Surabaya- Etika bermedia sosial adalah landasan penting dalam menjaga keberlanjutan dan kualitas interaksi manusia di dunia maya dalam era digital. Untuk itu, sangat penting untuk memahami pentingnya berkomunikasi secara etis, mempertimbangkan implikasi ekonomi dari aktivitas online serta terus-menerus mencari cara untuk memahami dunia yang semakin terhubung secara digital dengan lebih baik.
Demikian Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo dalam Fikomrade’s Day 2023 yang digelar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra Surabaya pada 29 September 2023.
Dalam acara yang dihadiri sekitar seratus orang, terutama terdiri dari mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra, Antonius Benny Susetyo mengingatkan adanya fenomena perebutan wacana di media sosial dalam era digital. Dalam dunia yang semakin terhubung, terdapat lebih banyak individu dan kelompok yang bersaing untuk mempengaruhi opini publik melalui berbagai platform digital.
Fenomena ini, katanya, telah mengubah cara kita melihat dan berinteraksi dengan informasi yang tersedia secara online. Menurutnya, perubahan ini menunjukkan bahwa kontrol atas informasi dan narasi menjadi semakin kompleks, dan oleh karena itu, etika berbagi informasi menjadi sangat penting. Perebutan wacana ini seringkali terjadi dalam berbagai isu, termasuk isu politik, sosial, dan lingkungan. Pesan-pesan yang disebarkan oleh individu atau kelompok dengan agenda tertentu dapat dengan mudah menjadi viral dan memengaruhi opini dalam berbagai aspek kehidupan.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang etis dan yang tidak, terutama dalam hal penyebaran informasi yang dapat menyesatkan atau merusak reputasi individu organisasi yang menjadi sasaran,” jelasnya.
Doktor Ilmu Komunikasi Politik ini menyatakan, dalam era digital ini rating dan persepsi adalah faktor penting dalam dunia media sosial. Ketergantungan pada rating juga dapat memicu perilaku yang tidak sehat, seperti pencarian perhatian berlebihan, ketidakpuasan dengan diri sendiri, atau perasaan bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan perhatian online.
“Ini adalah isu yang perlu diperhatikan dalam konteks etika bermedia sosial. Masyarakat perlu memahami bahwa rating dan jumlah like tidak selalu mencerminkan nilai sejati dari seorang individu atau kualitas konten yang mereka hasilkan. Hal ini mendorong pertanyaan tentang apa yang seharusnya dihargai dan diakui dalam lingkungan digital yang semakin terfokus pada popularitas,” tuturnya.
Benny menatakan, ada gejala realitas berlebihan atau hyperreality yang semakin merajalela. Dalam era digital ini, masyarakat cenderung hanya melihat dan memahami persepsi yang sesuai dengan pemikiran mereka sendiri, tanpa memandang atau menghargai pandangan lain.
“Hyperreality adalah fenomena di mana batasan antara realitas dan dunia maya semakin kabur. Dalam era di mana kita terhubung secara konstan ke internet dan media sosial, kita sering kali disuguhkan dengan berbagai informasi, gambar, dan pandangan yang dapat mengkonfirmasi pemikiran kita sendiri. Ini dapat menciptakan gelembung informasi di mana kita hanya terpapar pada pandangan yang sama dan kurang terbuka terhadap ide-ide atau pandangan yang berbeda,” tuturnya.
Fenomena ini, jelasnya, dapat menghambat dialog yang sehat dan pemahaman antara individu dengan pandangan yang berbeda dan memicu konflik dan ketidaksepahaman dalam masyarakat, maka Benny mendorong pentingnya kesadaran masyarakat akan realitas berlebihan ini dan tetap terbuka terhadap pandangan dan pengalaman yang beragam. Masyarakat perlu melibatkan diri secara aktif dalam mendengarkan orang lain, mengeksplorasi sumber berita yang beragam, dan merasa nyaman untuk mempertanyakan pandangan pribadi kita.
Benny juga menyinggung dampak era digital pada etika berkegiatan ekonomi serta adanya pergeseran signifikan dalam cara kita berbisnis akibat peran yang semakin dominan dari internet dan fenomena yang terjadi akibat pergeseran tersebut dalam masyarakat.hal ini terbukti dengan kejadian akhir-akhir ini yang melibatkan platform TikTok dimana Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk membatasi kegiatan E-commerce yang dilakukan melalui platform TikTok.
Menurutnya, keputusan ini diambil karena adanya keprihatinan bahwa TikTok mengancam para pelaku ekonomi dengan sistem yang lebih tradisional dan menghambat pertumbuhan UMKM dan Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengatur kegiatan E-commerce di platform ini dengan lebih ketat untuk melindungi konsumen dan mendorong kompetisi yang sehat.
Keputusan ini, jelasnya, menciptakan perdebatan tentang batasan-batasan yang dikenakan pada platform media sosial dalam hal ekonomi. Beberapa melihatnya sebagai langkah positif untuk melindungi konsumen, sementara yang lain merasa bahwa ini dapat membatasi inovasi dan kesempatan ekonomi bagi individu.
“Etika tidak hanya perlu dalam bersopan santun dalam memberi komentar atau membuat konten ,etika juga diperlukan dalam melakukan kegiatan ekonomi di ruang digital ,kita perlu senantiasa kritis mempertanyakan hal hal seperti Apakah kegiatan ekonomi ini tidak merugikan pihak lain? Tidak merusak dan mematikan sistem ekonomi yang konvensional dan lebih dulu terbentuk? Dan yang paling pentjng Bagaimana membuat sistem ekonomi yang tepat dan adil di era digital ini?” katanya.
Benny mengharapkan, dapat tercapai keseimbangan dan persaingan yang sehat antara kegiatan ekonomi digital dan konvensional ,sehingga keberadaan masing masing platform semata mata untuk memperkaya pilihan masyarakat dalam bertransaksi, bukan untuk saling mematikan.(sp)