12 October 2025
HomeBeritaEngelina: Menkeu Purbaya Jangan Provokasi Daerah Karena Sangat Berisiko

Engelina: Menkeu Purbaya Jangan Provokasi Daerah Karena Sangat Berisiko

Jakarta-Menteri Keuangan Purbaya Sahadewa diminta agar tidak sombong dengan memperlakukan daerah seolah mengemis anggaran ke Jakarta, sebab semua kekayaan strategis di daerah telah diambil alih pusat, dari sumber migas, kekayaan laut dan sebagainya diambil pusat. Bahkan, daerah terkadang tidak dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Pemangkasan anggaran sepihak itu sama dengan meremehkan perencanaan di daerah. Sikap Menkeu terhadap para gubernur berpotensi memicu ketegangan pusat dan daerah. Jadi, jangan coba-coba provokasi daerah karena resiko sosial politik tidak semudah ludah sombong seorang Menkeu,” tegas Direktur Archipelago Solidarity Foundation Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina di Jakarta, Sabtu (11/10/2025).

Alokasi anggaran ke daerah yang direncanakan sejak awal, tentu direspon dengan perencanaan program dan sebagainya di daerah. Untuk itu, ketika dibatalkan begitu saja, sangat wajar kalua kekecewaan muncul di berbagai daerah. “Menkeu jangan merasa paling hebat, paling benar, paling jago urus ekonomi dan paling tahu segala soal. Masalah daerah ini tidak mudah karena ketidakadilan sudah berlangsung sejak zaman colonial,” jelas Engelina.

Menurut Engelina, sebaiknya Menkeu periksa alokasi APBN dari tahun ke tahun, mungkin dia akan terkejut ketika anggaran APBD Jakarta hampir sama dengan anggaran seluruh provinsi di kawasan timur, yang sebagian besar merupakan provinsi kategori miskin atau dimiskinkan. Jadi, kalua anggaran yang sudah kecil dipangkas lagi maka akan semakin kondisi rakyat di daerah. “Mereka belum ganti kaca mata sehingga hanya lihat daerah dari Jakarta, tapi sesekali mereka harus ganti kacamata dan berada di posisi daerah yang kaya sumber daya alam tapi berada dalam kondisi miskin dan tertinggal,” katanya.

Dia mencontohkan, pengelolaan minyak di Bula (Seram Timur, Maluku) yang dieksploitasi sejak zaman kolonial, tapi Seram Timur praktis tidak menikmati hasil kekayaan alamnya. Hal ini terjadi di berbagai tempat, tetapi sikap Menkeu Purbaya seolah menimpakan kesalahan kepada daerah, sehingga pemangkasan anggaran itu seolah sanksi bagi daerah.

Engelina mengatakan, sikap pusat terhadap daerah memang sudah kronis karena pusat mengontrol daerah melalui instrument fiscal. Jadi, meskipun kebijakan otonomi daerah sudah berlangsung sejak 2001, tetapi itu hanya kosmetik belaka karena di satu sisi menunjukkan seolah komitmen dengan otonomi daerah, tetapi di sisi lain menerapkan system fiscal yang sentralistik structural.

“Itu artinya pusat menguasai dan mendominasi pendapatan nasional, sementara daerah diberikan kewenangan terbatas seperti hanya mengelola pajak dan sumber daya yang sangat terbatas. Ya bagaimana, daerah diberikan tugas berat untuk urus rakyat karena mereka yang jadi ujung tombak, tetapi tidak diikuti dengan peran atau kewenangan untuk mengelola pendapatan yang maksimal,” katanya.

Menurutnya, daerah diminta untuk berhemat dalam berbagai tantangan nyata yang harus dihadapi, tetapi di sisi lain pusat mempertontonkan tata kelola pemerintahan yang tidak efesien, seperti melantik pejabat yang tiada henti. “Prestasi pemerintahan Prabowo selama satu tahun, kalau mau jujur hanya bisa silih berganti melantik pejabat, menebar penghargaan dan pidato ke sana ke mari, ya hanya omon-omon kan. Tapi, Menkeu berlagak seolah sudah paling benar? tutur Engelina.

Mantan pimpinan Badan Anggaran DPR RI ini menjelaskan, apa yang dilakukan Menkeu Purbaya mempertontonkan dominasi kalua daerah tergantung sepenuhnya ke pusat. Dominasi seperiti ini sangat berbahaya karena bisa digunakan untuk kepentingan apa saja, bahkan fiscal bisa saja dijadikan alat politik untuk mengontrol daerah.

“Ini bukan siapa mendominasi siapa, tetapi di belakang gubernur itu ada rakyat yang harus diurus. Kalau memang malas urus daerah, kenapa tidak biarkan daerah urus diri masing-masing. Pemerintah pusat ada belum ada satu abad, rakyat di daerah sudah ada ribuan tahun dan tetap hidup. Jangan seolah-olah kalua pusat tidak ada rakyat daerah tidak bisa hidup, jangan begitu ya,” jelasnya.

Dia mencontohkan, pemerintah pusat seolah kehabisan program populis, sehingga mengurus sendiri makanan bergizi gratis. Tapi, ketika ada masalah di berbagai daerah pasti pemerintah daerah yang menjadi sasaran. Padahal, daeah tidak dilibatkan dalam implementasi program. “Mereka masih kira rakyat tidak tahu apa-apa, karena sebelum program dijalankan, ada orang-orang yang baik langsung atau tidak terkait dengan kekuasaan mencari mitra di daerah? Program MBG di atas kertas sangat bagus, tapi apa jadinya kalua pelaksanaan di lapangan tidak lebih dari proyek untuk meraup untung,” tutur Engelina.

Engelina khawatir dengan gaya komunikasi dan kepemimpinan pejabat di pusat memicu resistensi di daerah. Kalau situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan memicu perlawanan di daerah, karena seolah rakyat hanya dibutuhkan ketika mereka berebutan kekuasaan. “Saya kira kita perlu mengingatkan para pengelola negara, agar berhati-hati. Kalau kekecewaan rakyat memuncak, itu tidak akan mudah. Dalam situasi sulit ini sebaiknya jangan lagi mempertontonkan kesombongan di ruang public, karena hal itu bisa memprovokasi rakyat,” jelasnya.

Apalagi, kata Engelina, persoalan di Papua dan trauma di Aceh itu belum sepenuhnya pulih, sehingga pernyataan yang terkesan meniadakan, meremehkan atau bahkan meminggirkan akan berpotensi menjadi pemantik yang mungkin dampaknya tidak terpikirkan. Persoalan dari masa lalu belum sepenuhnya tertangani dengan baik, sebaiknya jangan diperkeruh dengan pernyataan yang kontraproduktif. “Pejabat negara sebaiknya bicara yang terukur, karena setiap ucapan pejabat itu adalah pegangan bagi rakyat,” tegas Engelina.(den)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU