Oleh: Syarif Ali
Dosen dan Pengurus LKEB FEB UPN Veteran Jakarta
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Rini Widyantini memiliki kesamaan dengan mantan Menteri Menpan RB, Abdullah Azwar Anas. Kedua menteri sama-sama mengeluhkan sepak terjang kepala daerah yang tak pernah berhenti merekrut pegawai honorer untuk memenuhi kepentingan politik.
Rini mengingatkan kepala daerah terpilih yang sebentar lagi dilantik untuk mematuhi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengamanatkan tidak ada pengangkatan pegawai non-ASN.
Menpan RB menyatakan penataan tenaga non-ASN sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tidak akan pernah terwujud apabila pengangkatan tenaga honorer di daerah tidak dihentikan.
PP tersebut menegaskan bahwa pegawai honorer seharusnya sudah tidak ada lagi sejak tahun 2009, namun hingga tahun 2025 tenaga honorer tetap membuat pening dunia kepegawaian Indonesia.
Hingga 2024, jumlah tenaga non-ASN yang terdata dalam Database BKN tersisa 1,7 juta. Seperti biasa, keberadaan honorer dengan jumlah besar ini menjadi bola panas bagi pemerintah, karena itu pemerintah berupaya menyelesaikan permasalahan ini.
Lantas apakah diperlukan moratorium atau zero growth?
Jumlah Terus Meningkat
Pada zaman pendudukan Belanda, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) berkisar 50.000 orang (Bintoro, 1995).Pasca kemerdekaan terjadi peningkatan, tahun 1950 jumlah PNS sekitar 303.500. Sepuluh tahun kemudian, meningkat menjadi 393.000.
Lonjakan terbesar kedua terjadi pada tahun 1970. Berkah ekspor minyak menjadikan anggaran pendapatan negara meningkat. Penghasilan dari penjualan minyak memungkinkan pemerintah membiayai kegiatan pembangunan yang membutuhkan banyak PNS. Jumlah PNS yang semula 525.000 orang, pada tahun 1970 mencapai 2.000.000 orang tahun 1980.
Dari tahun 1986 hingga 1992, jumlah pegawai pemerintah tumbuh sekitar 25 persen. Pada tahun 1993, pertama kali jumlah PNS menembus angka 4 juta pegawai.
Per 1 Juli 2024, Indonesia memiliki 3.665.730 PNS dan 1.103.045 PPPK. Ini belum termasuk 1.7 juta tenaga honorer yang ada dalam Database BKN dalam proses pertimbangan pengangkatan dan calon ASN hasil seleksi tahun 2024 yang pengangkatannya ditunda.
Pembayaran gaji dan tunjangan ASN jelas tidak dapat dikenakan efisiensi. Belanja pegawai menjadi salah satu tantangan pemerintah.
Moratorium atau Zero Growth (ZG)?
Berkaca pada Pemerintahan Trump menawarkan kepada sekitar 2 juta pekerja federal untuk mengundurkan diri yang digadang akan menghemat Rp 1,6 kuadriliun dan pemerintahan Vietnam yang akan mengurangi hingga 100 ribu PNS untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Indonesia yang juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen penting untuk memikirkan ulang dampak sepak terjang rekrutmen ASN saat ini.
Tahun 2013, pemerintah menerapkan kebijakan zero growth menuju minus growth. Meskipun secara nasional kebijakannya zero growth, namun secara instansional ditempuh tiga pola, yakni minus growth, zero growth, dan growth. Minus growth diterapkan bagi instansi yang berdasarkan hasil analisa beban kerja (ABK) jumlah pegawainya sudah kelebihan.
Dikutip dari Website PANRB (31/10/2014) moratorium yang pernah dilakukan merupakan langkah awal audit organisasi birokrasi, mengingat keuangan negara tidak begitu menggembirakan. Kita dapat memaknai moratorium dan ZG sebagai bagian reformasi birokrasi berkelanjutan. Selain itu, moratorium dan ZG dapat memberikan kontribusi terhadap gerakan efisiensi anggaran, seperti di Hongkong.
Bagi pemerintah dan masyarakat Hongkong, PNS merupakan tulang punggung Pemerintahan Daerah Administratif Khusus Hong Kong (HKSAR) dan bertanggung jawab kepada Ketua Eksekutif (CE). Per Maret 2024, jumlah PNS sekitar 173.100 orang.
Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap PNS Hongkong terus meningkat.
Pemerintah Hongkong telah menerapkan kebijakan pertumbuhan nol (zero growth) sejak tahun 2021 untuk keberlanjutan dan kestabilan keuangan publik. Hingga 2025, Pemerintah tetap mempertahankan target pertumbuhan nol untuk menekan jumlah pegawai negeri sipil.
Bagaimana dengan Indonesia?