16 May 2025
HomeBeritaPedagang Pasar Badung di Bali Keluhkan SE Pelarangan Plastik Sekali Pakai Gubernur...

Pedagang Pasar Badung di Bali Keluhkan SE Pelarangan Plastik Sekali Pakai Gubernur Koster

​SHNet, Denpasar-Para pedagang yang berjualan di pasar tradisional Badung, Denpasar, Bali, mengeluhkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai. Kebijakan tersebut dinilai jelas-jelas menghambat aktivitas mereka untuk berjualan.

Ibu Sindy, pedagang rempah, saat ditemui di tempatnya berjualan di Pasar Badung, mengatakan bingung dalam menyikapi kebijakan Gubernur Koster yang melarang para pedagang untuk menggunakan kantong kresek. “Kalau tidak diplastiki, pakai apa untuk bungkus barang-barang dagangan saya. Apalagi saya jualan rempah-rempah seperti merica, cengkeh yang bentuknya serbuk,” ujarnya.

Tapi, dia mengaku pesimis peraturan pelarangan plastik sekali pakai itu bisa ditegakkan. “Dulu juga kan pernah dilarang menggunakan kresek dan diganti dengan kantong plastik lain yang harganya lebih mahal. Awalnya, ada yang menjualnya kepada kami para pedagang. Tapi, lama-lama mereka tidak datang lagi, dan akhirnya kami kembali lagi menggunakan plastik kresek. Artinya, plastik sekali pakai itu masih sangat dibutuhkan para pedagang seperti kami,” ucapnya.

Keluhan yang sama disampaikan Ibu Murci, pedagang bumbu dapur, cabe, dan bawang. Dia mengatakan kesulitan untuk berjualan kalau tidak ada wadah plastik sekali pakai ini. “Kalau tidak ada plastik bagaimana bisa jualan? Apalagi kalau pembelinya mau beli yang seperempat kilo saja. Bisa-bisa kita dikira pelit dan mereka tidak jadi membelinya. Kalau seperti itu kita kan rugi jadinya,” tuturnya.

Pelarangan penggunaan plastik sekali pakai seperti kresek ini juga dikeluhkan para pedagang ayam potong dan daging yang ada di Pasar Badung ini. Rian, pedagang ayam potong, mengatakan tidak bisa berjualan kalau tidak menggunakan kantong kresek. “Para pembeli jelas tidak mau membelinya kalau tidak menggunakan kresek. Kami sih senang-senang saja kalau pembelinya mau tidak pakai kresek. Tapi, pembelinya kan tidak ada yang mau. Malah mereka sering minta didouble kreseknya agar tidak basah,” ungkapnya.

Begitu juga dengan pedagang daging sapi. Ibu Liong mengatakan bingung menyikapi kebijakan Gubernur Koster yang melarang pedagang menggunakan kresek. “Kalau dagang nggak pakai kresek, kami terus pakai apa? Coba tanya sama gubernurnya. Bagaimana caranya jika ada pembeli yang memesan daging 100 kilo,” katanya dengan nada kesal.

Pedagang daging sapi lainnya, Ibu Pande, juga mengeluhkan hal serupa. “Kami tidak akan bisa dagang kalau tidak ada kantong kresek. Pembelinya juga nggak mau beli. Katanya kotor kalau tidak diplastiki,” ucapnya.

Sikap yang sama ditunjukkan Ibu Made yang juga pedagang daging sapi lainnya di Pasar Badung ini. “Kita lihat bagaimana nantinya ajalah. Bingung menanggapinya,” tandasnya.

Wayan Jawo, pedagang sapi lainnya juga menyatakan keberatan dengan kebijakan Gubernur Koster yang melarang pedagang menggunakan kantong kresek. “Kami mau tahu solusinya apa buat kami para pedagang jika kantong kresek itu dilarang,” tukasnya.

Keluhan lainnya juga disampaikan pedagang kikil yang berjualan di Pasar Badung. Gede Juni misalnya. Menurutnya, akan sulit berjualan kalau tidak menggunakan kantong kresek. “Pembeli tidak akan mau membeli. Karena, kalau tidak pakai plastik kikilnya bisa rusak,” ungkapnya.

Para pedagang di Pasar Badung ini juga mengakui bahwa mereka sama sekali belum mendapat solusi dari Pemprov Bali mengenai pengganti kantong kresek ini. Yang jelas, para pedagang ini berharap kantong pengganti kresek itu nantinya harganya tidak mahal dan mudah didapat.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Bali, I Made Putrayadi, menyikapi Surat Edaran (SE) Gubernur Bali I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang salah satunya poinnya melarang semua kegiatan usaha menyediakan wadah plastik sekali pakai, mengatakan kebijakan itu sangat membingungkan para pedagang yang berjualan di pasar tradisional terutama milik Pemprov, di mana  mereka hanya memiliki hak guna pakai saja di sana. Mereka takut jika tidak mengikuti peraturan tidak diizinkan lagi berjualan. “Sementara, mereka juga bingung untuk mencari alternatif pengganti plastik sekali pakai, apalagi yang menjual goreng curah,” ujarnya.

Selain pedagang minyak goreng curah, Putrayadi menuturkan bagi para pedagang sembako, rempah, bumbu dapur, daging, sayuran, makanan, dan semua jenis dagangan lainnya di pasar tradisional, pastinya banyak yang masih membutuhkan kantong plastik kresek. “Apalagi, Pemprov belum pernah mendiskusikan soal pelarangan itu dengan kita. Selain itu, juga tidak memberikan solusi terkait alternatif wadah yang akan digunakan sebagai pengganti plastik sekali pakai,” katanya.

Karenanya, dia berharap Pemprov Bali mau mengundang semua para pedagang di pasar tradisional untuk sama-sama mencari solusi yang tidak merugikan para pedagang tapi juga mendiskusikan bagaimana pengelolaan sampahnya. “Kita berharap bisa berdiskusi dengan Pemprov untuk bisa membicarakannya bersama-sama. Jadi, sebaiknya SE Gubernur itu jangan terburu-buru untuk diterapkan, tapi harus mendengarkan dulu keluhan dari masyarakatnya,” tukasnya.

Karena, menurutnya, jika SE itu dipaksakan untuk langsung diberlakukan, pasti para pedagang di pasar tradisional akan bingung mengikutinya apalagi tanpa melakukan diskusi terlebih dahulu. “Tapi, kita kembalikan kepada pemerintah, kalau memang aturannya seperti itu, kita hanya minta agar disediakan alternatif kemasan yang tentunya tidak mahal,” tandasnya.

Jika kebijakan itu dipaksa untuk diberlakukan, dia khawatir akan terjadi kekisruhan. “Semua pasar itu bisa saja melakukan tindakan nggak mau berjualan. Itu pasti terjadi kalau misalkan tidak ada jalan keluar atau solusi dari pemerintah daerah terkait keluhan para pedagang tadi,” tukasnya.

Jika itu terjadi, katanya, perekonomian Bali di sektor perdagangan bisa terganggu. Apalagi, menurutnya, pasar tradisional di Bali itu ribuan jumlahnya karena tersebar sampai ke wilayah pelosok-pelosok. “Itu sudah pasti karena di pasar tradisional terjadi perputaran perdagangan, ekonomi, dan lain sebagainya,” katanya.. (cls)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU