukan sekadar jargon, melainkan identitas baru Indonesia di pasar global.
Menutup dengan refleksi.
Hilirisasi nikel adalah jalan strategis, tetapi jalannya penuh percabangan. Kita bisa memilih jalur cepat yang mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek, dengan risiko merusak lingkungan, menciptakan ketidakadilan sosial, dan kehilangan kontrol dalam tata kelola. Atau, kita bisa memilih jalur yang lebih menantang: mengintegrasikan ESG sebagai fondasi. Jalur kedua memang membutuhkan biaya, komitmen, dan konsistensi, tetapi hasilnya akan jauh lebih berkelanjutan, baik bagi ekonomi, rakyat, maupun reputasi bangsa.
Indonesia sedang menulis bab baru dalam sejarah transisi energi dunia. Pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya menentukan: apakah nikel kita akan dikenal sebagai “emas hijau” yang menopang masa depan berkelanjutan, atau sekadar “kutukan baru” dalam wajah lama?
Jawaban refleksi. Indonesia berada pada persimpangan penting. Dari satu sisi, hilirisasi nikel telah terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat posisi kita di rantai pasok kendaraan listrik global. Namun di sisi lain, tanpa standar ESG yang ketat, keberhasilan ekonomi ini berpotensi menjadi bumerang yang merusak lingkungan dan menimbulkan ketidakadilan sosial.
Pilihan ada di tangan kita: apakah ingin dikenal sebagai eksportir nikel murah dengan jejak karbon tinggi, atau sebagai pionir green nickel yang berdaya saing global? Jika pemerintah, industri, dan masyarakat sipil mampu membangun konsensus untuk menegakkan prinsip ESG, maka nikel Indonesia tidak hanya akan menggerakkan roda ekonomi, tetapi juga mengantarkan bangsa ini menjadi pelopor dalam transisi energi berkelanjutan. Kini saatnya Indonesia membuktikan bahwa dari tanah kita bukan hanya lahir nickel ore, tetapi juga lahir komitmen pada masa depan bumi.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program S3 Manajemen Berkelanjutan Perbanas