3 October 2025
HomeBeritaEngelina: Tak Serius Bangun Kilang Minyak, Kedaulatan Energi Hanya Omon-omon

Engelina: Tak Serius Bangun Kilang Minyak, Kedaulatan Energi Hanya Omon-omon

Jakarta-Kilang Dumai milik Pertamina yang dibangun pada tahun 1969 terbakar pada 1 Oktober 2025 malam. Kebakaran ini merupakan yang kedua, karena sebelumnya pernah terbakar pada tahun 2023. Peristiwa terbaru ini terjadi tidak lama setelah Menkeu Purbaya Sadewa mengungkapkan di DPR RI kalua Pertamina malas bangun kilang dan justru dibakar.

“Bagi saya, orang boleh bicara berbusa-busa soal kedaulatan energi, tapi kalua tidak diikuti dengan kebijakan membangun kilang minyak, maka semua itu hanya omon-omon. Dari dulu tantangan bangun kilang itu bukan soal teknis semata, tapi ada kepentingan ekonomi dibaliknya. Ini yang jadi tantangan setiap rezim pemerintahan,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Menurut Engelina, pandangannya itu berdasarkan pengalaman empiris, karena ayahnya, JM Pattiasina merupakan penanggung jawab pembangunan Kilang Puteri Tujuh Dumai dan Sungai Pakning pada tahun 1969 sampai selesai. “Seingat saya, ada perusahaan minyak asing yang mau bangun kilang di Dumai, tapi ayah saya menolak mentah-mentah, karena Indonesia bisa bangun sendiri. Akhirnya menggunakan kontraktor asal Jepang untuk bangun kilang milik Pertamina. Bukan diserahkan  ke pihak asing. Mereka bangun yang belum bisa dibangun Indonesia, dibayar, dan itu jadi milik Pertamina,” jelas Engelina.

Untuk itu, bukan bisa atau tidak bisa membangun kilang, tetapi apakah pemegang kekuasaan, pertamina, ESDM dan pimpinan negara mau atau tidak. “Kalau Presiden mau, misalnya, maka saya yakin berapapun kilang akan mampu dibangun sendiri,” tutur Engelina.

JM Pattiasina dan Ibnu Sutowo. (ist)

Menurut Engelina, mahasiswa ITB sudah ikut dalam pembangunan KIlang Dumai untuk menangani pekerjaan teknik yang bisa dikerjakana sendiri, seperti water treatment dan sebagainya. “Itu sengaja agar menjadi bekal bagi mahasiswa sehingga di kemudian hari bisa memiliki keahlian dalam membangun kilang. Memang, terbukti ada beberapa mahasiwa ITB itu yang memang berkecimpung dalam industry migas, salah satunya Ir. Rudy Radjab yang pernah memimpin Elnusa. Dan hasil karya mahasiswa ITB itu masih berfungsi mungkin sampai saat ini,” katanya.

Selain itu, kata Engelina, keterlibatan mahasiswa ITB agar mampu menyerap ilmu dari teknisi Jepang dalam pembangunan kilang. Untuk itu, kalau sampai saat ini masih rebut soal pembangunan kilang, maka masalahnya bukan soal sumber daya, tapi sudah berada di tingkat kebijakan. “Sebab kalau Indonesia miliki kilang di berbagai tempat, maka ada yang kehilangan cuan dari impor minyak. Ini masalah mau diatasi atau tidak? Tapi kalau masih berharap cuan impor minyak, yang mungkin saja untuk kepentinan politik, ya memamg susah,” tuturya.

Menurut Engelina, pada akhir tahun 1969, kilang Sungai Pakning resmi beroperasi dengan kapasitas sekitar 25.000 barel per hari untuk pertama kali, karena kapasitasnya terus meningkat. Kilang ini terlebih dahulu beroperasi dibandingkan dengan kilang Tujuh Puteri Dumai. Sebab, Kilang Minyak Tujuh Puteri Dumai, untuk mengolah minyak mentah baru selesai pada Juni 1971. Kemudian, Presiden Soeharto melakukan peresmian Kilang Puteri Tujuh pada 8 September 1971, dengan kapasitas 100.000 barel per hari.

Kilang Dumai dan Sungai Pakning belakangan menjadi satu unit yang berkapasitas sekitar 150.000 barel per hari dan bukan saja menghasilkan minyak tanah, bensin, tapi juga menghasilkan Low Sulphur Wax Residu (LSWR) untuk diekspor ke Jepang dan Amerika. Hanya saja, harga LSWR ini sangat rendah. “Untuk memanfaatkan, residu minyak ini, ayah saya meminta agar digunakan sebagai pengganti aspal, yang digunakan pada ruas Jalan Pekanbaru-Dumai. Ruas jalan ini dikenal sebagai Jalan Minyak pada masa itu,” tutur Engelina.

Untuk itu, ketika Menkeu Purbaya secara terbuka mengungkapkan soal keengganan untuk membangun kilang, sebenarnya hal ini persoalan lama yang berhadapan dengan berbagai kekuatan yang tidak jelas bagi publik. “Yang jelas, kalau mau meminimalisir impor minyak, maka kilang merupakan solusi. Ini sebenarnya berhadapan dengan kekuatan yang memilih impor untuk sekadar cuan bagi diri sendiri dan kelompok,” tegasnya.

Menurut Engelina, pernyataan Purbaya ini tidak main-main, karena tidak lama ketika melontarkan pernyataan terbuka, Kilang Dumai ternyata benar terbakar. “Nah, apakah dibakar atau terbakar? Tentu pihak berwajib yang harus menjawab. Namun, kalua terbakar berarti memang kecelakaan, tetapi kalua dibakar berarti bisa dipandang sebagai sabotase, sehingga Indonesia sampai kapapun akan terus mengimpor minyak, karena hal yang mendasar untuk mengolah minyak ini tidak pernah ada kemauan politik,” kata Engelina.

Dugaan Penyebab Kebakaran

Sementara itu, Praktisi Migas, Haposan Napitupulu mengatakan, dari informasi yang ada kebakaran yang terjadi dan disertai ledakan di kilang minyak atau refinery itu tidak terjadi begitu saja, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait.

Namun, potensi paling penting penyebabnya bisa saja karena kebocoran gas atau cairan mudah terbakar: Kebocoran gas atau cairan mudah terbakar seperti hidrogen, gas alam, atau minyak mentah dapat menyebabkan campuran yang mudah terbakar dengan udara. Jika campuran ini terkena sumber api, maka dapat terjadi kebakaran atau ledakan.

Haposan menjelaskan, kebocoran gas atau cairan mudah terbakar ini seringkali disebabkan antara lain, kerusakan peralatan seperti pipa, katup atau kompresor dapat menyebabkan kebocoran gas atau cairan. Selain itu, bisa juga karena kurangnya pemeliharaan dan perawatan pada peralatan dan fasilitas dapat meningkatkan risiko kebocoran gas atau cairan.

Kemungkinan lain, jelas Haposan, bisa saja karena kesalahan operasional, seperti kesalahan dalam mengatur tekanan atau suhu, dapat menyebabkan kondisi yang tidak stabil dan meningkatkan risiko kebocoran gas atau cairan. Dia juga mengingatkan, usia kilang sudah di atas umur desainnya.(dd)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU