SHNet, Banda Aceh-Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 mendorong kinerja sektor kehutanan menuju target pembangunan mempunyai vector yang SAMA, yaitu tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
“Pijakan dasar utamanya adalah: Sustainable Forest Management, Environmental Governance, dan Carbon Governance,” ujar Ketua Harian 1 Tim Kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc.
Ruandha mengatakan hal itu saat memaparkan mengenai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dalam Seminar Nasional dan RAPIMWIL Persatuan lnsinyur Indonesia (Pll) Wilayah Provinsi Aceh tahun 2023 dengan tema “Peran Insinyur Aceh dalam Mendukung World Climate Resilience dalam Bingkai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030“ di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Sabtu (14/10/2023).
Analis Kebijakan Ahli Utama Bidang Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan ini lebih lanjut mengatakan, upaya Indonesia untuk mencapai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 perlu diikuti dengan alokasi lahan yang selektif dan terkontrol untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi masyarakat Indonesia.
Dijelaskan Ruandha, FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan kondisi dimana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.
Pada Semnas tersebut Ruandha yang menjabat Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2021-Agustus 2023) dalam paparannya menjelaskan Operasionalisasi 11 Aksi Mitigasi Sektor FOLU (Forestry and Other Land Uses) yaitu Pengurangan Laju Deforestasi Lahan Mineral Pengurangan Laju Deforestasi Lahan Gambut, Pengurangan Laju Degradasi Hutan Lahan Mineral, Pengurangan Laju Degradasi Hutan Lahan Gambut, Pembangunan Hutan Tanaman, Sustainable Forest Management, Rehabilitasi Dengan Rotasi, Rehabilitasi Non Rotasi, Restorasi Gambut, Perbaikan Tata Air Gambut, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Mengenai capaian FOLU Net Sink 2030 Ruandha mengungkapkan ada enam hal yaitu pertama Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Lahan Gambut (dekomposisi gambut dan kebakaran gambut), kedua Peningkatan kapasitas hutan alam dalam penyerapan karbon (melalui pengurangan Degradasi dan meningkatkan Regenerasi), ketiga Restorasi dan Perbaikan Tata Air Gambut. Kemudian keempat, Restorasi dan Rehabilitasi Hutan (pengayaan tanaman/peningkatan serapan karbon), kelima Pengelolaan Hutan Lestari dan keenam Optimasi Lahan Tidak Produktif untuk pembangunan Hutan Tanaman dan Tanaman Perkebunan.
“Selain itu ada tiga hal yang juga perlu mendapat perhatian yakni berbagai instrumen kebijakan baru, pengendalian sistem monitoring, dan evaluasi dan pelaksanaan komunikasi publik,” kata Ruandha.
Strategi Implementasi NDC
Dalam Seminar Nasional dan RAPIMWIL Persatuan lnsinyur Indonesia (Pll) Wilayah Provinsi Aceh yang dibuka Penjabat Gubernur Aceh, yang diwakili Sekda Prov Aceh, Bustami Hamzah, Menteri LHK, Siti Nurbaya menyampaikan Keynote Speech secara tertulis yang dibacakan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, S.Hut., M.P.
Menteri Siti Nurbaya dalam sambutannya mengatakan, KLHK sebagai National Focal Point pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah melakukan submisi Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCCC, dilanjutkan dengan mengkonsolidasikan penyusunan strategy Implementasi NDC, yang menyatakan bahwa pengurangan emisi GRK pada sektor kehutanan untuk menjadi penyimpan/ penguatan karbon pada tahun 2030 dengan pendekatan karbon Net Sink sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada tahun 2030 atau disebut juga dengan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Menurut Menteri LHK, berbagai instrumen pendukung telah tersedia, diantaranya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur tentang kegiatan pencapaian NDC yang dilakukan melalui tata laksana NEK. Untuk mengatur perdagangan karbon sektor kehutanan telah terbit Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan dimana perdagangan karbon terdiri dari dua mekanisme yaitu perdagangan emisi dan offset emisi GRK.
“Bursa Karbon sudah diluncurkan oleh Presiden RI pada tanggal 26 September 2023 kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Menteri Siti.
Perdagangan karbon lanjut Menteri Siti, merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui kegiatan jual beli bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton CO2.
Terkait Muswil PPI Aceh, Menteri Siti mengatakan, pihaknya memandang Persatuan Insinyur Indonesia dapat memainkan peran penting dalam pembangunan LHK karena merupakan wadah bersinergi para Insinyur Indonesia untuk mengembangkan kompetensi yang strategis di dalam masyarakat serta memberikan kontribusi nyata pada pembangunan nasional.
“Upaya pelembagaan profesi insinyur kehutanan perlu terus diakselerasi dan menjadi perhatian secara sungguh-sungguh. Insinyur Kehutanan adalah profesi penting dalam transisi menuju net zero emission (NZE) melalui sejumlah penemuan atau inovasi dan implementasinya,” ujar Menteri Siti. (sur)